Di Batas Asa

Minggu, 30 Mei 2010

di batas asa
Oleh : Sri 'ade' Mulyani

Lalu,
Angin pun tak lagi bawa kisah
Hanya diam dalam pekat mega
Kemana kan bertanya
Sedang sua tak lagi punya makna

'tuk persahabatan yg telah mati
satu kusiapkan peti
kan ku kubur dia disini
di perigi hati…


Bontang, 30 Mei 2010

8 Sampai 17

Jumat, 28 Mei 2010

Oleh : Winny W. Sutopo


08.00
“Good morning everyone,” sapaku sambil memasuki ruangan.
“Good morning, mbak,” teman2 yang sudah berada di ruangan menyahuti.
“Wah, cerah hari ini,” kata bu Ratna.
“Iya, nih kayaknya hari ini mbak Ratih lagi happy,” celetuk Dina.
“Bagus ya, aku pakai warna ini? Ok, besok aku bikin selusin deh baju warna ini biar kelihatan cerah terus,” sahutku sambil menyalakan komputer.
Selembar post-it tampak tertempel di layar monitor. Dari Devi, bosku, menanyakan posisi rekrutmen posisi Sekretaris Bos Besar. Begitu komputer siap untuk bekerja, langsung tanganku membuka lembaran website kantor kami untuk mencari jawaban atas pertanyaan Devi. Ah, penutupan lamaran masih 3 hari lagi dan sampai saat ini sudah 300 orang melamar. Selalu saja, bila ada lowongan untuk jabatan Sekretaris dan Administration Assistant, pelamarnya pasti membludak. Haiya,… alamat kerja keras nih. Aku menuliskan jawaban untuk Devi dan mengirimkannya lewat email.

Sempat juga kulihat bahwa hari ini ada 3 pos jabatan yang tutup, artinya hari ini aku harus mencetak seluruh lamaran yang masuk dan membawa ke rumah untuk membaca satu persatu sambil menyeleksinya. Syukurlah, sudah ada program yang melakukan penyeleksian awal, sehingga lamaran yang harus kubaca hanya yang sudah memenuhi prasyarat awal saja. Seringkali ada saja pelamar yang nekad mengirimkan lamaran padahal jelas-jelas tidak memenuhi prasyarat awal. Yah, namanya juga usaha.

Ha,…..ini ada jawaban dari pak Edwin di emailku. Dia bersedia membantu dalam proses wawancara lusa. Asyik, berarti ketiga panelis sudah bersedia semua. Siiip….lah, tinggal memfotokopi berkas-berkas lamaran, membuat filenya dan membagikannaa kepada anggota panel.

Kriiiiing….telepon di mejaku berbunyi.
“HR Unit good morning.”
“Mbak, ini Verena dari Environment Unit. Mau tanya dong, kalau mau bikin Term of Reference untuk Finance Assistant GS-6, requirementnya apa?”
“Ok, nanti aku emailnya isi Term of Reference dan requirementnya.” Term of Reference adalah jabaran tugas yang harus dikerjakan oleh orang yang menduduki posisi jabatan tertentu. Biasanya dibuat bersamaan dengan pengiklanan lowongan jabatan.

“Mbak Ratih yang baik,” sapa Anna dari CPRU yang tiba-tiba saja sudah muncul di ruang kerjaku.
“Ya, Anna yang juga baik hati, peramah dan tidak sombong, apa yang bisa aku bantu?”
“Mbak, aku sudah bikin Term of Reference untuk Project Officer, minta tolong diklasifikasi ya mbak.”
“Ok deh, tinggal dulu disini ya, nanti kalau sudah diklasifikasi aku kabar-kabari deh.”
“Thanks ya mbak. Bisa minta cepat nggak mbak? Si Alesandra sudah bolak balik nanya nih.”
“Oce, oce, aku kerjakan secepat kilat deh.”
CPRU merupakan unit yang berhubungan dengan penanggulangan krisis dan bencana alam. Dengan banyaknya bencana alam yang menimpa Indonesia saat ini, tidak heran bila unit ini jadi kewalahan dan semua posisi yang menyangkut unit ini harus diprioritas utamakan.

Bekerja di salah satu badan PBB yang berhubungan dengan pembangunan, bahasa resmi yang dipakai di kantor ini memang bahasa Inggris, karena stafnya memang sangat beragam kebangsaannya. Seperti Devi, bosku, dia berkebangsaan India atau Mark yang Operation Manager, bosnya Devi, orang Amerika. Tetapi di antara sesama staf lokal, kami masih bisa leluasa berbahasa Indonesia.


08.50
Weits, sudah hampir jam 9 nih. Aku harus bersiap-siap menangani wawancara. Cepat kuambil pulpen, kacamata, notes dan file. Hmm, wawancaranya di ruang meeting lantai 10, berarti harus naik tangga 2 lantai nih. Ok, deh, siapa takut.
“Friends, aku ke lantai 10 dulu, ada wawancara.”
“Sampai jam berapa, mbak?” tanya bu Sonya.
“Kayaknya sih sampai jam 12, bu”.
“Makan siang dimana?”
“Di ruangan saja, deh. Din, titip ya, kalau Rahma muncul, aku dibelikan gado-gado dan jus tomat.”
“Ok, bu.”
“Devi, if you need me, I’ll be at the 10th floor, interviewing,” pamitku kepada Devi sambil menjulurkan kepala ke dalam ruangannya.
“Ok, Ratih, good luck.”

Sambil berjalan ke lantai 10, aku mampir ke ruang operator untuk mengingatkan pak Tono, operator telepon andalanku, bahwa aku ada wawancara lewat lewat telepon. Jadi, minta tolong, nomorku dipindah ke telepon di ruang meeting dan minta tolong disambungkan ke nomor-nomor yang akan dihubungi sesuai jadual. Aku juga menyerahkan jadual wawancaranya.

Posisi yang akan diwawancara hari ini adalah lowongan yang terbuka bagi pelamar internasional. Ada 3 pelamar, masing-masing bertempat tinggal di Australia, Afganishtan dan Thailand. Menangani rekrutment seperti ini, pelamar tidak perlu datang ke Indonesia. Cukup melalui sambungan telepon saja. Mengingat adanya perbedaan waktu antara ketiga tempat tersebut, maka ketika menyusun jadual, aku harus berhati-hati mempertimbangkan adanya perbedaan waktu ini. Panel interview juga terdiri dari staf internasional yang jabatannya setara dan lebih tinggi dari jabatan yang akan diwawancara. Pada wawancara kali ini, tugasku hanya ikut menyimak jalannya wawancara, mencatat dan nanti membuatkan laporannya.

Setelah anggota panel berkumpul semua, wawancara pun dimulai. Diawali dengan pelamar yang bertempat tinggal di Australia. Aku menekan beberapa nomor untuk menghubunginya dan… ”Hello, may I speak to Mr. Alain please?”
“Mr. Alain, this is Ratih from UNDP Indonesia…..” aku memperkenalkan diri sambil menjelaskan proses interview dan memperkenalkan panelis yang ada. Masuk ke pelamar kedua. Agak lama, baru aku mendapatkan sambungan. Itu pun tidak langsung diangkat. Kucoba lagi nomor lain yang telah diberikan oleh pelamar. Memang sebelumnya, dalam email, ia telah menjelaskan bahwa berhubung situasi keamanan di negerinya sedang tidak menentu, maka bila situasi aman, ia akan berada di kantor pada hari wawancara. Tetapi, bila situasinya mendadak tidak aman, maka ia akan tinggal di rumah, sesuai instruksi pemerintahnya.
“Mr. Amir Khan?”
“Yes, is this Ratih?”, kudengar suara yang tidak jelas dan samar-samar di ujung sana. Memang paling sulit kalau berhubungan dengan pelamar yang berada di negara-negara yang rawan konflik atau belum baik sambungan teleponnya. Wawancara dengan Mr. Amir Khan pun akhirnya selesai, walau pun diselingi dengan beberapa sambungan terputus. Disinilah aku membutuhkan bantuan pak Tono, untuk kembali menghubungi pelamar. Terakhir, dengan Mr Jason yang berdomisili di Thailand. Berhubung wawancara kedua tadi putus sambung beberapa kali, maka jadual wawancara dengan Mr. Jason jadi mundur 1 jam. Jadilah aku harus meminta maaf dahulu untuk keterlambatan ini. Untung dia masih sabar menunggu dan tidak berkeberatan dngan jadual yang mundur itu.

12.05
Akhirnya, selesai juga wawancara hari ini. Panel tampaknya bersenang hati karena telah menemukan calon yang cocok. Setelah diskusi sejenak, mereka menyerahkan catatan wawancara masing-masing kepadaku untuk nantinya kubuatkan laporan wawancaranya.
“I will contact you soon after I finish with this write-up to have your review,” begitu janjiku pada mereka. Memang, mereka masih harus melihat kembali hasil laporanku sebelum membubuhkan tandatangan nantinya.

Di mejaku, sudah tersedia sebungkus gado-gado dan segelas jus tomat. Biasanya, kami ramai-ramai makan siang di luar. Tetapi hari ini, aku memilih untuk makan di dalam kantor saja.


13.05
Aku berharap siang ini bisa berjalan tenang. Sambil mencetak lamaran-lamaran yang masuk untuk ke 3 posisi yang tutup hari ini, aku membuat klasifikasi jabatan, sesuai janjiku pada Anna tadi pagi.
“Ratih, can you tell me the recruitment position for post Program Manager Padang?” suara Mark menanyakan posisi rekrutmen untuk Program Manager Padang mengagetkanku.
“We have done with the short-listing and will do the interview the day after tomorrow, pak” jelasku. Untung sudah dibuat jadual wawancaranya lusa.
“Please, treat the recruitment as your baby,” tuntut Mark. Itu artinya, aku harus menomorsatukan posisi itu dibandingkan dengan posisi-posisi lainnya dan harus mengerjakannya secara ekstra hati-hati. Rasanya, tiap posisi harus dikerjakan secara hati-hati dan segera. Kemana ya Mark ini waktu pelajaran kata “nanti” atau “secepatnya”. Dia kayaknya cuma tahu “sekarang” aja deh.


15.10
Tanda adanya email masuk dilayar komputerku membuat mataku hampir meloncat keluar. Pak Kumar mengabarkan bahwa dengan sangat menyesal dia tidak dapat ikut dalam wawancara besok pagi, karena mendadak ada meeting di BAPPENAS. What?!?! O, tidak!!!! Jam segini, harus mencari orang buat besok pagi????? Mendadak perutku mulas luar biasa. Dengan menenangkan diri, aku mengambil daftar staf UNDP yang ada. Ibu Nia, biasanya bisa. Hmmm, tapi dia orang Indonesia. Ini international post. David. Kuputar nomor teleponnya. Yaaah….., ternyata dia sedang keluar kota. Shigeru, Jepang yang ganteng dan pandai. Keberatan, karena baru kemarin dia wawancara. Memang sih, tidak dapat disalahkan, karena wawancara bukan tugas pokok mereka, walau pun peraturan menuntut mereka harus ikut menjadi anggota panel wawancara bila diperlukan. Harapan terakhirku tinggal pak Karl, si botak yang biasanya suka menolong kalau aku sedang kepepet. Lama teleponku tidak ada yang mengangkat. Kutekan nomor telepon sekretarisnya.
“Nana, ini Ratih. Ayahandamu kemana say?”
“Lagi ke proyek bu.”
”Tolong dong intip, besok dia ada acara ngga? Kalau ngga ada yang penting aku mau minta tolong wawancara nih.”
“Kayaknya, sih, besok Babe di kantor aja, bu. Tapi mending ibu telepon sendiri dulu ya.”
“Siip, makasih ya Nan.” Cepat kuhubungi pak Karl di hapenya.
“Hi Spiderwoman, how are you?” Pak Karl selalu memanggilku Spiderwoman, karena aku akan selalu mengejar siapa pun yang aku perlukan untuk wawancara sampai dapat, tidak peduli dia bersembunyi dimana. Cepat kujelaskan masalahku.
“Well, what can I say? Ok, I will do the interview.” Bodo ah, berkeberatan atau nggak, yang penting besok aku sudah dapat pengganti pak Kumar.

Cepat kusiapkan filenya dan mengirimkannya ke meja pak Pak Karl untuk dipelajari nanti sepulang dari proyek.

16.30
Tidak terasa sudah hampir jam 17.00. Aku ingat sore ini berjanji pada suamiku untuk menemaninya ke dokter gigi. Cepat kubereskan mejaku dan bergegas sholat ashar. File lamaran yang akan kubawa pulang sudah kusiapkan juga dibawah tas tanganku. Begitu juga berkas laporan yang harus kuselesaikan. Ini akan menjadi pe-erku nanti malam, kalau tidak terlalu lelah.

17.07
“Devi, I’m going home,” aku pamit pada atasanku.
“Why are you going home so early?” Yaealah……, paling nggak enak kalau pulang jam 5 sore, pasti ditanya kenapa pulang cepat. Padahal sebenarnya, jam kerja kami cuma sampai jam 16 lho.
“I have an appointment with my husband,” terpaksa deh, aku jelaskan.
“Ok, see you tomorrow.”
“See you tomorrow, Devi!” Dina ikut-ikutan pamit.
“Ok girls, bye…” sahut Devi.

Selesai sudah aku menjalani hidupku satu hari ini. Dengan bergegas, aku melangkah ke tempat parkir mencari dimana suamiku menjemput.

Roda Kehidupan

Oleh : Winny W. Sutopo

“Eh, file siapa tuh yang masih belum diambil?” tanya Tiara sambil mengambil file klien miliknya.
“Punya Dinar,” sahut Linda yang sudah duduk di kursi pilihannya, sambil membuka-buka filenya.
“Lho, Dinarnya belum datang?” kembali Tiara bertanya sambil mempelajari file klien yang akan diwawancara.
“Belum,” jawab Linda. “Mungkin travelnya terlambat.”

Hmmm…. tiap hari Senin, Dinar pasti datang terlambat untuk wawancara. Memang sih, bisa dimaklumi, dia datang dari Bandung. Dinar bisa dikatakan tergolong anggota PJKA (Pergi Jum’at Ahad kembali), karena tinggal di Bandung, sementara pekerjaannya di Jakarta.

Sambil terus membuka-buka file klien yang akan diwawancara, Tiara terus asyik memikirkan Dinar. Tidak masuk di akalnya, untuk pekerjaan mengasong, sebutan bagi psikolog lepasan yang bekerja di beberapa biro konsultasi dan hanya muncul saat diperlukan untuk memeriksa klien saja, Dinar koq mau sih wara-wiri Bandung-Jakarta tiap minggu. Pekerjaan ini kan tidak terlalu menghasilkan banyak uang. Paling tidak, bila dibandingkan dengan rasa capek dan kerepotan Dinar harus meninggalkan keluarga di Bandung.

Buat Tiara sendiri, bekerja sebagai pengasong hanya dilakukan sebagai pengisi waktu luang. Ada kalanya ia menolak panggilan untuk wawancara, bila merasa laporannya masih banyak atau ia sedang tidak “mood” bekerja. Sejak anak-anaknya menginjak remaja, tidak banyak yang harus ia lakukan di rumah. Apalagi pekerjaan ini memberinya kesempatan untuk bertemu dengan teman-teman lama, sesama psikolog. Uang bukan faktor utama, penghasilan suaminya sebagai manager salah satu perusahaan terkemuka lebih dari cukup. Selama ini, ia lebih banyak menghabiskan penghasilannya untuk memenuhi kebutuhannya sendiri (terbayang, iklan di surat kabar tadi pagi tentang sale di Metro. Patut dilihat tuh, siapa tahu tas yang diinginkan ikut juga dalam program sale kali ini). Atau membelikan sesuatu bagi anak-anaknya (o, iya, tadi si bungsu Shinta minta dibelikan tiramisu kesukaannya).
“Ibu-ibu, hari ini bu Dinar tidak datang, anaknya masih sakit. Jadi ada 4 file nih, yang harus ditambahkan ke bagiannya ibu-ibu. Bu Tiara tambah satu ya,” suara pak Eko, petugas administrasi membuyarkan lamunannya. “Bu Linda tambah satu lagi ya.” “Bu Ines tambah dua ya.”
“Eh, Eko, jangan….aku. Laporan yang kemarin masih belum selesai lho, jangan dua,” Ines buru-buru mengajukan keberatannya. “Bu Tiara saja tuh tambah dua, laporannya sudah selesai . Ya, Tiara, please…”
”Okey, deh… untuk Ines apa sih yang nggak kulakukan”, sahut Tiara rada-rada menggombal. “Halah, sinetron banget deh,” sahut Ines. “Tapi, makasih ya, Tiara”.

Berkumpul dengan psikolog yang sebagian besar wanita, memang selalu riuh dan menyenangkan. Banyak hal yang bisa dibicarakan bersama, mulai dari urusan anak, masakan, tempat mana yang menjual barang keperluan wanita yang murah meriah sampai urusan yang lebih serius, seperti membahas klien atau kadang-kadang issue-issue penting yang menyangkut negara.

Tiara kemudian tenggelam dengan tugasnya mewawancara klien yang mengikuti seleksi penerimaan karyawan. Adanya tambahan 2 file dari Pak Eko, menjadikan klien yang harus ditangani hari ini menjadi 6 orang. Lumayan juga, harus konsentrasi untuk 6 jam ke depan, mengamati perilaku klien sambil mewawancaranya dan mencatat. Untunglah, hari ini tidak ada klien yang perilakunya luar biasa. Mereka cukup kooperatif dan komunikatif.

Selesai dengan klien ke 4, Tiara memutuskan untuk beristirahat sejenak. Kepalanya mulai jenuh dan lelah. Perutnya juga mulai lapar. Dia memutuskan untuk berdiri sejenak, mengambil teh dan kue, jatah snack pengasong. Di meja snack, Tiara berpapasan dengan Linda yang juga sedang beristirahat.

“Linda, sakit apa anaknya Dinar? “ Tiara membuka pembicaraan.
“Nggak tahu, minggu lalu sih, anaknya yang bungsu gejala tipus”.
“Terus, anaknya diopname?”
“Kayaknya sih, nggak, berobat jalan saja.”
“Lho, kenapa nggak diopname? Kan bahaya tuh.”
“Tiara, opname itu kan butuh uang. Dan Dinar nggak punya uang untuk membayar biaya opname anaknya.”

Tanpa diminta, Linda lalu bercerita bahwa Dinar menikah dengan duda yang membawa 4 anak. Dari perkawinan ini, Dinar memiliki 2 anak. Suaminya dulu bekerja sebagai General Manager sebuah hotel bintang 5 di Batam. Tetapi karena krisis moneter, maka dia kehilangan pekerjaannya dan sampai sekarang menganggur. Keluarga ini lalu pindah ke Bandung, menempati rumah eyang Dinar, yang kebetulan kosong. Sebetulnya pernah ada beberapa kali tawaran pekerjaan untuk suami Dinar di hotel bintang 3 atau 4, tetapi dia selalu menolak, karena tidak sesuai untuk levelnya. Jadilah, Dinar yang lintang pukang bekerja mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya. Bisa dikatakan, Dinar hanya menjadi “week-end mother”, di hari kerja dia berada di Jakarta untuk mengasong.

Terperangah Tiara mendengar cerita Linda. Memang, sudah lama dia tidak berhubungan dengan Dinar. Sejak menikah dan mengikuti suaminya bekerja di pulau seberang, nyaris tidak pernah dia menjalin kontak dengannya. Baru sejak kepindahannya kembali ke Jakarta, beberapa bulan yang lalu, dia bertemu kembali dengan Dinar.

Dinar. Tidak disangka perjalanan hidupnya begitu berat. Ingatannya melayang ke masa-masa mahasiswa. Saat itu, Dinar termasuk salah satu mahasiswa yang tergolong berduit. Betapa tidak, ayahnya salah satu Direktur BUMN yang terkenal gudang uang. Ibunya profesor pendidikan terkenal. Ke kampus, Dinar selalu diantar jemput oleh mobil bersopir. “Geng”nya Dinar adalah kelompok mahasiswa berduit yang hidupnya kelihatan “wah”. Saat itu, Tiara hanya mahasiswa biasa yang naik-turun bis sebagai kendaraan ke kampus. Memang, Tiara tidak terlalu dekat dengan kelompok Dinar, tetapi karena kampus mereka kecil, maka mereka saling kenal.

Hidup manusia memang tidak ada yang dapat menduga, persis seperti roda. Kadang ada di atas, setelah itu bisa berputar ke bawah. Tiara, yang dulu, mahasiswa biasa sekarang hidup berkecukupan, sedang Dinar yang dahulu serba ada, sekarang bahkan untuk biaya opname anak pun tidak ada. Pekerjaan mengasong, yang bagi Tiara hanya pengisi waktu dan penambah uang jajan, bagi Dinar ternyata merupakan sumber nafkah utama. Tidak terbayangkan, bagaimana menghidupi keluarga dengan anak 6 hanya mengandalkan penghasilan mengasong. Tidak heran, bila apa pun yang terjadi, Dinar rela pontang-panting dari satu biro konsultasi ke biro konsultasi lainnya untuk mengejar panggilan wawancara sepanjang minggu. Sudah terbayang, bahwa malam harinya, dengan badan penat setelah seharian menembus kemacetan Jakarta, Dinar masih harus berkutat dengan laporan. Bagi Dinar, tidak ada kata “tidak mood” atau “masih banyak laporan” untuk menolak wawancara. Menolak wawancara, berarti berkurangnya penghasilan.


Sambil kembali ke tempat duduknya, Tiara tidak henti-hentinya mengucapkan syukur atas nikmat Allah yang dilimpahkan kepadanya. Ia bersyukur atas “kemewahan” hidup yang dimiliki. Atas suami baik hati yang bisa memberinya kehidupan yang jauh di atas layak, anak2 yang sehat dan pandai. Tiba-tiba ia merasa sangat kangen kepada suaminya yang sedang berdinas keluar kota. Dirogohnya tas tangannya mengambil telepon genggam, lalu ditekan beberapa nomor. ”Assalamulaikum. Papa? Papa, aku cuma mau bilang, aku sayang sekali sama papa dan bersyukur papa menjadi suamiku”.

Sebuah Cerita Cinta

Sebuah Cerita Cinta
Oleh : Hasviniyanti

Putri Duyung Cottage, Ancol 23.55 WIB
Acara makan malam family gathering dari beberapa orang sahabat karib.

“Uggh, Aku bosen. Kalau saja aku punya pacar, aku tidak akan merasa kesepian seperti sekarang” desah Riana sambil melirik Rizky yang duduk di seberangnya.

“Tinggal kita berdua ya?” jawab Rizky sambil tersenyum.

Riana menyambutnya dengan senyum pahit, dia mengerti betul maksud Rizky. Hanya mereka berdua dari geng ‘Sendal Jepit’, geng masa mereka kuliah dulu, yang masih single. Mereka terdiam sesaat memperhatikan teman-teman yang lain bersuka cita dan bercengkrama dengan pasangan dan anak-anak mereka.

“Gimana kalau kita coba berpacaran?” celetuk Riana tiba-tiba.

“Pacaran gimana sih?” tanya Rizky

“Yaa.. pacaran-pacaran.. kita berdua.. Cuma hmmm 1 bulan saja lah, 30 hari.. aku hanya ingin ngerasain punya pacar..males jomblo melulu” lanjut Riana santai

“Hhmm..” Rizky tampak mengernyitkan kening.

”Ayolaahh.. rese lo… gak seburuk itu kok pacaran sama aku..” desak Riana

“Iya, sih iyaa… tapiiiiiiii…”

“Hanya 30 hari Ky, setelah itu kamu bebas tebar pesona lagi deh, gimana?” potong Riana cepat

“Hhmm boleh juga” jawab Rizky beberapa saat kemudian.

“Ugh, kok kedengarannya gak semangat banget sih? Semangat dong… semangat … mauuu gaakk?” desak Riana lagi, Rizky akhirnya mengangguk setengah hati. “ Siippp..” Riana melonjak senang, “Hari ini resmi jadi hari jadian kita ha..ha..ha.. “ Riana tertawa gembira “hayo kita salaman..” lanjut Riana riang sambil mengulurkan tangannya

“Sinting kamu…” seru Rizky akhirnya ikutan geli sambil menyambut uluran tangan Riana, mereka lalu berjabat tangan sambil tertawa

“30 hari” kata Riana dengan senyum lebar

“30 hari” jawab Rizky.

Hari kedua
Hari ini pertamakali Rizky menjemput Riana dikantornya di bilangan Rasuna Said, mereka makan malam bersama di Soto Gubrak Casablanca, Riana memilih tempat ini karena dia suka dengan sensasi tergaget-kaget tiap mendengar gubrakan keras dari pelayan ditempat itu. Setelah kenyang mereka lalu sepakat pergi nonton di TIM.

Hari ketiga
Mereka datang keacara ulang tahun teman kantor Riana, seisi kantor heboh, termasuk boss Jepangnya Riana, karena Riana datang bersama Rizky, maklum Riana termasuk dari Senior Marketing yang masih betah menjadi single di kantornya. Sang boss berkali-kali menggoda Riana dan Rizky

Hari ketujuh
Rizky mengajak Riana menjenguk temannya yang baru melahirkan, bersama-sama mereka memilih kado perlengkapan bayi, sambil mereka berjalan-jalan cuci mata di sebuah mall. Hari ini pertama kali mereka bergandengan tangan, dan pada saat pulang Rizky membelikan bross cantik warna ungu untuk Riana.

Hari kesepuluh
Mereka menghabiskan waktu di Dufan, 2x naik Halilintar, 2x naik niagara sampai basah kuyup, 3x naik kora-kora sampai Rizky hampir muntah, kemudian mereka masuk ke Istana Boneka dan membeli kapas permen yang berwarna pink. Mereka tertawa-tawa bersama dan berbagi botol minuman. Sore hari waktu mereka naik diatas bianglala mereka berciuman, ciuman pertama mereka.

Hari ke duapuluh sembilan
Riana menyarankan agar mereka kembali menghabiskan waktu dengan pergi ke pantai. Dan mereka kembali kepantai favorit mereka, Ancol. Duduk di tepinya menatap matahari yang mulai tenggelam sambil berpelukan dan berpegangan tangan.

18:23
Riana: “Aku haus Ky”
Rizky:” Tunggu sebentar ya, aku beli minum, mau minum apa?”
Riana: “Air mineral aja deh..”

18:43
Riana menunggu sekitar 20 menit, Rizky belum juga datang. Lalu seorang pemuda, salah satu penjaja tiker dipantai itu mendekatinya dengan tergesa-gesa.
Pemuda: “Apakah kamu menunggu seseorang?”
Riana: “Ya, kenapa?”
Pemuda: “Baru saja ada orang tertabrak mobil di jalan sana, aku kira dia teman kamu”
Riana segera berlari dan melihat Rizky terbaring di jalan dengan bersimbah darah di wajahnya, sebotol air mineral masih berada dalam genggamannya. Ambulans segera datang dan membawa mereka berdua kerumah sakit terdekat. Riana duduk di luar ruang gawat darurat selama lima setengah jam.

23:51
Seorang dokter akhirnya keluar dari ruang gawat darurat, dokter itu menyerahkan sepucuk surat kepada Riana
Dokter : ”Kami menemukan ini di kantong bajunya”
Riana : “Bagaimana keadaannya dok?”
Dokter : “Saya minta maaf, kami sudah melakukan yang terbaik yang kami bisa. Temanmu masih bernafas sekarang, tapi tidak akan bertahan lebih lama”
Riana segera berlari masuk ke ruangan untuk melihat Rizky. Dia tampak lemah dan masih belum sadar, darah diwajahnya sudah dibersihkan. Riana membuka surat itu, membacanya dan kemudian ia menangis tersedu-sedu.
Ini adalah isi suratnya :

Yang tersayang Rianaku,
30 hari kita hampir berakhir, aku ingin kamu tahu bahawa aku sangat menikmati setiap saat bersama kamu. Aku terlambat menyadari bahwa kamu selain cantik ternyata juga sangat menyenangkan, walaupun ya, kadang-kadang kamu sangat keras kepala, manja, kekanak-kanakan, punya selera aneh dan sinting, tapi semua itu memberi warna dalam hidupku yang monoton. Dan aku sangat ingin 30 hari ini bisa di perpanjang. Aku cinta kamu Riana, aku ingin menjadi bagian dari hidupmu selamanya.

23:58
Riana: ”Rizky, aku juga cinta kamu.. tahu kah kamu, aku membuat permainan ini hanya agar aku bisa selalu dekat denganmu” Riana kembali tersedu-sedu “Aku cinta kamu Rizky.. aku CINTA KAMU ayoo bangun Rizky.. BANGUN…. lihat aku Rizky.. LIHAT AKU.. LIHAT AKU…!!”

Ketika jam berdentang 12 kali, jantung Rizky berhenti berdetak.
Itu adalah hari ke 30 mereka.

“Katakan cinta pada orang yang kamu cintai, karena kamu tidak akan tahu apa yang akan terjadi esok hari”

------ TAMAT ---------

Suatu Hari di Pelataran Parkir Gedung Sekolah

Sabtu, 22 Mei 2010

Matahari telah meninggi. Perayaan milad di sebuah sekolah TK hampir saja berakhir. Mobil kami parkir ketika satu-persatu pengunjung mulai meninggalkan lokasi acara. Tinggal segelintir orang yang masih bertahan menyaksikan sisa acara. Bazar yang digelar pun sudah mulai sepi. Kami putuskan untuk pulang saja karena acara hampir berakhir.

Ketika menyalakan mesin mobil, di depan kami berhenti sebuah mobil sedan. Seorang ibu muda dan anaknya yang masih duduk di bangku TK sepertinya sedang berdebat tentang sesuatu. Tiba-tiba kaca mobil sedan diturunkan, tanganpun terulur. Tanpa perasaan bersalah, sebuah bungkus plastik kemasan makanan ringan melayang dari tangan ibu muda, jatuh tepat di aspal jalan yang mulus dan bersih. Kaca mobil tertutup kembali dan mobil pun berlalu……

Pemandangan yang biasa? Ah, ingin saya katakan pada pemilik sampah itu, “Bu… bu, barang milik ibu tercecer!”

Bukan sekali ini melihat hal seperti itu. Coba perhatikan, seringkali setiap usai sebuah perayaan digelar, tumpukan sampah di mana-mana, bukan di tempat sampah (ah tenang saja, kan nanti juga ada petugas kebersihan yang membereskannya).
Seringkali setiap usai shalat Ied, koran dan tas kresek berhamburan di mana-mana bukan di tong sampah yang telah disediakan (ah, itu kan tugas pemulung, bukankah dia juga dapat rejeki dari koran yang berserakan?).

Ibu-ibu yang pernah melaksanakan ibadah haji, apa yang terkenang ketika masuk kamar mandi perkemahan Haji Indonesia di Arafah maupun Mina? Tumpukan panti shield dan pembalut yang berserakan di sudut kamar mandi. Apakah di sekitar kamar mandi tidak ada tong sampah? Ada, dan isinya tak sampai sepertiganya! Lalu kenapa? Kenapa tak bersabar untuk membawa sampah ke tempatnya yang terletak tak begitu jauh? Kenapa tega meninggalkannya sembarangan teronggok di sudut kamar mandi yang membuat orang jadi sebal ketika masuk kamar mandi? (Ah, mungkin ini pengalaman haji di tahun 2004, mudah-mudahan sekarang sudah tidak begitu…, atau justru semakin parah? Entahlah…).

Ibu, wanita yang paling dekat dengan anak-anak. Darimulah segala contoh berawal.
Mungkin terasa sepele, tapi... seperti apa generasi kelak jika di saat belia mereka terbiasa melihat perilaku buang sampah sembarangan?


Bontang, 22 Mei 2010

Di Jahit?

Selasa, 04 Mei 2010

Pagi ini rencananya Aku dan suami mau anter Akas (kakek dalam bahasa Palembang) untuk periksa darah rutin di dokter klinik kecil dekat rumah. Siangnya mau juga mau ambil paspor-ku di Jatinegara. Karena besok kita sekeluarga mau ke Bandung, biar suster Siti (pengasuhnya Arka & Argi) dan anak-anak dirumah Akas saja sambil mempersiapkan baju-baju dan perbekalan untuk ke Bandung.

Di klinik ternyata sudah ada beberapa pasien, jadi kita duduk-duduk untuk antri dulu. Begitu dipanggil, karena penglihatan Akas sudah mulai berkurang kita semua ikutan masuk ke dalam ruang praktek untuk bantu Akas. Didalam Akas mulai bertanya ini dan itu sambil dicek oleh dokter. Lagi asik-asik konsultasi tiba-tiba ada suara rebut-ribut diluar ruangan dan tiba-tiba braakkk..! Pintu ruangan terbuka, masuk suster Siti sambil gendong dede Argi, aku terlonjak, kaget banget.

Ada apa?!

Lebih kaget lagi waktu aku lihat dari lutut dede Argi menetes-netes darah merah segar kelantai.

Dede Argi terlihat pucat, suster terlihat ketakutan

"Ibuu.. dede Arginya jatuh..!" itu saja yang berhasil aku dengar dari saura suster Siti. Selebihnya aku konsentrasi dengan luka yang menganga di lutut dede Argi.

Dede Argi langsung aku peluk, dan aku baringkan di tempat tidur praktek dokter. Ruangan dokter ini langsung terasa sesak dan penuh aroma panik. Aku yang panik maksudnya.

Karena ini klinik kecil, dokternyapun dokter muda, yang baru lulus, adoooh, begitu lihat luka dede yang menganga lebar aku lihat tangan dokternya gemeteran dan beliau bilang "ini lukanya harus dijahit bu" dengan nada tidak meyakinkan.

Huuu..huuu..hu... dede Argi mulai nangis

Aku mulai panik, cemas, cemas karena luka di lututu dede Argi yang mengeluarkan darah dan cemas karena gak terlalu yakin dengan dokter muda ini. Aku lirik suamiku, ia juga terlihat cemas. Akas juga terlihat gelisah, mungkin akan ikutan panik bila melihat luka dilutut dede Argi yang menganga lebar dan mengucurkan darah segar. Ya sudah, apapun yang terbaik.. bismillah.. la haula walakuata illabila.

Dokter muda itu mulai membersihkan luka dede Argi "aduuhhhh... ADDDUUUUHHH... SAKIIITTT DOKTERRR" begitu teriak dede Argi setiap dokter mengoleskan cairan berwarna kuning kelukanya.

Kaki dede Argi yang meronta-ronta ditahan oleh suamiku dan satu orang suster laki-laki. Selesai dibersihkan, dokter muda itu mulai menjahit lukanya. Aku lihat jarum yang dipakai adalah jarum panjang dengan ujung seperti kail di pancing ikan.

"HOOOOOOOOOOO.. SUUUUDAAAAAAHHHHHHHHHHHHH...!!!!!!!" teriak dede histeris, satu jarum jahitnya menembus kulit. Aku peluk dede Argi sambil ajak ngobrol

“Dede tadi makan apa?” tanyaku lembut dengan suara ditenang-tenangkan.

“Makan mie Bunda” jawab dede Argi dengan suara lemah, wajah penuh keringat dan air mata, aku lap keringatnya dengan tissue

Tiba-tiba..

"SUUUUUUUUUUUUUDAAAAAAAAAAHHHHHHHHH JANJIII YAA DOKTER, SUDAAAAAHHHH... SAKIIITTTT" teriak dede Argi keras, satu jarum menembus kulitnya lagi, baru berhasil satu jahitan dan dede Argi kembali meronta-ronta.

Aku lemes, ingin nangis juga.. luka di lutut dede Argi masih mengeluarkan darah. Dokter lalu menyiram luka itu dengan cairan kuning lagi, mungkin betadine.. dede Argi langsung menjerit "AAAAAAAAAAWWWWWWWWWWWWW.. SUUUUUUUUDAAAAAAAAHHHHHH!!!!!! DOKTEERRRRRR!!!" tapi belum selesai, masih lebar luka di lututnya.

"SUUUUUUDAAAAHHH...HUUUU...HUUUUU...HUUUU... AAAAHHHHH...SUUUDAAHHH!!" masih teriak histeris dede Arginya tiap kali jarum ditangan dokter itu menembus kulitnya.

Aku langsung tanya kedokternya dengan nada tinggi satu oktaf "dibius gak sih dok? kok anak saya masih kesakitan?!"

Entah dokternya jawab apa, karena tertutup dengan teriakan dede Argi lagi.

Tapi iya sih.. mungkin sudah dibius karena aku lihat dokternya tadi sudah suntik dede Argi. Bismillah, aku percaya saja.

Dede Argi kembali menjerit-jerit kesakitan "SUUUUUDAAHHH... SAKIITTTT... SAKKKIIIITTTT..." dan selalu aku hanya bisa elus-elus rambut dede Argi, peluk dede Argi, hapus air matanya, hapus keringetnya... dan berjanji setelah semua selesai akan membelikan dede Argi es krim strawberry kesukaannya.

"OOOOWWW OOOWWW SAKIIITT DOKTERRRRR... SUUUDAAAAHHHHHHH!!"

Setelah beberapa saat yang penuh emosi, akhirnya selesai juga sang dokter menjahit lutut dede. Dede Argipun tertidur kecapek-an. Tidak kurang dari 8 jahitan menghiasi lututnya, berarti 16 tusukan jarum dan 16 kali lebih dede Argi menjerit kesakitan :”(

Aku sedih sekali.

Sampai dirumah Akas, mas Arka menyambut kami dengan cemas.

“Bunda, dede Argi jatoh, tadi darahnya banyak, disini.. disini dan disini.. semua ada darahnya dede Argi” begitu lapornya sambil menunjukkan tempat-tempat tetesan darahnya dede Argi. Wah, ternyata banyak juga tempat tetesan darahnya.

“Sekarang dede Arginya tidur ya Bunda?” tanyanya lagi sambil melihat dede Argi yang masih tertidur dipelukan Ayahnya.

“Iya” jawabku pelan, takut dede Arginya terbangun.

“Tadi mas Arka takut Bunda, takut dede Arginya mati, mas Arka tadi berdoa ke Allah, semoga darah dede Argi gak keluar banyak, semoga dede Argi ketemu Bunda” hiks, aku jadi terharu mendengarnya, langsung aku peluk mas Arka.

“Terima kasih ya mas, karena doa mas Arka jadinya Bunda bisa ketemu dede Argi, jadi dede Argi gak ketakutan” aku tersenyum dan bersyukur dalam hati mempunyai mas Arka yang sayang adiknya.

“Tadi dede diobatin apa Bunda?” tanyanya lagi sambil melihat lutut dede Arginya yang di perban.

“Oo.. dede Argi dijahit lukanya oleh dokter, supaya lukanya rapet dan darahnya gak keluar lagi” jelasku sambil mengelus-elus rambut mas Arka

“Dijahit gimana Bunda?”

“Dijahit seperti jahit baju, pakai jarum dan benang” jawabku lagi

“Sakit gak? Dede Argi nangis gak Bunda?” mas Arkanya meringis ngeri mendengar
penjelasanku.

Tiba-tiba dede Arginya terbangun “Bunda..” panggilnya, matanya sembab bekas menangis tapi bibirnya tersenyum gembira melihat mas Arka.

“Iya dek” jawabku. Mas Arka langsung loncat ketempat tidur dan cium pipi adeknya. Adek Argi-pun tersenyum senang.

“Tadi dijahit ya dek lututnya?” tanya mas Arka dengan mimik khawatir sambil memperhatikan lutut dede Argi. Dede Arginya mengangguk sambil menunjuk lututnya.

"delapan jahitan mas" begitu jawabnya

“Sakit gak dek?”

“Gak sakit, enaaakkk, cuman sakit sedikit…” jawab dede Argi dengan mimik lucu dan
tersenyum lebar, lalu dede Argi melanjutkan ucapannya sambil menoleh kearahku "mana es klim stobely-nya Bunda?"

oalaaa dede Argiii………

 
♥KALAM IBU-IBU♥ - by Templates para novo blogger