Minggu, 20 Juni 2010
Winny W Sutopo
Kadang bahkan dari orang-orang kecil kita mendapat pelajaran hidup yang berharga. Jasiah pembantuku bukanlah orang yang istimewa. Bahkan untuk ukuran pembantu pun ia tergolong pembantu yang agak sedikit di bawah rata-rata kemampuannya. Ia tidak bisa membaca dan menulis, lambat menangkap penjelasan, daya ingatnya juga lemah. Sejak 15 tahun yang lalu ia bekerja padaku, tidak banyak pelajaran yang dapat diserap.
Ia masih gadis ketika mulai bekerja, kendati umurnya ketika itu sudah mendekati angka 40 tahun. Beberapa tahun kemudian ia mengumumkan bahwa ia akan menikah. Pilihannya jatuh kepada seorang laki-laki pengangguran yang dahulu pernah bekerja sebagai tukang kebun di salah satu keluarga expatriate. Dan ia akan berstatus sebagai isteri ke 4. Ketika ditanyakan apakah ia sudah mempertimbangkan masak-masak pilihannya itu, jawabannya adalah :"Saya cinta". Well, apa lagi yang bisa diperbuat kalau sudah begini?
Setelah perkawinan tersebut, Jasiah tetap bekerja pada kami. Suaminya tidak setiap hari menyambangi. Meski demikian setiap suaminya datang Jasiah tetap melayani keperluannya. Saya sendiri tidak pernah melihat wajah suaminya, karena ketika itu saya tidak berdomisili di Bontang.
Sampai pada suatu hari lebaran. Ketika itu kebetulan saya dan anak-anak berlebaran di Bontang. Di tengah kesibukan menyambut tamu yang datang berkunjung, muncullah sepasang suami isteri yang tidak saya kenal. Meski demikian, karena sudah biasa kadang-kadang ada tamu yang tidak saya kenal, maka tamu ini pun saya layani dengan baik. Jasiah membuatkan teh hangat dan kemudian menyajikannya. Tetapi tampaknya, tamu saya ini sudah mengenal Jasiah, karena itu ketika mereka sudah pulang saya bertanya kepada Jasiah siapa tamu tersebut. "Itu suami saya dengan isteri pertamanya bu". Wow. Terbayang, Jasiah tadi dengan santun membawakan teh hangat dan menyajikannya dengan sopan kepada madunya yang datang bersama suaminya.
Keesokan harinya, pasangan ini datang kembali. Tidak bertamu, tetapi langsung ke belakang. Jasiah minta ijin untuk menggunakan dapur karena akan masak-masak bersama madunya. Saya perbolehkan sambil saya perhatikan. Mereka berdua sibuk memasak ikan yang dibawa oleh isteri tua suaminya sambil mengobrol seperti layaknya kawan akrab. Sesudah itu mereka bertiga makan bersama di meja makan mereka sambil mengobrol dengan akrab.
Lain waktu lagi, ketika pulang dari kegiatan PWP, saya melihat sepasang sandal anak-anak di serambi samping rumah. Menilik kondisi sandalnya, saya perkirakan ini adalah sandal keponakan Jasiah yang memang sering datang berkunjung. Di dapur saya lihat Jasiah sedang menggoreng ikan sambil menjawab pertanyaan seorang anak kecil. Saya tanya siapakah anak kecil itu. "Anak suamiku,bu. Dia datang dengan isterinya untuk ambil air." Jadi, suaminya datang dengan isteri ke tiga membawa anaknya untuk diasuh Jasiah, sementara saya tidak melihat dimana mereka berdua. Saya lihat dengan sabar Jasiah mengasuh anak tersebut. Koq, bisa ya? Koq tidak direbus saja anak itu ha ha ha atau dimasukkan ke penggorengan , seperti cerita-cerita tentang ibu tiri lainnya.
Selama hidup perkawinannya, saya belum pernah mendengar Jasiah mengeluh tentang suaminya. Padahal dia tidak pernah diberi nafkah, wong suaminya tidak bekerja.
Saya renungkan episode Jasiah ini dan saya sampai pada kesimpulan bahwa Jasiah memilih dengan bertanggung jawab. Ketika ia memutuskan untuk menikah dengan laki2 pengangguran yang sudah memiliki 3 isteri lainnya, ia sudah mempertimbangkan dengan masak semua resiko yang harus ia tanggung. Yang hebatnya, ia kemudian dengan konsisten menerapkannya. Itu sebabnya ia tidak pernah mengeluh dan bisa melayani isteri-isteri suaminya dengan baik.
Kalau saya menuliskan kisah ini, bukan berarti saya menyuruh ibu-ibu yang membacanya untuk mau menjadi madu atau mau dimadu. Bukan.
Saya hanya ingin berbagi tentang bagaimana kita mengambil keputusan dan bersikap konsisten terhadap keputusan tersebut. Dalam hidup kita kerap dihadapkan pada pilihan yang harus kita putuskan. Setiap keputusan pastilah memiliki resiko. Seringkali ketika mengambil keputusan, kita tahu resikonya tetapi ketika resiko tersebut benar-benar ada di depan kita, kita tidak siap menerimanya. Lalu mulailah kita mengeluh dan menyesali diri. Seperti pilihan kita dalam memilih pekerjaan, memilih jodoh, memilih tempat tinggal , memilih untuk memiliki kartu kredit, memilih untuk berlibur ke suatu tempat dan banyak lagi. Beberapa kali saya menjumpai orang yang mengeluh gajinya kecil sebagai guru atau pegawai negeri. Padahal sudah sangat jelas bahwa guru atau pegawai negeri dari sejak dahulu kala memang tidak pernah bergaji besar. Lalu, ketika memutuskan untuk menjadi guru atau pegawai negeri apakah hal ini sudah dipikirkan? Jadi, apakah fair untuk mengeluh ketika berhadapan dengan fakta bahwa gaji pegawai negeri atau gaji guru tidak besar?
Jasiah yang bodoh dan berpikiran sederhana saja dapat bersikap dewasa ketika menentukan pilihan hidup dan mengambil keputusan. Maka saya yakin, kita , yang meng klaim diri sebagai orang yang berpendidikan, pandai dan berwawasan, pastilah dapat lebih bijaksana dalam memutuskan sesuatu dan menyikapi keputusan tersebut. Wallahu alam.
0 komentar:
Posting Komentar