Minggu, 20 Juni 2010
Winny W Sutopo
Membaca status yang ditulis salah satu kawan saya pagi ini menggelitik saya untuk menuliskan beberapa pengalaman orang-orang yang pernah saya kenal dan berhubungan dengan status di atas.
Saya mengenal Bapak X ( sengaja saya samarkan namanya, karena beliau pasti tidak mau menjadi terkenal gara-gara saya menuliskan ceritanya) beberapa tahun yang lalu. Bapak ini masih muda, kaya dan memiliki beberapa perusahaan yang semuanya maju. Beliau bercerita bahwa perusahaannya dirintis dari kamar belajar sejak beliau masih mahasiswa. Sedikit demi sedikit usaha ini berkembang sampai memiliki banyak karyawan dan omzet besar. Di saat perusahaannya sedang berada pada puncak kebesarannya, badai krisis moneter tahun 1998 melanda. Perusahaan ini pun terkena imbasnya. Beliau bercerita bahwa saat itu banyak tagihan perusahaan yang tidak dapat kembali karena semua perusahaan juga mengalami krisis. Pada saat-saat genting karena keuangan perusahaan mulai kacau balau, beliau menawarkan kepada karyawannya untuk meninggalkan perusahaan agar perusahaan masih dapat memberi pesangon. Tetapi karyawan yang ada sebagian besar memilih untuk tetap bertahan. Melihat kenyataan ini, bapak X lalu mengambil keputusan untuk mendahulukan kepentingan karyawan daripada dirinya. Uang yang ada setiap bulannya, digunakan untuk membayar gaji karyawan, bila masih ada sisa barulah ia mengambil bagiannya. Menurut ceritanya, saat itu tidak jarang ia tidak mendapat gaji bulanan yang seharusnya diterima atau kadang-kadang ia hanya menerima gaji yang sama besar dengan gaji office boy di kantornya. Bukan itu saja, bapak X juga memutuskan untuk membantu karyawannya dengan membelikan sembako. Menurut pendapatnya, gaji yang diterima karyawan sulit untuk mengejar kenaikan harga-harga yang melonjak-lonjak, sehingga dengan membelikan sembako, uang yang ada mungkin masih bisa digunakan untuk kepentingan lain yang lebih besar.
Tentu saja keputusan itu menuai protes dari berbagai pihak, karena dinilai kontroversial dan merugikan perusahaan. Bahkan partner bisnisnya kemudian meninggalkan perusahaan karena tidak setuju dengan keputusannya. Tetapi ia tidak bergeming dan dengan kehendak Allah, perusahaan tersebut tetap bertahan bahkan berkembang lebih besar lagi.
Lain lagi pengalamanku dengan dr.Ida. Bu dokter yang satu ini adalah dokter favorit di Bontang. Kemana pun beliau pindah, pasiennya pasti setia mengikuti. Di klinik, dimana kami bekerja sama, bila waktunya dr.Ida praktek, semua karyawan harus siap bekerja keras dan bekerja lembur karena pasiennya mencapai seratus orang. Karyawan klinik menjuluki beliau Menteri Kesehatan Bontang.
Pasien mencintai beliau karena dr.Ida ( saya berani menyebut namanya karena yakin beliau tidak bergabung di ef be ) selalu menyediakan diri untuk mendengarkan semua keluhan pasiennya, baik yang berhubungan dengan penyakit mau pun yang tidak berhubungan. Walau pun pasiennya membludak, ia dengan sabar mendengarkan cerita pasiennya. Bila bertemu di luar ruang praktek, ia akan menanyakan kabar keluarga pasien. Jangan bayangkan bahwa pasiennya orang berada semua. Justeru kebanyakan pasien dr.Ida berasal dari kalangan ekonomi bawah. Karena itu setelah selesai menangani pasien, biasanya dr.Ida akan menanyakan apakah pasien mempunyai uang untuk ongkos pulang. Kalau tidak ada, maka bu Ida tidak segan-segan memberi ongkos pulang sambil menolak uang biaya pemeriksaannya.
Dengan sikap seperti ini tidak heran bahwa ia disayangi oleh pasien-pasiennya. Sehingga ketika ia harus pindah ke jakarta mengikuti suami, banyak pasiennya yang menangis. Saya ingat, ketika mengadakan pesta perpisahan untuk dr.Ida di klinik, saya melihat seorang nenek tua berdiri berpegangan di tiang klinik berdiam diri sambil terus memandangi dr.Ida.
Buah keikhlasan beliau menyantuni pasiennya dengan baik adalah kelima anak beliau semua menjadi sarjana. Dua yang terbesar menjadi dokter dan menikah dengan dokter pula, yang nomor tiga psikolog, yang nomor empat insinyur dari salah satu perguruan tinggi negeri ternama dan yang bungsu apoteker. Semua saat ini bekerja dan berumah tangga dengan baik. Keluarga beliau selalu aman dari gosip dan anak2nya berakhlak baik.
Allah berjanji bahwa barangsiapa memudahkan hidup orang lain, maka Allah akan memudahkan hidupnya. Dengan berbagi- bukan hanya harta-melainkan ilmu, perhatian, kasih sayang- maka kita telah memudahkan hidup orang yang ada di sekitar kita. Karena itu Allah pasti memenuhi janjinya untuk memudahkan hidup kita dan memberi kebahagiaan-seperti pengalaman dua orang yang saya kagumi- di atas. Sudahkah hari ini saya berbagi?
0 komentar:
Posting Komentar