Minggu, 20 Juni 2010
Winny W Sutopo
Beberapa tahun yang lalu, ketika mengantar anak saya mengkuti test masuk di salah satu sekolah islam favorit di jakarta, saya tertarik mengamati kejadian ini:
Murid2 datang dengan mobil2 mewah diantar oleh sopir dan seorang pembantu. Setelah mobil berhenti di tempat yang telah disediakan, pembantu turun dengan membawakan tas sekolah dan bekal kemudian membantu anak majikannya turun dari mobil. Mobil pun kemudian menuju tempat parkir. Sopir turun, berkumpul dengan kawan2 sesama sopir dan mereka mengobrol menunggu saatnya anak majikan pulang sekolah. Pembantu yang telah selesai membantu anak majikan, juga berkumpul dengan sesama pembantu, mengobrol dengan kawannya yang ada disitu atau bertelepon menggunakan ha pe sambil menunggui anak majikan bersekolah.
Sekolah ini memang terkenal sebagai sekolah islam yang sebagian besar muridnya ( kalau tidak mau mengatakan seluruhnya) adalah anak2 orang kaya. Kantinnya mewah ,berisi jajanan yang biasa ditemui di mall, uang sekolahnya mahal .Bila liburan tiba murid2 menghabiskan waktu dengan berlibur keluar negeri sambil sebelumnya berurunan mengumpulkan uang untuk membiayai beberapa orang guru pergi umroh.
Kembali ke peristiwa di atas, selama dua hari disana dan melihat pemandangan yang sama , saya jadi merenung dan berpikir. Alangkah Maha AdilNya Allah. Mobil seharga ratusan juta itu, mustahil dimiliki oleh sopir atau pembantu. Tentulah itu milik majikannya. Majikan yang saat itu mungkin sedang bekerut-kerut keningnya memikirkan bisnis atau kesulitan lain agar dapat membiayai gaya hidupnya. Majikan yang bekerja dari pagi sampai malam demi mengumpulkan uang untuk dapat membeli mobil mewah , yang pada akhirnya tidak dapat menikmati hasil jerih payahnya . Ia yang berupaya membeli mobil bertransmisi otomatis agar nyaman berkendara, pada akhirnya tidak dapat menikmati ringannya transmisi otomatis, karena yang mengendarai mobil itu hanyalah sopirnya. Sementara sopir dan pembantu yang bukan pemilik, saat itu menikmati enaknya menaiki mobil mewah, berjok empuk, berpendingin udara dan transmisi otomatis, tanpa harus repot berpikir bagaimana mendapatkan uang untuk membeli bensin, biaya service atau membeli spare parts yang bisa mencapai jutaan rupiah. Mereka duduk2 di sekolah sambil mengobrol dan tertawa lepas dan pada akhir bulan menerima gajinya. Menilik mobilnya, pastilah si majikan mempunyai rumah yang juga tidak kalah wah . Tetapi rumah bagus itu pun tidak dapat dinikmati. Rumah mewah dan megah pun hanya berfungsi sebagai tempat tidur malam bagi keluarga majikan, karena pagi-pagi pemiliknya sudah harus pergi bekerja menembus kemacetan dan baru kembali larut malam. Paling hanya pada akhir minggu saja sang pemilik dapat menikmati rumahnya. Itu pun bila pada hari itu tidak ada acara di luar rumah menanti. Akhirnya rumah mewah dan megah itu beserta segala perlengkapan yang modern pun kembali hanya dinikmati oleh pembantu. Kompor listrik, televisi layar datar berukuran besar, lantai marmer, ruangan berpendingin udara, bahkan tidur siang pun, semua itu hanya dinikmati oleh pembantu.
Padahal kalau dipikir, dengan penghasilan sebagai sopir dan pembantu, mustahil mereka dapat membeli rumah megah, mobil mewah dan perlengkapan modern lainnya. Tetapi Allah dengan segala kebesaranNya memberi mereka kesempatan untuk menikmati semua itu tanpa harus memiliki.
Kejadian ini sungguh menggelitik saya untuk merenungkan beberapa hal :
1. Ternyata memiliki tidak selalu berarti mampu menikmati. Sebaliknya untuk dapat menikmati, orang yang tidak perlu harus memiliki.
2. Tidak perlu hidup ngoyo mengumpulkan harta, apalagi sampai mengorbankan kepentingan orang lain, melalaikan kesehatan atau melanggar aturan, karena pada akhirnya kita tidak dapat menikmati semuanya.
Wallahu alam.
0 komentar:
Posting Komentar