Karena Ia Memilihku

Senin, 07 Juni 2010

Karena Ia memilihku
Indah Puspitasari

Aku ini orang biasa. Bukan dari kalangan istri pejabat atau kaum selebritis, tapi aku beruntung sekali diberi suami seorang laki-laki yang kelihatannya biasa, namun jauh dibalik itu sangat luar biasa. Dia bukan dari kalangan yang sangat berada, bukan pula orang yang cakepnya melebihi Brad Pitt. Tapi hatinya melebihi ukuran tubuhnya!

Masa kecilnya dilalui hampir tanpa kehadiran seorang ibu -- yang karena sakit parah, meninggal saat usia suamiku belum genap 4 tahun. Kedua kakaknya pun masih berusia 6 dan 7 tahun saat itu. Sungguh usia yang sangat belia untuk kehilangan dekapan dan belaian kasih sayang seorang ibu. Bersama kedua kakaknya (semua laki-laki), ia dibesarkan oleh ayahnya yang berprofesi sebagai seorang dosen di sebuah perguruan tinggi negri dan swasta di Nangroe Aceh Darussalam. Padahal kehidupan dan beban yg dipikul ayah mertuaku sangat berat saat itu. Ia harus bertindak sebagai ayah sekaligus ibu. Namun sampai akhir hayatnya,beliau memutuskan untuk tidak menikah lagi demi dedikasinya merawat dan membesarkan anaknya yang masih kecil-kecil. Tak pernah ada istilah ‘me time’ dalam kamus hidup mertuaku. Masa senggangnya dipakai untuk menyiapkan materi kuliah bagi mahasiswanya, membaca buku, maupun memenuhi kebutuhan moril dirinya dengan ketiga buah hatinya.

Masa kecil suamiku tidaklah mudah, untuk makan saja ia harus berlari ke warung seusai sekolah untuk membeli lauk pauk ala kadarnya sesuai yang di hidangkan si pemilik warung hari itu. Bahkan sejak kecil ia sudah harus mencuci dan menyetrika bajunya sendiri, walau dalam beberapa hal masih membutuhkan bantuan sang ayah. Di saat terjatuh dan kakinya terluka, ia hanya bisa meringis kesakitan dan mengadu pada kakaknya. Bahkan saat tubuhnya demam, ia terbiasa tidak bermanja karena ayahnya sedang bekerja. Saat duduk di bangku Taman Kanak-Kanak, ia hanya bisa tertegun melihat kawan-kawannya di antar oleh ibunya masing-masing. Mungkin masa kecil inilah yang membuat suamiku dewasa hadir sebagai sosok yang tegar dan sabar menghadapi guncangan dalam hidupnya.

Saat gempa dan tsunami mengguncang Tanah Rencong pada tanggal 26 Desember 2004 lalu, ayah mertuaku dan kakak ipar yang pertama turut menjadi korban. Kakak iparku ditemukan dalam keadaan tersangkut di sebuah pagar. Namun yang mengejutkan adalah kondisi jasadnya yang tampak sangat bersih. Tidak seperti korban tsunami pada umumnya yang ditemukan dalam keadaan bengkak menghitam dan mengelupas kulitnya sehingga sulit untuk dikenali. Penampilan kakak iparku saat itu sangatlah bersih. Pakaiannya utuh, tubuhnya tetap putih bersih. Tak mengelupas sedikit pun kulitnya. Badannya pun tak bengkak. Dengan bekal kain kafan yang didapatkan dari Medan dan di pesan oleh keluarga, kakak iparku dikuburkan dengan cara yang layak. Alhamdulillah. Sedang ayah iparku yang saat kejadian sempat mengungsi ke rumah tetangga, mengalami luka yang cukup parah.

Kondisi ini diperparah dengan penyakit Diabetes yang diderita almarhum. Dokter sulit dicari, apalagi obat-obatan. Perawatan yang seadanya tak mampu menyembuhkan infeksi yang semakin menjadi-jadi. Demam mertuaku semakin tinggi hingga sering mengigau. Akhirnya, beliau harus menyerah pada takdir Allah. Di saat sanak saudara menguburkan kakak ipar, Ayah mertua dipanggil Allah SWT. Innalillahi wa innailaihi roji’un. Menyedihkan rasanya, karena tak ada yang mendampingi beliau di saat mengalami sakaratul maut. Maka sejak itu jadi yatim piatu lah suamiku (saat itu kami belum menikah). Aku tau hatinya hancur.. Terutama saat dikatakannya 'Kakiku seperti tidak menginjak bumi lagi', entah bagaimana, aku pun ikut merasa 'hancur'. Dia memang kehilangan harta benda,tapi jauh lebih berat kehilangan satu-satunya orangtua.

Masa recovery yang dilalui suamiku terasa sangat berat. Seketika, ia berubah menjadi sosok yang tak kukenal selama ini. Kata-katanya tetaplah santun, namun ia menjadi pribadi yang semakin tertutup. Mungkin terlalu berat beban yang dideritanya. Di depanku, tampak sekali ia berusaha keras menutupi kegundahan hatinya. Namun, aku yang telah mengenal sosoknya, tau bahwa begitu banyak yang disembunyikan. Tak ada lagi sinar jenaka dalam matanya saat aku menceritakan pengalaman konyol hari itu. Begitu setiap hari, sampai-sampai suatu hari kuputuskan untuk pergi darinya karena aku merasa tak berguna dan tak sanggup menjadi pelipur lara untuknya. Kupikir aku bukanlah orang yang tepat untuknya. Aku cuma manusia biasa. Aku juga bisa mengalami yang namanya up and down. Namun sinar matanya yang memancarkan kesedihan yang makin menjadi saat kukatakan keadaan itu, aku mengurungkan niatku. Hanya rasa bersalah yang timbul, mengapa aku kurang bersabar menghadapi ini. Kalau aku saja merasa begitu berat, apalagi ia yang mengalami musibah beruntun ini. Ya Allah, ampuni hamba-Mu yang hina ini. Berikanlah segudang kesabaran pada kami.

Saat menikah aku memutuskan untuk mendampingi kemana saja suamiku bertugas, termasuk saat ia di tempatkan di Desa Asam-Asam, Kalimantan Selatan. Mulanya aku takut di ajak merantau, tapi ia meyakinkanku bahwa rejeki dari Allah bisa datang dari mana saja. Aku sadar, ia pastilah membutuhkan kehadiranku, baik secara fisik maupun psikis. Tidak saja sebagai seorang istri, tapi juga sebagai sahabat dan teman diskusi. Ia bukanlah tipe orang yang mengumbar kata-kata cinta, tapi cukuplah ia meyakinkanku dari usapan jemarinya di kepalaku saat aku mebuatkan makanan kesukaannya atau genggaman tangannya saat kami berada di keramaian.

Orang bilang jodoh itu banyak kesamaan, tapi saat hidup bersama, baru kami sadari begitu banyak perbedaan di antara kami. Maklum masa pacaran dilalui secara jarak jauh dan hanya bertemu sesekali. Sehingga saat bertemu cuma jaimnya yang keluar. Aku yang cerewet ini terbiasa menumpahkan isi pikiran dan uneg-unegku (mercon banting istilah ibuku), sedang suamiku terbiasa memendam sendiri masalahnya dan berusaha mengatasinya seorang diri. Saat menemukan kejadian lucu atau hal-hal yang patut ditertawakan, maka ia hanya akan tersenyum simpul. Kalau aku? Aku akan tertawa terbahak-bahak sampai perutku terasa sakit. Kadang aku malu pada diriku sendiri. Perempuan kok biyayak’an (ga bisa diem) kata orang jawa. Ahahahahaha…..tapi itulah uniknya kami. Awalnya terasa berat memang. Apalagi perbedaan latar belakang budaya turut mewarnai hidup kami. Ia dibesarkan dalam budaya Aceh yang sarat akan nilai-nilai melayu, sedang aku dibesarkan keluarga keturunan jawa yang lahir besar di Kalimantan, tentulah perbedaan itu terasa sekali.

Saat usia kandunganku menginjak 7 bulan, aku terpeleset di kamar mandi dengan posisi jatuh yang sangat mengenaskan. Kepalaku pun terbentur lantai kamar mandi cukup keras. Bentuk tubuh yang sudah menyerupai lumba-lumba membuatku gampang kehilangan keseimbangan. Suamiku yang tengah bersiap-siap berangkat ke kantor langsung tergopoh-gopoh menghampiriku sambil menjerit histeris. Tak bisa kulupakan tatapan matanya saat itu. Matanya tampak berkaca-kaca dan panik sekali. Segera di bopongnya aku ke kamar tidur. Aku hanya bisa meringis kesakitan menahan sakit karena perutku mengalami kontraksi. Suamiku makin panik karena posisi kami yang berada di desa jauh dari akses rumah sakit. Butuh waktu 3 jam untuk menuju Rumah Sakit. Susah payah aku meyakinnya agar ia tetap berangkat kerja. Kuyakinkan bahwa aku seorang dokter. Aku tau batas bahaya dan kapan waktu yang tepat untuk berangkat ke Banjarmasin mencari perawatan dokter ahli. Dengan berat hati ia meninggalkanku bekerja. Di kantor pun berkali-kali ia menelponku untuk memastikan bahwa aku dan anak kami baik-baik saja. Aah…perhatiannya sungguh besar padaku. Aku jadi merasa bersalah karena kurang hati-hati hingga membuatnya menjadi susah.

Tinggal di perantauan berdua,membuat kami semakin dekat satu sama lain. Kami seperti teko dan cangkir. Kemana-mana selalu berdua. Dimana ada ada aku, disitu ada suamiku. Begitu juga sebaliknya. Suamiku bukanlah tipe pria yang menuntut perhatian besar. Di saat aku tak mampu menghidangkan segelas teh hangat sepulangnya bekerja, maka ialah yang akan menghidangkannya untuk kami berdua. Kemudian kami akan menghabiskan waktu berdua di depan teras atau sekedar ngobrol di depan tv. Tak ada yang spesial memang, tapi kebersamaan ini membuat kami semakin dekat satu sama lain. Baginya melihat aku ada di dekatnya sudah lebih dari cukup. Ia tak pernah segan mebantuku melakukan pekerjaan dapur. Ia menyadari aku kelelahan seharian mengurus rumah, apalagi saat aku mengandung. Kami tak memiliki asisten rumah tangga sehingga tugas rumah tangga kami kerjakan bersama. Pada hari libur, kami jalan kaki berdua ke pasar. Ia akan setia menemaniku mondar-mandir dari satu penjual ke penjual yang lain. Tak diperbolehkannya aku menenteng tas belanjaan yang berat (karena kami belanja untuk persediaan seminggu). Kadang keadaan ini mengundang perhatian orang-orang di sekitar kami, hingga aku merasa tak enak. Tapi ia sama sekali tak risih. Baginya, apa yang bisa meringankanku, maka akan ia lakukan.

Semakin jauh kebersamaan kami berjalan, semakin kuat pula ikatan batin di antara kami. Ia bisa membaca mataku saat hatiku sedang sedih atau lelah. Ia juga dengan lapang memberiku ruang disaat aku ingin menyendiri. Saat hatiku galau, berada disampingnya selalu terasa menenangkan dan menyenangkan. Memandangnya membuatku merasa teduh dan luluh. Bahunya yang hangat selalu siap menjadi sandaran kepalaku disaat sedih dan lelah. Kata-katanya selalu sopan dan rendah. Saat aku emosi, dia selalu bisa meredam amarahku. Bahkan saat aku melakukan kesalahan fatal, ia mau memaafkanku. Kadang tak perlu ada kata-kata saat kami bersama, atau sesekali ia memanggil-manggil namaku. Saat kuhampiri ia hanya tersenyum, bila kutanyakan alasan ia memanggilku, jawabnya begini ‘gak papa, cuma pengen manggil aja’. Hhaaa? Kadang alasannya tidak rasional, asalkan melihatku ada di dekatnya, cukuplah sudah.

Ia memang bukan laki-laki sempurna,tapi aku juga bukan wanita yang sempurna kan? Ajaibnya,kami bisa saling mencintai dengan sempurna. Kami juga bukan keluarga paling ideal di dunia ini. Masih banyak kekuranganku sebagai seorang istri. Begitu pun ia juga terkadang membuatku kesal saat harus pulang kerja hingga larut malam. Tapi kami sadari itulah manusia dengan segala kekurangannya. Karenanya kuusahakan memberikan yang terbaik yang kubisa untuk menyenangkan hatinya atas semua kebaikan yang telah ia berikan untukku. Juga karena telah membuat hidupku menjadi ‘penuh’.

Menginjak 4 tahun usia pernikahan kami, masa-masa sulit pernah kami alami diantara masa-masa yang menyenangkan. Ia pun telah menghadiahkan kado terindah dalam hidupku. Bukan cuma 1, tapi sekaligus 2! Bersamanya aku belajar dan terus belajar untuk menjadi orang tua yang baik. Sebisa mungkin kami berusaha menjaga komitmen untuk selalu bersama, apapun yang kami hadapi diluar sana. Berjodoh di dunia dan akhirat selalu kami panjatkan dalam doa-doa kami..

Hari ini, aku merasa sebagai wanita paling beruntung. Bukan karena gelimang harta atau berwajah secantik Dian Sastro..Tapi karena ia telah memilihku.

(Dedicated 4 my lovely husband)

0 komentar:

 
♥KALAM IBU-IBU♥ - by Templates para novo blogger