Minggu, 20 Juni 2010
Winny W Sutopo
Isi status kawan-kawanku akhir-akhir ini terasa mellow ( termasuk statusku juga ), karena merasa sedih ditinggalkan oleh anak-anak yang harus berkuliah atau bekerja di tempat lain.
Dua puluh empat tahun yang lalu, menjelang pernikahanku, dengan riang gembira dan bersemangat aku mengepak barang-barang yang akan aku bawa menuju Bontang- tempat tinggalku yang baru - mengikuti suami. Saat itu ibuku masuk kamar dan tiba-tiba beliau berkata : "Mama tidak suka melihat kamu mau pergi. Mama yang merawat, membesarkan dan mendidik kamu, setelah berhasil, eh, malah kamu mau pergi meninggalkan mama." Aku cuma diam saja tidak mengerti harus menjawab bagaimana, karena masih terkesima dengan pernyataan ibuku. Rasanya beberapa waktu yang lalu beliau sangat bersemangat menyuruh aku menikah, menggebu-gebu dengan rencana pernikahan dan kepindahanku ke Bontang. Lho, kenapa sekarang angin berbalik arah ya ?
Sekarang , dua puluh empat tahun kemudian, aku baru dapat memahami dan merasakan perasaan ibuku saat itu. Ada rasa haru, sedih, bangga dan ditinggalkan campur aduk menjadi satu ketika melihat buah hati yang telah dirawat, dibesarkan dan dididik sekian lama "tiba-tiba" menjelma menjadi mahluk dewasa, independen dan merintis jalan hidupnya sendiri.
Rasanya baru kemarin anak-anak itu aku ajari membaca, menggosok gigi, naik sepeda. Baru kemarin, anak-anak itu berceloteh dengan bahasa bayinya yang hanya dimengerti oleh ibunya sendiri, tetapi dengan bangga aku memproklamirkan bahwa "anakku sudah bisa bicara, lho". Baru kemarin aku mengantarkan mereka ke gerbang TK dengan seragam putih hijaunya lengkap dengan botol minum dan tempat roti. Masih kuingat ibu Susi, kepala sekolah TK mengadu bahwa anakku Didit, yang baru kelas TK A mendatangi ruang kepala sekolah dengan berurai air mata sambil berdomonstrasi mengutarakan ketidaksukaannya karena guru kelasnya selalu berganti-ganti. Baru kemarin juga rasanya ibu Anna, guru Shinta melaporkan bahwa ia didoakan masuk neraka oleh Shinta karena sering marah-marah. Ah, anak-anak yang kritis, lucu dan polos...
Sekarang mereka sudah dewasa, Shinta 21 tahun dan Didit 23 tahun, sudah memasuki masa dewasa muda. Tetapi di mataku sebagai ibu, mereka tetaplah anak-anakku yang manis, lucu dan menggemaskan. Karena itu, dua minggu menjelang kedatangannya, aku sudah heboh menyediakan stok makanan yang mereka sukai, seakan-anak mereka akan lama berlibur bersama kami. Kamarnya sudah aku rapikan dan bersihkan. Di pasar, aku juga melihat beberapa ibu yang sama hebohnya denganku, sibuk membeli makanan yang disukai oleh anak-anaknya, yang akan datang berlebaran.
Selama bersama-sama, masih saja aku memperlakukan mereka seperti anak-anak kecil. Mereka aku peluk, aku cium sampai mereka protes " Mama, aku sudah bukan bayi lagi". Dan dengan kepala batunya aku menyahut:"Biar, dimata mama kalian tetap anak bayi". Dan mereka menyahut:"Kalau gitu, mama harus ganti kacamata tuh"..ha ha ha ha. Tetapi di lain pihak, mereka juga tetap bersikap seperti bayi. Dengan badannya yang sudah sebesar gajah, mereka menyesaki tempat tidurku, bercanda, mengobrol, mengomel, berkeluh kesah tentang pekerjaan dan studi mereka dan bercerita tentang kawan-kawan dan pacar-pacar mereka .
Dan setelah lima hari yang membahagiakan, tibalah saatnya kami harus berpisah. Rasanya lima hari itu tidak cukup dan sejujurnya tidak akan pernah cukup berapa hari pun kami bersama. Perasaan sentimentilku menginginkan agar anak-anak tidak usah pulang lagi ke bandung dan jakarta. Tetapi anak bungsuku berkata "Mama, kalau aku disini terus, aku tidak akan lulus-lulus ma. Aku pergi menuntut ilmu dulu, ya". Di lain pihak, rasioku juga membenarkan kata-kata si bungsu. Saat itulah aku terombang-ambing dalam situasi yang menurut Jung-salah seorang pakar psikologi-internal conflict .
Kasih ibu memang tidak akan pudar sepanjang masa. Ia akan terus ada dan menyala dengan hangatnya untuk anak-anak terkasih. Tidak peduli anak itu masih bayi atau sudah dewasa, sampai kapan pun anak-anak membutuhkan, kasih ibu akan terus ada.
Dalam situasi seperti ini, saya jadi tersadar bahwa anak memang bukan milik kita. Kita hanya dititipi sambil diberi amanah untuk merawat, membesarkan, mendidik dan memelihara mereka. Tetapi mereka bukan miliki kita, karena itu kita harus siap kapan pun anak-anak itu meninggalkan kita dan menempuh jalannya sendiri. Tetapi kasih ibu akan selalu menyertai dan menaungi setiap langkah mereka diiingi doa agar Allah senantiasa melindungi dan membimbing mereka di jalanNya.
0 komentar:
Posting Komentar