Minggu, 20 Juni 2010
Winny W Sutopo
Ketika ibuku meninggal dunia 16 tahun yang lalu, ia mewariskan sejumlah uang dalam bentuk dolar bagi kami, anak-anaknya. Waktu itu kurs US dolar masih sekitar Rp. 1500,-an. Karena saat itu aku masih belum membutuhkan uang tersebut, maka kubiarkan saja uang itu berada dalam tabungan. Sekitar tahun 2001 ketika aku dan suami memutuskan untuk membeli rumah di jakarta, ternyata tabungan kami belum mencukupi ,jadi uang warisan itu kami gunakan untuk menambah kekurangannya. Saat itu kurs dolar sudah mencapai sekitar sepuluh ribu rupiah. Dengan pertambahan nilai kurs dolar, maka kami dapat membeli rumah yang kami inginkan.
Saat itu saya merenung dan mengenang ibu saya. Ibu saya seorang wanita luar biasa. Beliau seorang yang ulet, tidak suka mengeluh dan pejuang tangguh. Ketika ayah saya karena keadaan kesehatannya tidak mungkin lagi berperan sebagai pencari nafkah keluarga, ibulah yang kemudian mengambil alih peran itu. Ibu berpraktek sebagai seorang dokter mata, mengajar di beberapa universitas, menulis buku dan membuka florist di rumah. Begitu pun, beliau masih sempat mendidik dan merawat keluarganya dengan sangat baik. Dengan segala jerih payahnya, beliau dapat menyekolahkan kami -ke empat anaknya -di sekolah swasta bermutu dan membiayai kuliah kami berempat hingga menjadi sarjana semua. Banyak hasil jerih payah ibu yang beliau tinggalkan bagi kami anak-anaknya, termasuk uang yang aku pakai melunasi rumah. Tetapi sebelum beliau sempat menikmati hasil jerih payahnya, beliau telah dipaggil oleh Yang Maha Kuasa.
Hal ini membuat saya jadi berpikir bahwa berjuang belum tentu berarti dapat menikmati hasilnya. Mungkin memang itulah agenda yang dititipkan Allah kepadanya. Menjadi pejuang tanpa berharap untuk ikut memetik hasil.
Saya sendiri juga beberapa kali mengalami hal yang sama. Saya pernah bersama-sama dokter Ida Mahfud dan dokter Rahmawati membidani lahirnya sebuah klinik bersalin milik sebuah yayasan islam. Ketika saya baru bergabung, klinik itu baru berupa bangunan separuh jadi yang masih kosong. Saat itu saya diberi tugas untuk merekrut karyawan dan mengurusi semua hal yang berhubungan dengan administrasi, keuangan dan personalia. Dokter Ida menjadi kepala Klinik dan dokter Rahma membawahi semua kegiatan yang berhubungan dengan aspek medis. Bahu membahu kami bertiga berjuang membangun klinik tersebut, sehingga klinik tersebut berjalan lancar. Saya masih ingat, saat itu kami bertiga bekerja tanpa mendapat gaji. Sebagai kompensasinya, kami boleh berpraktek dan dibayar berdasarkan presentase pendapatan. Sisa presentase pendapatan kami digunakan untuk membiayai operasional klinik, termasuk membayar gaji karyawan dan membeli peralatan yang dibutuhkan. Jadi kalau kami tidak mendapat pasien ( untuk kedua dokter tersebut) dan klien ( untukku), maka kami tidak mendapat penghasilan. Meski demikian, rasanya belum pernah dalam satu bulan kami tidak mendapat klien/pasien. Selalu saja ada uang yang dapat kami bawa pulang, meski jumlahnya bervariasi. Begitu klinik berjalan lancar, dengan kehendakNya, kami bertiga satu persatu dicabut dari klinik tersebut. Yang pertama pergi adalah dr.Ida, beliau mengikuti suaminya bertugas di jakarta. Kemudian menyusul saya, menemani anak2 bersekolah di jakarta dan yang terakhir dr. Rahma. Klinik itu sendiri sampai saat ini masih berdiri dan makin berkembang.
Di jakarta, saya pernah bekerja di suatu perusahaan dan ditugaskan untuk membuat peraturan perusahaan yang berhubungan dengan kepersonaliaan . Tanpa disangka, adanya peraturan perusahaan tersebut, menguak beberapa praktek penyelewengan yang selama ini tidak terendus. Dalam beberapa bulan saja, 2 milyar berhasil diselamatkan dari penyelewengan. Tidak lama setelah tugas saya membuat peraturan perusahaan selesai dan penyelewengan tersebut terbongkar, saya diterima di program S2. Karena sulit bagi saya untuk menjalani kuliah sambil bekerja, maka saya kemudian keluar, walau pun pada mulanya pimpinan perusahaan masih berusaha menahan saya. Perusahaan itu sendiri sampai sekarang masih berdiri dan berjalan baik.
Selain pengalaman di atas, ada beberapa pengalaman lain dimana saya datang di tengah kemelut , membereskan segala sesuatunya dan kemudian pergi begitu segalanya beres.
Semua pengalaman itu seakan memberi kesadaran kepada saya, bahwa tugas saya di dunia ini adalah "tukang beres-beres". Tetapi saya bukanlah orang yang diberi kesempatan untuk menikmati hasil jerih payah saya di tempat yang saya bereskan. Allah dengan kekuasaannya akan membawa saya ke tempat yang memang harus dibereskan dan dengan kehendakNya pula akan mencabut saya dari tempat itu bila masanya telah selesai tanpa memberi saya kesempatan untuk menikmati hasil "benah-benah" saya.
Menerapkan kesadaran yang sama dalam menjalani peran saya sebagai isteri dan ibu, saya pun menyadari bahwa tugas saya adalah membimbing, mendukung dan merawat anak dan suami saya agar dapat menjadi muslimin dan muslimah yang sholeh dan sholehah. Apakah nantinya saya akan ikut melihat apalagi menikmati hasil jerih payah saya, bukanlah pertanyaan yang patut saya cari jawabnya. Itu adalah kekuasaan Allah yang berada di luar batas kewenangan saya. Sama seperti ibu saya dahulu berjuang membesarkan, mendidik , merawat, meninggalkan harta warisan bagi kami anak2nya dan membiarkan kami yang menikmati hasil jerih payahnya.
Dengan kesadaran seperti itu, sekarang ini setiap kali memasuki tempat baru, saya hanya bertanya kepada Allah :"Ya Allah, apakah agenda yang harus kuselesaikan sekali ini." Dan saya hanya bermohon agar diberi kesabaran, kekuatan dan petunjuk agar mampu menyelesaikan tugas saya dengan baik. Adanya kesadaran ini membantu saya untuk bisa lebih sabar bila menghadapi kesulitan atau bila menemui situasi yang tidak sesuai dengan keinginan saya. Mungkin itulah justru situasi yang harus dibereskan. Demikian juga, bila hasil jerih payah saya mulai terlihat dan tiba-tiba saya dipindah ke tempat lain, saya juga tidak berkecil hati karena tidak ikut menikmati hasil kerja. Itu bukan bagian saya. Rupanya seperti ibu saya, agenda saya di bumi ini adalah menjadi pejuang.Wallahu alam.
Rasanya, kita memang harus mencari apa sesungguhnya agenda hidup kita di dunia dan berusaha untuk menjalankannya. Dengan adanya kesadaran tentang agenda hidup, maka kita dapat mengisi hidup ini dengan kegiatan yang bermanfaat sehingga keberadaan kita di dunia ini tidak sia-sia. Keikhlasan yang menyertai langkah untuk mengisi hidup akan menjadi nilai tambah yang meningkatkan kualitas kemanusiaan kita. Itulah mungkin yang dinamakan berjihad di jalan Allah.
0 komentar:
Posting Komentar