Minggu, 20 Juni 2010
Winny W Sutopo
Sudah 3 minggu ini aku bolak balik antara rumah ayahku di menteng ke salah satu SMP negeri favorit di bilangan kampung melayu untuk mendaftarkan anakkku. Aku menyadari bahwa tidaklah mudah untuk mendaftarkan murid baru di kelas 2 di sekolah favorit. Apalagi anakku berasal dari SMP swasta di daerah. Meski pun demikian aku masih menyimpan secercah harapan, mengingat anakku adalah siswa berprestasi dan juara matematika se propinsi kalimantan timur.
Kenyataannya, kepala sekolah terlihat tidak tertarik untuk menelaah lebih lanjut tentang anakku ini. Tumpukan dokumen dalam map hanya pernah dilihat sekilas sambil bergumam bahwa anakku memang pandai. Meski demikian, ia tidak dapat menjanjikan bahwa anakku dapat diterima bersekolah disini. Hanya bila ada bangku kosong.
Ayahku mengatakan bahwa itu merupakan tanda bahwa aku harus membayar agar anakku dapat diterima. Aku berkeras menolak gagasan itu. Anakku pun mengatakan bahwa ia tidak berkeberatan untuk bersekolah di tempat lain, bila ia memang tidak dapat diterima di sekolah itu. "Aku tidak mau masuk sekolah dengan "cara yang bengkok", karena kalau begitu bagaimana aku bisa jadi anak yang lurus", demikian katanya.
Hari itu, untuk kesekian kalinya aku menenteng map berisi kumpulan dokumen anakku. Dengan menaiki bajaj aku kembali ke sekolah itu, berharap hari ini kepala sekolah mau memberi lampu hijau bagi anakku. Entah mengapa, selama di bajaj aku terus menerus menggumamkan doa "Allahumma yasiir wa la tu asiir" yang artinya ya Allah mudahkanlah jangan dipersulit. Beberapa kali aku mencoba melantunkan doa yang lain, tetapi tanpa kusadari mulut ini terus saja menggumamkan doa yang sama.
Sesampai di sekolah, setelah menunggu sejenak, kepala sekolah bersedia menerimaku. Ia mulai mengobrol dengan logat sundanya yang kental. Aku juga menjawab dengan bahasa sunda. Tiba-tiba ia bertanya :"Koq ibu tiasa basa sunda?" Aku menjawa "Muhun, da pun biang sunda". "Sundana ti mana?" "Garut". "Atuh ari kitu urang teh wargi, da abdi oge ti garut ( terjemahan bebasnya begini : "koq ibu bisa bahasa sunda?" "Ya, karena ibu saya orang sunda". "Sundanya darimana?" " Dari garut"."Wah, kalau begitu kita saudara, karena saya juga dari garut").
Ajaib, saat itu juga dia meraih map dan membukanya lalu mengatakan bahwa ia akan memberi surat ke Depdiknas agar anakku diperbolehkan mengikuti test masuk sekolah negeri, sebagaimana harusnya. Ya Allah, demikian mudahnya proses yang harus dijalani bila memang ini kehendakMu dan sudah waktunya. Inikah jawaban atas doaku sepanjang jalan tadi? Demikianlah, akhirnya anakku lulus test dan diterima di sekolah tersebut tanpa aku harus membayar sepeser pun, kecuali uang masuk yang memang resmi. Ia juga tetap berprestasi dan sempat menjadi Ketua OSIS disana.
0 komentar:
Posting Komentar