Minggu, 20 Juni 2010
Winny W Sutopo
Beberapa waktu yang lalu saya menyaksikan tayangan tentang tenggelamnya kapal Kambuna 2 di salah satu stasiun teve. Dalam tayangan itu, beberapa orang korban selamat diminta untuk menceritakan kembali pengalaman mereka pada saat itu. Saya ikut tercekam mendengar penuturan mereka, karena pernah mengalami pengalaman yang sama, meski pun tidak sedramatis itu.
Tahun 2006, kami sekeluarga pergi umroh. Saat itu anak bungsu saya baru lulus sma dan baru saja diterima di itb, perguruan tinggi idamannya di jurusan yang memang diangan-angankan. Suami saya juga baru sembuh dari stroke ringan. Perjalanan ini memang dimaksudkan sebagai ungkapan rasa syukur atas semua berkah Allah kepada kami sekeluarga.
Rombongan kami hanya terdiri dari 2 keluarga. Kebetulan pula bahwa anak2 kami seumur, bahkan anak bungsu kami pernah bersekolah di sekolah yang sama. Dengan demikian perjalanan kami penuh keakraban dan keceriaan. Dan jadilah keluarga itu sahabat baru kami. Selama di tanah suci pun ibadah kami dapat berjalan lancar, nyaris tidak ada kendala yang berarti. Sampai tiba saatnya kembali ke tanah air. Segala urusan imigrasi berjalan lancar, pesawat juga berangkat sesuai jadual. Sebagian besar penumpang pesawat adalah mereka yang juga baru kembali menunaikan ibadah umroh. Sisanya TKW yang akan pulang ke tanah air dan beberapa penumpang independen.
Dalam pesawat, kami sekeluarga duduk pada baris yang sama di tengah-tengah. Di depan kami duduk keluarga sahabat baru kami , juga sekeluarga. Entah mengapa, selama perjalanan pulang, saya senang sekali melantunkan doa bepergian, yang kurang lebih artinya demikian : "Ya Allah sertailah perjalanan kami, dampingilah kami, pimpinanlah perjalanan kami dst." Doa itu terus menerus saya lantunkan dalam hati, baik dalam keadaan bangun mau pun setengah terkantuk-kantuk.
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 9 jam, pilot mengumumkan bahwa sebentar lagi pesawat akan mendarat di bandara Sukarno Hatta. Kami pun mulai berkemas bersiap untuk mendarat. Sebentar kemudian, pilot mengumumkan bahwa ia mengalami kesulitan untuk mengeluarkan roda kiri pesawat. Walau pun demikian ia akan berusaha untuk mengeluarkan roda tersebut. Saya mulai merasa deg-degan dan mulai berdoa untuk diberi kemudahan. Tak lama kemudian pilot kembali mengumumkan bahwa ia sudah berupaya mengeluarkan roda pesawat kiri tetapi tidak berhasil, karena itu ia akan bersiap untuk melakukan pendaratan darurat. Segera awak kabin mengajarkan bagaimana cara melakukan pendaratan darurat kepada seluruh penumpang. Semua alas kaki harus dilepas, begitu juga peniti, bros dan yang sejenis. Kami juga diminta untuk duduk dengan menundukkan kepala dan melipat tangan di belakang leher sampai ada instruksi lagi.
Saat itu saya hanya berpikir Ya Allah, inilah saatnya saya untuk kembali. Terpikir oleh saya semua dosa-dosa saya dan sempat terbersit juga apakah ada hutang yang belum terbayar Kalau masih ada hutang, siapa yang mengetahui dan akan membayar mengingat kami sekeluarga ada di dalam pesawat ini. Ahamdulillah, tidak ada hutang yang msih tersisa. Sungguh saat itu tidak terpikir oleh saya segala harta, kekayaan an materi yang kami miliki. Saya hanya berpikir alangkah kasihannya anak bungsu saya, harus meninggalkan dunia ini sebelum ia sempat berkuliah di perguruan yang ia impi2kan. Dan bahwa tidak ada lagi penerus keluarga kami, mengingat kami berempat ada disini. Saya kemudian meminta maaf kepada suami dan kedua anak saya, karena kami tidak lama lagi bisa bersama. Saat itu saya benar-benar menyesali semua perbuatan saya yang mungkin menyakiti hati dan perasaan anak dan suami saya. Setelah itu saya pasrahkan segalanya kepada Allah. Mulut saya tidak henti-hentinya menggumamkan La illaha illahu muhammadar rasullluah dan istighfar sambil bercucuran air mata.
Saya sangat bersyukur bahwa pada saat itu anak dan suami saya pun terlihat tenang. Saya hanya khawatir bahwa kondisi suami saya turun mengingat ia baru saja sembuh stroke. Tetapi kelihatannya di antara kami berempat, sayalah yang paling panik. Hanya saya juga yang menangis.
Seluruh penumpang yang berada di dalam pesawat juga ramai mengagungkan asma Allah. Alhamdulillah tidak ada penumpang yang panik. Semua tertib duduk di tempatnya masing-masing ambil terus menerus berdoa. Sampai akhirnya pilot pesawat mengumumkan dengan suara tersendat bahwa ia sudah beusaha maksimal tetapi roda pesawat tetap tidak dapat keluar. Karena itu ia akan melakukan pendaratan darurat. Pilot masih menimbang-nimbang apakah akan mendarat di da darat atau di air karena keduanya memiliki resiko. Kalau dilakukan pendaratan di darat, besar kemungkinan bahwa pesawat ini akan terbakar, sementara mendarat di air pun berarti bahwa pesawat ini akan masuk ke laut jawa. Naluri keibuan saya membuat saya berpikir alangkah sulitnya bila mendarat di laut. Kami harus berenang, sementara tidak ada petunjuk arah kemana arah jakarta dan tidak ada juga petunjuk kedalaman air. Saya membayangkan seluruh penumpang pesawat akan keluar dari pesawat seperti cendol ditumpahkan dari gelas. Dalam situasi seperti itu, bagaimana saya dapat menolong kedua anak saya? Kalau mendarat di tanah pun saya sudah membayangkan bahwa pesawat ini akan mendarat di tengah sawah atau kebun.
Pesawat pun kemudian mendarat setelah kurang lebih satu jam berputar-putar di atas awan jakarta. Alhamdulillah, akhirnya pesawat berhasil mendarat dengan selamat. Tetapi kami masih harus tetap duduk di tempat masing-masing dan tidak boleh bergerak, karena posisi pesawat tidak stabil. Tehnisi sedang memeriksa pintu manakah yang paling aman untuk dibuka sebagai tempat keluar penumpang.
Di saat genting seperti itu, masih ada penumpang yang meributkan boneka yang disimpan di bagasi jauh di belakang kursinya. Dan ia meminta bapak yang duduk disana untuk megambilkan bonekanya. Akhirnya dengan geram saya mengatakan : "Ibu, pesawat ini masih tidak stabil dan kita harus duduk diam. Kalau kita bergerak-gerak, pesawat ini bisa terbakar. Dan kalau pesawat ini terbakar, kita semua akan mati dan boneka itu tidak ada artinya lagi". Rupanya suara saya cukup keras, sehingga penumpang yang mendengar (bukan hanya ibu itu) kemudian duduk dengan tertib.
Setelah selesai pemeriksaan, akhirnya pintu boleh dibuka dan diumumkan bahwa hanya penumpang yang duduk di sebelah kiri dulu yang boleh meninggalkan pesawat. Tampaknya "ceramah" saya masih berfungsi, sehingga penumpang mau dengan tenang menunggu di tempatnya masing-masing, sampai gilirannya meninggalkan pesawat.
Begitu menginjakkan kaki di tanah, lutut saya lemas sekali rasanya. Saya lihat bahwa kami mendarat di bandara, subhanallah! Pesawat kami mendarat dengan posisi miring ke kiri. Jarak bdan pesawat dengan tanah amat dekat, padahal alam kondisi normal, tidak mungkinlah kita apat meraih badan pesawat alam posisi berdiri. Di sekeliling pesawat telah bersiap ambulance, pemadam kebakaran dan mobil polisi. Begitu menginjakkan kaki di tanah, saya langsung bersujud syukur dapat tiba dengan selamat. Dalam insiden ini seluruh penumpang selamat, tidak ada yang luka. Seluruh awak pesawat pun bertangisan.
Beberapa waktu kemudian, kejadian ini ditulis di harian Kompas. Dalam tulisan itu disebutkan bahwa dalam kejadian ini 20% adalah faktor keterampilan pilot dan 80% sisanya adalah keajaiban Allah!!!!
Setelah kejadian ini saya jadi berpikir, sesungguhnya umur saya sudah hampir titik akhir pada saat itu. Kalau saya saat ini masih diberi kehidupan, maka itu adalah umur bonus dari Yang Maha Kuasa. Berapa banyak orang yang diberi umur bonus oleh Allah, karena kita tahu bahwa bila Allah sudah berkehendak, maka kita tidak dapat menawar walau satu detik pun. Karena itu saya tidak mau mengecewakan Allah yang telah bermurah hati memberikan umur bonus. Umur yang ada haruslah saya gunakan untuk melakukan tindakan-tindakan yang baik, sesuai dengan petunjukNya, agar ketika saatnya tiba nanti, saya tidak malu mempertanggung jawabkan umur bonus yang diberi oleh Allah.
Hikmah lainnya adalah jangan pernah meninggalkan Allah. Berusahalah untuk tetap dekat denganNya, karena kita tidak pernah tahu kapan akhir hidup kita sesungguhnya.
Uang, harta, kekayaan tidak akan terpikir ketika kita suah mendekati maut. Hanya amal baik dan dosa yang kita ingat.
Memang tidak mudah untuk menjalankannya secara konsisten, tetapi bagaimana pun juga saya berusaha memenuhinya.
0 komentar:
Posting Komentar