Dan Senjapun Memerah

Minggu, 27 Desember 2009

Dan Senjapun Memerah
Oleh: Sri 'ade' Mulyani

“Jadi, sebenarnya aku ini anak siapa?” seharusnya pertanyaan itu keluar dari mulutku. Tapi entah kenapa aku hanya diam mematung dengan perasaan sedih. Hari itu, di usiaku yang ke 10 tahun aku harus meninggalkan rumah yang telah memberikan kenyamanan padaku selama ini. Kulihat wanita yang selama ini kupanggil dengan sebutan ibu berurai airmata. Lelaki yang biasa kupanggil dengan sebutan bapak hanya diam. Sementara seorang lelaki lain seumuran bapak yang sejak tadi duduk di ruang tamu telah siap membawaku pergi.

“Baik-baik di rumah yang baru ya nduk!” pesan bapak padaku sambil mencium dan memelukku. Aku mencium tangannya, berharap ia bisa mengubah keadaan dengan keputusan yang lain. Tapi sia-sia, tak sepatah katapun yang bapak ucapkan untuk merubah ini semua.

“Nurut sama bapak Hadi ya nduk,” bisik ibu padaku. Airmata menganak sungai di sudut mata wanita yang telah membesarkan aku selama ini. “Di rumah baru ada bapak dan ibumu nduk.”

“Mbak Rina mau pergi ke mana sih bu?” tanya Hani adikku yang berusia 7 tahun. Sementara Lani, si kecil yang baru berusia 4 tahun menarik-narik bajuku tanpa mengerti bahwa sebentar lagi kami akan berpisah.
“Mbakmu mau ke Jawa,” jawab ibu singkat.

Dan di sinilah aku akhirnya, di sebuah rumah dengan seorang lelaki yang kupanggil bapak, istrinya dan dua adik laki-laki. Kehidupan yang berbeda dengan kehidupanku selama ini. Biasanya aku bermain dengan 2 adik perempuan, sekarang aku mengasuh 2 adik laki-laki yang tentu saja sangat berbeda karakternya dengan adik perempuan. Di usiaku yang belia, aku harus bisa menyesuaikan diri dengan tempat yang baru, orang-orang yang baru kukenal, yang asing di mataku walau sebenarnya dia adalah ayah kandungku dan keluarga barunya.

Tak pernah terlintas di benakku bahwa wanita yang selama ini kupanggil ibu itu sebenarnya budheku, kakak dari ibu kandungku. Aku baru mengerti mengapa mereka tak berdaya untuk menahanku lebih lama, karena yang memintaku kembali adalah ayah kandungku. Sedangkan ibu kandungku, aku baru tahu kalau ternyata bulek yang selama ini tinggal di Sumatra adalah wanita yang melahirkan aku. Wanita yang seharusnya membesarkan aku itu sudah menikah lagi dan mempunyai 4 orang anak. Tak pernah lagi kudengar kabar beritanya. Mungkin ia tak peduli padaku. Ah, sepotong mozaik hidup yang harus kulalui. Kehidupan toh terus berjalan. Dalam dukaku, surat demi surat kulayangkan pada budhe dan pakdheku yang sudah kuanggap sebagai orang-tua. Aku kangen pada mereka berdua, yang kerap membesarkan hatiku untuk selalu tegar dan bertahan serta menasehatiku untuk selalu berbakti kepada kedua orangtuaku.

Hari itu seharusnya aku bersuka cita, budhe dan pakdhe akan menemuiku di rumah eyang. Pertemuan yang paling kunantikan setelah empat tahun berpisah. Tapi aku tercenung teringat tulisan budhe. Budhe bilang di suratnya, ibu kandungku pun akan datang dari Sumatra dan akan menetap di desa eyang. Seharusnya aku gembira kan? Wanita yang telah melahirkanku akan kujumpai sebentar lagi. Aku akan melihat parasnya, merasakan belainya yang selama ini belum kurasakan. Tapi entah kenapa, tiba-tiba hatiku marah. Masih pantaskah kupanggil dia ibu setelah ia menelantarkan aku?

“Ibu…. bapak…,” aku memeluk budhe dan pakdheku yang tetap kupanggil dengan sebutan ibu dan bapak. Bagiku mereka berdualah ibu bapakku yang sesungguhnya.

“Aih, kamu sudah remaja nduk, tambah ayu,” budhe meluapkan rasa kangennya padaku. Rumah eyang yang besar terasa sesak dengan kegembiraan kami. Hani dan Lani pun sudah besar sekarang. Mereka tertawa-tawa memelukku. Adik-adikku yang manis, lama sekali aku tak memeluk mereka.

“Mbak Rina, aku sekarang sudah bisa membaca,” pamer Lani padaku. Usianya kini sudah 8 tahun. Aku ingat, semasa aku di rumah budhe, Lani paling senang mendengarkan aku membaca buku pelajaran bahasa Indonesia. Walau belum sekolah, dia sudah hafal karangan yang sering kubaca dan melafazhkannya keras-keras. Iiih, aku mencubit gemas pipi Lani yang tembem.

“Rina, ini ibu….” sebuah suara lembut menyadarkanku. Aku memandang wanita cantik di hadapanku. Badanku kaku, hatiku mengeras. Aku diam seribu bahasa.

“Kamu ndak rindu ibu Rin?” tanyanya sambil berusaha memelukku.

“Pernahkah ibu rindu padaku?!” tanyaku ketus. Ah, mana tutur sapa dan sopan santun yang sudah budhe ajarkan padaku selama ini. Kulihat mata ibu kandungku berkaca-kaca. Mungkin ia tak percaya kalau bakal ditolak oleh anak kandungnya sendiri.

“Rin, ibu minta maaf. Bukan maksud ibu menelantarkanmu, ibu….”

“Kalau tidak menelantarkan, apa dong namanya? Bertahun-tahun aku ikut budhe tanpa tahu kalau sebenarnya budhe itu bukan ibuku. Di saat aku bahagia di tengah keluarga budhe, tiba-tiba bapak Hadi mengambilku dan memberiku seorang ibu tiri. Sementara ibu sendiri tak pernah berusaha menghubungi aku walau hanya dengan selembar surat untuk menanyakan keadaanku. Apa itu yang namanya sayang?” sahutku berapi-api.
Budhe ternganga memandangku tak percaya, apalagi ibu kandungku.

“Rina cah ayu, sini ikut bapak,” kata pakdhe menggamit lenganku. Kulihat dari sudut mataku, pakdhe memberi kode pada ibu kandungku untuk diam di tempat.

Kami berdua berjalan ke teras belakang. Sambil memandang kebun jeruk yang luas kepunyaan eyang, pakdhe menyuruhku duduk. Budhe menyusul kami dan duduk di sebelahku. Wajahnya sedih.

“Rina, ibu mengerti kenapa kamu marah. Ibu bisa merasakan kekecewaanmu. Ibu juga sedih sekali waktu harus berpisah denganmu. Tapi pernahkah Rina bayangkan kalau ibu kandungmu jauh lebih sedih lagi ketika harus menyerahkanmu pada ibu di waktu kamu masih bayi?”
Aku diam.

“Ibu kandungmu itu tak punya pilihan nduk. Dia tak mungkin membesarkanmu seorang diri. Kenapa ia memberikan dirimu pada ibu bukan pada yang lain? Karena ibu kandungmu ingin kamu tumbuh dengan wajar dan hidup dengan nyaman, dan ibu kandungmu cuma percaya sama ibu dan bapak untuk membesarkanmu, apalagi saat itu ibu belum punya Hani dan Lani” jelas budhe.

"Ia bisa menghubungi aku bu, tapi tak pernah ia lakukan. Aku merasa terbuang," isakku.

"Ibumu punya alasan tersendiri nduk, tapi jauh di lubuk hatinya ia sangat menyayangimu. Ia cuma butuh waktu untuk mengungkapkan semua ini ketika saatnya tiba. Dia tidak membuangmu nduk."

“Tapi kenapa bapak Hadi juga mesti memisahkan aku dari ibu dan bapak?” tanyaku. "Aku sudah cukup bahagia tinggal dengan ibu, bapak, dik Hani dan dik Lani."

“Itu hak bapak kandungmu toh nduk. Ibu yakin, Bapak dan ibu Hadi pun menyayangimu, cuma cara mereka mengungkapkannya padamu tentu berbeda dengan cara ibu menyayangimu. Coba seandainya ibu Hadi mendengar perkataanmu tadi, tentu dia juga sedih karena seolah-olah selama ini Rina sengsara hidup bersamanya, jangan sakiti mereka semua nduk. Kita tak pernah meminta takdir jelek. Tapi garis hidup yang Allah berikan pada kita sebaiknya kita terima dengan sabar,” jawab budhe.
Aku berusaha mencerna ucapan budhe, tapi hatiku masih sakit.

“Seharusnya kamu senang toh nduk. Coba bayangkan, orang lain bahkan tak mengenal ibu bapaknya, sedangkan kamu… kamu sungguh beruntung karena Allah memberikan kamu 3 ibu dan 3 bapak sekaligus. Bukankah itu suatu anugrah yang luar biasa?” tanya pakdhe.

“Kamu belum mencoba untuk mengenal ibu kandungmu dan keluarganya Rin. Cobalah, dulu kamu bisa menerima bapak kandungmu dan keluarganya, masa pada ibu kandungmu kamu ndak bisa? Ibu yakin, jika kamu menerima semua ini dengan lapang hati, hidupmu akan senang,” kata budhe.
Aku menarik nafas, membuang beban pikiran yang seharusnya tak perlu kupersoalkan.

“Baiklah bu, Rina akan mencobanya,” jawabku.

“Betul Rin???” tanya ibu kandungku yang tiba-tiba sudah berada di sampingku. Dia memelukku erat-erat. Aku jadi malu. Kupeluk erat kembali tubuhnya, ibu cantik yang telah melahirkanku. Di belakangnya riuh suara adik-adik yang segera mengelilingi. Rupanya mereka dan ayah tiriku baru saja kembali dari rumah kerabatku yang lain. Aku memandang mereka satu persatu, ah… adik-adik yang ganteng dan cantik-cantik seperti paras ibu kandungku dan ayah tiriku. Aku memandang mereka yang tersenyum lebar menyambutku. Kehangatan merambat dalam hati, menggerakkan keinginanku untuk memberikan senyum paling merekah pada mereka. Tak seharusnya aku merusak pertemuan bahagia ini dengan sebuah tuntutan. Aku harus yakin suatu saat ibu pasti akan menjelaskan alasannya kenapa ia tega berpisah denganku darah dagingnya sendiri. Hidup tak selalu menyuguhkan impian indah kita, tapi aku yakin Allah memberikan yang terbaik padaku.

Sementara senja pun mulai turun, langit di ufuk barat mulai memerah. Subhanallah indahnya. Aku tak pernah lagi menyalahkan ibu dan ayah kandungku yang mengambil keputusan untuk berpisah ketika aku telah lahir ke dunia. Masalah hati rahasia mereka berdua, walaupun selalu akhirnya anak-anaklah yang jadi korban akibat sebuah perpisahan. Aku tetap merasakan mereka berdua sesungguhnya menyayangi aku. Sampai saat ini di usia bayaku, aku selalu tersenyum memandang senja yang memerah. Aku selalu bersyukur pada Allah yang telah memberiku anugrah berupa bapak, ibu dan adik-adik yang banyak, yang semuanya menyayangiku.

Bontang, 27 Desember 2009

Pada Sebuah Kenangan

Jumat, 14 Agustus 2009

pada sebuah kenangan
Oleh : Sri 'ade' Mulyani

Mengingatmu, adalah suatu masa
menyusuri bukit di sisi utara kota
yg sungainya berkelok
dan riaknya menepuk halus jemari kaki kita

Sungguh, nuansa indahnya tetap hadir
dalam kurun waktu yg telah bergulir
walau bagimu tak ada yg menawan
karena aku ilalang, engkau rembulan

Tanpamu, telah lewat hari-hari penuh mimpi
dalam bingkai muram sebuah perjalanan
diiringi gerimis pagi yg tak kunjung usai
aku terus berjalan ke titik akhir

Ijinkan, sebelum mata terpejam
dalam tidur lelap yg panjang
kubisikkan sebuah kenyataan
“Aku mengagumimu”


Karya kecil di penghujung hari
Bontang, 14 Agustus 2009

Kucing, Alternative ATM?

Minggu, 17 Mei 2009

Kucing, Alternative ATM?
Oleh: Sri 'ade' Mulyani

Astaga, 5 juta!!! Aku menggeleng tak percaya menatap dua ekor kucing pesek di hadapanku. Bulunya indah tipe longhair, yang satu putih, yang lainnya abu-abu. Tapi hatiku tetap tak setuju dengan harga semahal itu. Harap-harap cemas aku menatap suamiku, berharap ia melupakan keinginannya. Tapi apa mau dikata, obsesinya untuk memiliki sepasang kucing Persia begitu menggebu, walaupun hanya sekelas pet quality.
“Ini termasuk murah Bu, kalau di Petshop mana dapat. Apalagi kalau Bapak ingin yang pignose, show quality, bisa 6 sampai 8 juta harganya per-ekor” breeder berusaha meyakinkan aku.

“Oalah.. Abi..Abi, kalau punya duit itu ya ndak usah neko-neko. Ingat Abi, uang segitu bisa buat nyumbang makan anak miskin berhari-hari. Jangan menyia-nyiakan harta” aku berusaha membujuk suamiku.
“Sekali iniiiii saja ya Umi” pintanya.
“Itu baru harga kucingnya, belum surat-surat dan biaya perjalanan. Terus, kalau nanti mati di jalan, alangkah sia-sianya Abi.” Aku teringat pada kucing Persia kami terdahulu yang baru dipelihara 3 bulan, kemudian mati setelah diimunisasi. Akankah terulang lagi?
“Insyaallah nggak Umi sayang…”
“Kalaupun aman dalam perjalanan dan bisa kita pelihara di Bontang, berapa biaya yang harus dikeluarkan perhari, mana makanannya harus impor lagi. Duh Abi, mendingan kita piara anak yatim saja deh, lebih berpahala.”
Suamiku tetap kukuh pada pendiriannya, apa dayaku?

Hari-hari berikutnya bisa ditebak, tugas kami bertambah. Apalagi kalau bukan memelihara dua ekor kucing? Pluto dan Mona. Setiap hari, kami harus menyikat bulunya, membuang kotorannya, membersihkan kandangnya juga mengisi ulang tempat makan dan minumnya yang kosong. Seminggu sekali, kami harus memandikan mereka supaya bulunya bersih. Belum lagi kandang, peralatan, pasir, shampoo, parfum dan assessories yang harus kami beli. Begitu juga pakan dan vitaminnya… kalau dipikir-pikir… seperti punya bayi lagi kami sekarang. Mau tak mau, akhirnya aku juga berusaha mencintai hobi yang satu ini. Aku juga mulai membaca buku-buku tentang memelihara dan membiakkan kucing. Mencoba mengerti jenis-jenis kucing ras dan pola warna bulunya seperti: solid color, bicolor, tortoiseshell, smoke color, tabby color, chinchilla maupun Himalayan. Saat-saat memandikan, menghanduki dan mengeringkan bulunya dengan hairdryer, aku sering menggoda suamiku, “Duh, segitu cintanya sama kucing, sampai-sampai shampoo & parfumnya saja lebih mahal dari shampoo anaknya, hairdryer saja dibelikan. Umi yang sudah bertahun-tahun menikah dengan Abi saja tidak pernah dibelikan hairdryer.” Suamiku tertawa.

Suatu hari datang dua kotak paket dari Zoom Pet Care Bandung, isinya berbagai macam peralatan dan pakan untuk kucing, masing-masing jumlahnya lebih dari setengah lusin. Apa-apaan ini, kucing hanya dua ekor kok peralatannya begitu banyak. Apalagi ketika kulihat jumlah tagihan pada nota. Aku tak habis pikir. Sebanyak inikah?!
"Tenang Umi…. Ini semua tidak akan mengganggu uang belanja Umi," hibur suamiku. Mana mungkin???? Aku membatin.

Setiap hari, ada saja ceritanya tentang kucing. Belum lagi telpon yang berdering dari sesama pecinta kucing. Temannya bertambah banyak… dan pada akhirnya… kucing-kucing lain mampir ke rumah minta dimandikan, perlu pakan, perlu vitamin dan juga perlu shampo. Strategi pertama suamiku rupanya, dengan senang hati ia membuka salon khusus kucing. Menyediakan berbagai pakan dari harga bersahabat sampai harga konglomerat (deu… gaya, pake bawa-bawa konglomerat segala, padahal harga pakannya paling banter 120 ribu/kg) Untungnya, di kota Bontang jarang orang menjual pakan kucing. Ini sebuah kesempatan.

Strategi berikutnya, suamiku ingin mengembang biakkan kucingnya. Sayangnya Mona yang waktu kami adopsi sedang hamil, hanya beranak satu dan anaknya itupun mati sesaat setelah dilahirkan. Setelah itu, Mona tak pernah mau dikawin Pluto ataupun pejantan lainnya. Alhasil, kucing kami tak pernah bertambah.

Untunglah beberapa teman pecinta kucing mau mengantarkan kucingnya yang sedang birahi untuk dikawin Pluto. Jadilah kami mak comblang untuk Pluto dan kucing-kucing Persia maupun Angora lainnya. Lama-lama kami jadi hafal mana kucing yang sedang birahi dan mana yang tidak. Sudah banyak kucing betina yang diantar. Tapi timing untuk mengawinkan mereka harus tepat. Kadang sudah berhari-hari mereka tidak juga kawin karena salah satu tidak birahi. Dari sekian itu, baru 3 kali Pluto berhasil membuahi betina.

Snowy kucing Angora belang abu-abu, kucing pertama yang menghasilkan anak empat. Semua bulu anaknya mirip Pluto yang abu-abu, namun raut mukanya dan hidungnya mancung semua seperti Snowy yang Angora. Hasil anakkan tersebut kami bagi dua setelah saatnya disapih. Dua ekor yang kami dapatkan, salah satunya diadopsi teman. Sayang dari ke-empat anakkannya, satu-persatu mereka mati karena penyakit perut, dan tragisnya sulit untuk mencari dokter hewan yang exist di kota ini.

Sedih tak membuat suamiku patah semangat. Berikutnya Katie, seekor Persia betina muda jenis Himalayan dikawinkan kembali dengan Pluto. Awal tahun 2009 anaknya lahir dua ekor, Persia euy… putih dan abu-abu, Tieto dan Totie namanya (maksudnya singkatan dari kaTIE & PluTO). Belum sempat kami memeliharanya, seorang teman telah mengadopsinya, sampai saat ini masih sehat dan lucu. Di awal tahun 2009 pula Pluto kembali mengawini seekor Angora betina berwarna putih, Chelsea. Anaknya empat ekor putih semua, baru bulan ini disapih. Kini keluarga kucing kami bertambah dua ekor hasil anakkan tersebut. Tyrex dan Xena namanya. Mudah-mudahan mereka tetap sehat dan dapat berkembang biak. Oow… mengapa memperbanyak kucing, bukankah biaya perawatannya mahal? Jangan salah, satu ekor anakkan kucing tipe pet quality bisa dihargai antara 700.000,- s/d 1.000.000,- rupiah per ekor. Belum lagi kalau komunitas pecinta kucing bertambah, bukankah pakan dan accessoriesnya akan semakin dicari orang? Betul itu! Setelah setahun kami memelihara Pluto dan Mona, sampai saat ini, kami tak lagi mengeluarkan rupiah untuk biaya perawatan mereka. Semua didapatkan dari hasil adopsi, penjualan pakan dan assesoriesnya. Hobi yang pada awalnya menguras kocek, tapi akhirnya mendatangkan keuntungan. Jadi sah-sah saja kan bila kukatakan kucing kami menyerupai mesin ATM?

Bontang, Mei 2009

Ultah Temanku

Kamis, 07 Mei 2009

Oleh : Sus Indriastutik

Suara burung gereja yang pulang menuju peraduannya begitu ramai, tapi masih kalah ramai dengan suara kami sore itu. Di hari Rabu sore itu bunyi bel sekolah baru saja usai terdengar, tanda pelajaran terakhir sudah berakhir. Serentak kegaduhan menggema di setiap kelas memenuhi lorong-lorong yang mulai agak gelap. Lampu-lampu sebagian sudah dinyalakan, sang surya berlari sembunyikan diri. Suara-suara celotehan anak-anak yang sedang mempersiapkan diri untuk pulang semakin gaduh sampai nanti tiba saatnya satu persatu meninggalkan kelas masing-masing.

Kegaduhan yang khas cerianya anak-anak remaja seusiaku. Saat-saat seperti ini yang ada di benak kami hanyalah kesenangan yang bisa kami nikmati bersama-sama. Ada yang tertawa terbahak-bahak, ada yang serius membenahi buku-bukunya, ada yang bercanda dan saling melempar-lemparkan kertas yang sudah diremas-remas atau sisa potongan kapur tulis yang sudah kecil. Baku lempar, berkejaran seperti anak TK sudah biasa kami lakukan di saat istirahat maupun menjelang pulang sekolah seperti sekarang ini. Waktu dimana kami bisa berkumpul bersama, bercanda bersama sekedar melupakan sejenak rumitnya menghadapi rumus-rumus dan soal-soal fisika, kimia maupun soal matematika.

Di kota itu kami masih kelas II SMA. SMA kami dapat julukan KAMPUS TUGU, karena di depan sekolah kami ada alun-alun bundar yang di tengah-tengahnya ada monument Tugunya. Komplek SMA kami terdiri dari SMAN I, SMAN III & SMAN IV. Sekolahku di SMAN IV, sekolah yang terletak di jantung kota Malang. Kota dimana banyak sebutan disematkan : “Kota Pelajar, Kota Apel, Kota Dingin ataupun Kota Wisata”. Hawa sejuknya memompa semangat kami untuk tidak boleh bermalas-malasan, karena semakin kita memanjakan diri dengan selimut akan terasa malas da enggan melakukan aktifitas sehari-hari. Rasa dingin yang menusuk tulang bagai suntikan vitamin yang menyegarkan badan. Kota dimana pesona gunung-gunungnya nan elok disinari sang surya yang mulai menggeliatkan tubuhnya, bangun dari peraduannya. Aneka bunga bermekaran membuat mata membelalak terkagum-kagum memandang. Kuncup bunga masih malu-malu menampakkan diri, bunga-bunga yang bermekaran meliuk-liukan tangkainya diterpa semilir angin, bak gadis remaja yang lincah menari-nari mengikuti alunan music yang merdu mendayu. Rasa takjub yang tidak bisa diutarakan dengan rangkaian kata-kata seindah apapun. Hanya hati untaian kalbu yang bisa merekam kebesaran Nya, lalu menyimpannya di otak kecil sebagai memori tentang lukisan alam yang telah diciptakanNya. Subhanalloh… indahnya kotaku. Dan….aku bangga bisa bernaung dalam dekapan kotaku.

Tiba-tba suara yang gaduh itu dalam sekejap menjadi sunyi, ketika kudengar langkah-langkah tegap dengan tubuh jangkungnya menuju ke depan kelas. Dengan gayanya yang konyol menirukan guru Fisika kami yang selalu serius, dia mengundang kami teman satu kelasnya untuk merayakan hari ulang tahunnya. Dia mengundang kami untuk datang ke rumahnya di Bangil pada hari Minggu yang akan datang. Oh… ya temankami itu sekolah di Malang dan tinggal bersama kakaknya, sedangkan orangtuanya tinggal di Bangil. Ketika teman kami sudah selesai menyampaikan maksudnya kegaduhan pun terdengar lagi. Obrolan-obrolan tentang rencana kami yang akan datang, dibarengi senda gurau menjadi satu. Ada teman-teman yang mengusulkan naik bus namun sebagian teman yang lain menginginkan naik kereta api. Akhirnya semua sepakat nanti akan naik kereta api. Kesepakatan telah tercapai, ingin angan terus menggapai di esok hari. Kami pun melenggang meninggalkan kelas, menapaki jalan pulang, dibawa langkah kaki menuju rumah.

Sekarang hari Minggu, bangun tidur aku kurang bersemangat, ada segumpal kesedihan yang tersembunyi, yang membuat gairah pagi tak secerah mentari menyentuh bumi. Apapun yang terjadi hidup harus terus dijalani. Semalas apapun aku harus tetap bangun pagi, menjalankan kewajiban sebagai umat manusia yang sudah difitrahkan Nya. Setelah melaksanakan sholat Subuh, aku berkutat dengan rutinitas hari-hari seperti biasanya, mencuci baju seluruh keluarga. Kakakku dan aku mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga yang biasa kami lakukan yaitu mencuci baju, bersih-bersih (menyapu dll) & menyetrika baju. Sedangkan ibuku biasanya memasak di dapur.

Tugas membantu orang tua sudah selesai kukerjakan, akupun beranjak pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Dinginnya air yang mengguyur tubuhku terasa segar menembus pori-pori kulitku. Setelah selesai mandi dan merapikan diri, tak kusia-siakan waktu yang ada, segera kuambil pring dan kuisi nasi, kusantap dengan lahap apa yang ada di atas meja. Hidangan sederhana yang diolah oleh tangan ibuku dengan penuh kesabaran, sebagian telah berpindah ke dalam perutku.

Rasa penasaranku akan ULTAH temanku mendorongku duduk-duduk di teras depan sambil menunggu teman-temanku lewat naik kereta api. Dalam diam aku melamun membayangkan kebahagiaan yang akan dinikmati teman-temanku ketika mereka sudah kumpul bersama. Candanya, tawanya dan keusilannya membuat bibirku sedikit terangkat membentuk segaris senyum yang menyadarkanku dari lamunanku. Bahagianya mereka, bahagianya diriku seandainya aku ada di antara mereka.

Tak lama setelah itu bunyi lengkingan memekakkan telinga terdengar olehku, pertanda kereta api akan lewat. Akupun berdiri melongok ke kiri, dari jauh kulihat ular Besi itu meliukkan tubuhnya. Kulihat ada tangan melambai-lambai dan persis di depan rumahku teman-temanku sudah berjubel berdiri di depan pintu kereta api. Mereka melambai-lambaikan tangannya sambil memanggil-manggil namaku. Tak kalah serunya dari yang di depan pintu kereta api, teman-teman yang lain melongokkan kepalanya keluar dari jendela kereta api. Mereka kompak memanggil-manggilku dan berteriak mengajakku pergi . Kujawab ajakannya dengan lambaian tangan dan senyumku. Keretapun pergi. Aku masih berdiri, mataku berkaca-kaca menahan butiran airmata supaya tidak sampai membasahi pipi. Sebenarnya akupun ingin pergi tapi lidah ini terasa kelu setiap akan mengungkapkan maksud hati kepada kedua orangtuaku. Aku tak ingin membebani mereka dengan keperluan yang tak terlalu penting. Aku dan adik-adikku yang masih kecil-kecil masih memerlukan biaya yang tidak sedikit dan semua itu menjadi tanggungan yang harus dipikul seorang diri oleh bapakku. Apabila kulihat gurat-gurat kelelahan yang terpancar di rona wajah bapakku, dengan langkah-langkahnya yang mulai dimakan usia, hati ini miris bak diiris sembilu, mulut terkunci, lidahpun kelu. Tak hendak hati ini mengungkap kata, menyampaikan makna di dalam dada. Biarlah semua kusimpan di relung hati yang paling dalam.

Tanpa kusadari kehadirannya, bapak sudah berada di sampingku. Mata SEPUH nya yang tajam, menyimpan seribu makna kehidupan dan mampu membaca apa yang tersirat di dalam dadaku.
Bapak bertanya, “Mau kemana teman-temanmu?”
Akupun menjawab, “Mau ke BANGIL ada teman yang ulang tahun.”
Bapak bertanya lagi, “Kok tidak ikut?”
Aku menundukkan kepala, takut ketahuan bapak kalau mataku berkaca-kaca sambil kujawab, “Tidak, tidak punya uang untuk ongkos.”
Kulirik bapak merogoh kantong celananya, mengeluarkan dompet lalu memberikan beberapa lembar uang kepadaku sambil berkata, “Sudah cepat susul mereka, naik bis saja!” perintah bapakku.
“Terimakasih,” jawabku sambil berucap Alhamdulillah.

Tak ada lagi beban berat yang menghimpit dada. Hati ini terasa PLONG, lega rasanya. Bergegas aku masuk ke rumah mempersiapkan diri, setelah semua beres aku pamitan pada bapak & ibuku, kucium tangannya, kumohon doa restunya. Sambil berlari kucari angkot yang akan membawaku menuju terminal bus. Dalam perjalanan kulihat kereta api yang membawa teman-temanku disalip oleh bus yang kunaiki. Aku sampai duluan di BANGIL. Aku berjalan ke arah statiun kereta api, tak lama kemudian keretapun tiba. Teman-temanku terperangah melihat aku sudah berada di depan pintu station. Mereka berteriak kegirangan, aku tertawa tak kalah senangnya dengan mereka. Kami lanjutkan perjalanan kami dengan berjalan kaki menuju rumah temanku.

Sesampainya di rumah teman kami yang ulang tahun, hidangan yang menggiurkan sudah tersaji. Kamipun tak ingin melewatkan suguhan itu cuma menjadi pemandangan indah yang tak tersentuh. Dipimpin oleh kakak teman kami, doa dipanjatkan, sambil menengadahkan tangan kami bermunajat kepada Nya memohon keselamatan, ridho dan barokah dari Nya. Amin ya Robbal Alamin. Setelah doa selesai dipanjatkan, kami secara berantai diberi piring yang sudah diisi nasi bersama lauk-pauknya. Tak menunggu begitu lama piring-piring itu sudah kosong, isinya sudah pindah ke perut kami.
Selesai makan nasi kami lanjutkan dengan melahap kue-kue yang sudah tersedia di depan tempat duduk masing-masing. Tak lama kemudian pudding segar berjalan merambat menyejukkan tenggorokan kami, sebagai penutupnya.

Setelah beristirahat sebentar kami melanjutkan acara kami. Teman kami mengajak kami berjalan menuju ke arah sungai, di situ sudah ada beberapa sampan yang menunggu. Satu persatu kami menaiki sampan, satu sampan diisi 5-6 orang. Kurang lebih ada 5 sampan yang terisi penuh. Dengan perlahan-lahan sampan mulai beranjak pergi menyusuri alur sungai. Suara kecipak air menggoda kami untuk bermain. Tangan-tangan nakal kami memercikkan air sungai kea rah teman-teman, berbalas-balasan dan tertawa-tawa lepas. Sampailah kami pada suatu tempat, kamipun turun bergantian dengan hati-hati supaya kami tidak sampai jatuh ke sungai. Perjalanan kami lanjutkan dengan berjalan kaki, kami susuri jalan setapak menuju tambak teman kami. Setelah sampai di tambak jalanan yang kami lewati semakin lebar. Jarak antara tambak satu dengan yang lainnya cukup lebar, kami berlari-larian seperti anak kecil berebut mainan. Kami berkejar-kejaran berebut jala untuk menangkap ikan bandeng dan udang. Kami menjala ikan di pinggir-pinggirannya saja tidak sampai masuk ke dalam kolam. Kami takut kotor karena kami tidak membawa baju untuk ganti seandainya baju kami terkena lumpur. Ikan dan udang yang telah terjaring dipilih supaya tidak tercampur lalu dikumpulkan dalam suatu tempat. Hasil tangkapan kami itu nantinya akan dijual ke pasar. Setelah puas bermain sambil membantu teman kami memanen ikan, kami istirahat di gubuk/pondok sambil makan kue yang dibawa oleh teman kami yang ulangtahun.

Hari beranjak semakin siang, kamipun pulang ke rumah teman kami yang berulang tahun, sambil istirahat kami sholat Dzuhur bergantian. Setelah semua selesai sholat kamipun pamit pulang. Di statius Kereta Api Bangil beberapa di antara kami membeli oleh-oleh untuk dibawa ke Malang. Aku membeli sate kerang karena di Malang jarang dijual. Oleh-oleh sudah didapat tak lama setelah itu kereta api pun datang. Serentak kami naik kereta api jurusan Malang. Di dalam kereta api pun kami tak bisa diam, seolah-olah kami tak pernah merasa capek. Kami terus bersenda gurau di sepanjang perjalanan.
Sejenak aku terdiam, senyum merekah tersungging di bibirku, sambil berucap sukur Alhamdulillahirabbil ‘alaamin. Betapa bahagianya diriku, hari ini kurasakan seolah-olah aku sendiri yang sedang berulang tahun. (Kamis, 7 Mei 2009)

IBU.....MAMA...BUNDA...MOM.....MAMI...atau ...EMAK......

Selasa, 05 Mei 2009

Oleh : Christiana Ishak

Kata "Ibu" mengingatkan kita kepada sosok perempuan, dengan paras yang lembut, tutur kata yang halus ketika merawat anak2nya dan pemberi semangat ketika anak2nya merasa lemah. Saya rasa hampir semua kita memiliki pemikiran dan gambaran yang sama ketika berbicara mengenai 'seorang ibu'. Apalagi setelah kita mempunyai anak, terasa sekali betapa kasih sayang seorang ibu dapat mengantarkan anak2nya ke jenjang pintu sukses.


Ada kalimat yang menyatakan "Dibelakang suksesnya seorang laki2, ada 2 wanita yang mendukungnya yaitu istri dan ibunya". Saya sependapat dengan kalimat ini, seorang ibu bisa menjadikan anaknya menjadi orang baik atau orang jahat. Bayangkan kalau seorang anak dididik oleh ibu yang bertipikal pemarah, kasar, temperamental (komplit sudah naluri premannya) maka bisa ditebak akan jadi siapa anaknya kelak. Atau ibu yang baik hati, soleh, sabar, pintar akan menghasilkan anak yang baik pula.

"Kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang galah", pribahasa yang kita temukan sewaktu pelajaran bahasa Indonesia ketika SD ini, sekarang memang terbukti. Ibu yang tidak pernah lelah mengasuh anak2nya ketika kecil. Masih teringat oleh saya, ketika memiliki 3 balita dalam waktu yang berdekatan (laki2 pula semua), tidur siang adalah barang yang mewah buat saya waktu itu. Ketika saya mengantuk dan bayi kecil saya tidak mau tidur, saya menjaganya dengan kondisi mata yang sudah 5 watt dan badan yang serasa melayang2 (karena malam juga begadang). Ketika bayi saya tertidur, mata saya sudah kembali membesar seukuran bohlam 100 watt tapi badan serasa 'sempoyongan' karena kurang tidur.

Belum lagi kalau si kecil sakit demam, saya dan suami biasanya akan menungguinya berhari2 siang dan malam, tangan ini tidak akan lepas dari genggamannya termasuk ketika tidur supaya bisa mendeteksi temperatur badannya yang biasanya tiba2 naik ditengah malam. Kalau dia batuk, serasa dada saya yang ikut nyeri mendengar dia terbatuk2. Dengan sabar saya mengganti kompres di kepalanya, sambil berusaha menenangkan si kecil yang rewel. Pada waktu itu Suami saya berkomentar, dia bilang "keterlaluan kalau ada anak yang melawan ke ibunya ya". Memang, kami baru merasakan betapa kasih sayang seorang ibu itu tak terbatas dan juga tidak menerima pamrih , ketika merawat dan mengasuh anak2 sendiri. Mungkin lebih tepat lagi cinta seorang ibu kepada anaknya bisa dikatakan adalah jenis 'UNCONDITIONAL LOVE' (cinta yang tidak menuntut apa2). Seorang Gde Prama pernah menuliskan dalam bukunya istilah Love is totallity, ini juga bisa disandingkan dengan cintanya seorang ibu kepada anaknya.

Hubungan saya dan anak2 amat sangat dekat sekali, mungkin karena saya menghabiskan sebagian besar waktu saya dengan mereka. Saya diberikan keberuntungan oleh Allah, dapat menyaksikan sendiri tumbuh kembang ke 3 anak2 saya .Kebetulan setelah menikah saya tidak bekerja, walaupun dirumah saya memakai pengasuh anak ketika mereka kecil tapi sebagian besar waktu mereka bersama saya. Saya yang memasak makanan kesukaan mereka, membacakan buku2 cerita menjelang tidur, bermain lego dan lilin2 play dooh, mengajarkan menggambar di komputer, membawa mereka ketika berusia 4 bulan berenang bahkan ikut bersama2 mereka les tenis ketika mereka SD. Saya menenangkan mereka ketika merasa frustasi tidak bisa menyusun lego-nya sebagus buatan saya.

Saya yang berteriak kegirangan ketika si sulung pertama kali bisa tertatih2 berjalan atau tertawa bahagia ketika mereka pertamakali memanggil 'mama' dan 'mamam'. Ada rasa haru menyelimuti hati, rasa bahagia yang tak terkirakan ketika balita saya berlari2 menyambut saya ketika pulang dari arisan atau belanja padahal saya hanya meninggalkan mereka dirumah sebentar. Sampai2 ayah saya berkomentar hubungan saya dan anak2 seperti kanguru dan anak2nya, kemana2 dikantongi terus.

Ketika mereka mulai agak besar, memasuki usia sekolah , setiap pulang sekolah pertama kali masuk kedalam rumah yang ditanyakan ke pembantu adalah "kak, mama mana?" kalau saya tidak terlihat di ruang tamu. Atau mereka akan terus mencari kesetiap ruangan, sambil teriak 'mama ada dimana?'. Setelah itu mereka akan 'nyerocos' menceritakan pengalaman disekolah tadi. Seperti umumnya anak2, mereka banyak bertanya, demikian juga anak2 saya. Semua hal ditanyakan, ini membuat saya terpacu untuk banyak membaca supaya siap sedia menjawab pertanyaan mereka. Salah satu yang lucu ketika mereka protes mendengar cerita Malin Kundang yang dikutuk jadi batu oleh ibunya. Sewaktu kami liburan ke Bukittinggi dan melihat langsung lokasi Malin Kundang dimana ada batu seperti manusia yang disebut2 sebagai penjelmaan Malin Kundang . Langsung mereka bilang "Ih serem amat ibunya Malin Kundang, masak anak sendiri diminta jadi batu, emangnya ibunya gak kasihan ya ma anaknya jadi batu. 'Gak sayang dong sama anaknya?". Waktu itu saya sempat terpana mendengar komentar mereka, dalam hati saya membenarkan juga pendapat mereka "Apa ada seorang ibu mendoakan anaknya menjadi batu?". Sesakit apapun hati seorang ibu, seluka apapun perasaannya pasti dia selalu mendoakan yang baik2 untuk anaknya. Lihat saja singa, harimau atau serigala mereka binatang buas tapi tetap lembut (untuk ukuran binatang buas) memperlakukan dan melindungi anaknya dari mara bahaya.

Ada satu pengalaman yang tidak terlupakan oleh saya, 18 tahun yang lalu, ketika sedang cuti ke Jakarta saya mengantarkan si sulung Tito yang berumur 1 tahun ke dokter spesialis anak, prof. Odang, di daerah Proklamasi - Megaria. Kebetulan Tito kena demam, sambil menunggu diruang tunggu disebelah saya seorang ibu muda cantik dan berdandan rapi dengan aksesoris kalung panjang melingkar dileher dan anting2 yang berayun2 ditelinganya sementara disebelahnya ada anak perempuan kecil yang matanya terlihat sayu, hidungnya tersumbat, batuk yang tidak henti2nya bersender lemah di pelukan baby sitter-nya. Siperempuan muda ini, yang ternyata ibunya, sekali2 mengusap rambut anaknya sambil memeriksa dahinya. Sementara saat itu, saya sedang memeluk Tito sambil menina-bobokannya supaya tidak rewel. Kebetulan nomor kami berurutan dipanggil masuk ke kamar praktek dokter, pertama ibu muda itu disuruh membaringkan putrinya untuk diperiksa, sambil memeriksa dokter bertanya sakit apa dan obat apa yang dimakan terakhir. Suatu pemandangan yang lucu dan aneh buat saya, karena si ibu muda tersebut dibantu baby sitternya menjawab pertanyaan dokter (seperti orang mendapat contekan waktu ujian). Sampai2 prof Odang yang sudah berumur 75 tahun itu berkali2 melihat ke pasien dan si ibu sambil menggeleng2kan kepala (mungkin si prof merasakan hal yang sama dengan saya). Terakhir si prof berpesan supaya anaknya di awasi oleh ibunya. Hal yang terbayang oleh saya, 20 tahun yang akan datang tidaklah heran kalau nanti perempuan kecil ini tidak akan pernah menyayangi ibunya. Ironis sekali, karena kalung dan anting2 panjang seorang ibu tidak bisa menggendong atau mendekap anaknya yang sedang sakit.

Sekarang ini sering saya perhatikan di mall2, keluarga muda sedang jalan2 dimana ibunya sibuk menjinjing belanjaan dan para baby sitter sibuk menggendong anak majikannya. Rupanya para ibu2 lebih memilih dekat dengan belanjaannya dari pada anaknya. Juga semakin banyak sekali anak2 kecil yang bertingkah laku nakal luar biasa, sampai2 tidak bisa dikendalikan oleh orang tuanya. Saya berfikir dimana pangkal persoalan anak2 ini? Coba lihat serial film 'NANNY 911' di Metro TV, yang bikin kita geleng2 kepala melihat monster2 kecil beraksi. Saya tidak bisa membayangkan kalau posisi saya ada di situ, apa yang harus saya lakukan? Juga semakin banyaknya putera-puteri kita menderita autis, terlebih2 yang tinggal di kota besar. Menurut sumber yang saya baca, selain karena alergi terhadap zat tertentu, suntikan MMR, salah satu penyebabnya juga adalah kurangnya perhatian ibu ketika bayi (menurut penelitian kasus ini banyak terjadi di ibu yang bekerja). Walaupun saya yakin tidak semua penyebabnya karena kurangnya perhatian, karena saya punya sahabat yang memiliki anak autis sejak usia 2 tahun berkat kasih sayang ibunya sekarang anak itu berusia 19 tahun bisa dikatakan hidup normal. Kita boleh saja menolak asumsi2 atau hasil penelitian tentang kasih sayang ibu terhadap anaknya, tapi menurut saya yang paling penting adalah kualitas waktu kebersamaan ibu dan anak. Tidak ada gunanya waktu yang lama dan panjang tapi kalau diisi dengan amarah, kekerasan dll. Atau anak2 dibiarkan sendirian diasuh oleh televisi sehingga ada istilah "tv sitter".

Masa kecil anak2 kita tidak bisa diulang, dan berlalu dengan cepat tanpa terasa. Ini saya rasakan sekarang, ketika melihat si sulung Tito 19 tahun sekarang sudah kuliah, Faisal sudah 16 tahun dan si bungsu Iqbal 14 tahun. Rasanya baru kemarin mereka saya gendong2, berebut minta dipeluk ketika hendak tidur (walaupun cuma kebagian ujung tangan saya, mereka cukup puas), menangis tersedu2 dalam dekapan saya ketika terjatuh dll. Saya merasa bukanlah ibu yang sempurna atau terlalu penyabar ketika mengasuh mereka, adakalanya saya marah atau jengkel melihat kenakalan mereka. Seiring dengan berjalannya waktu saya selalu berusaha untuk belajar lebih baik dan bijaksana dalam mengasuh mereka. Ketika mereka SMP pernah protes bilang "mama ini kok banyak sekali sih peraturannya?". Waktu itu mereka tidak mengerti, kalau saya sedang menanamkan pendidikan dasar baik itu moral, etika dll kepada mereka. Saya bilang, nanti kalau kalian sudah besar pasti kalian akan berterima kasih ke mama. Pasti kalian bilang untung mama dulu cerewet ya, kalo gak kami mungkin jadi orang sembarangan.
Dan ini terbukti, si sulung Tito pernah sewaktu SMA mengungkapkan di blognya dalam bentuk tulisan, dia bilang "untung dulu mamaku cerewet, banyak peraturannya. sekarang setelah jauh dari mama baru aku bisa merasakan manfaatnya diatur sana sini" , kira2 begitu yang diungkapkan Tito.

Sekarang ini setelah mereka menjadi "ABG", paling senang jalan cuci mata keluar masuk distro dengan saya (ini dia yang namanya sifat menurun hobi 'shoping'). Setiap mengunjungi mereka di Bandung, acara malam minggu adalah jalan2, lalu dilanjutkan 'nongkrong' dengan mereka di tempat makan ABG . Mereka bilang ada kafe tempat dengerin musik yang enak, tapi ntar mama kaget lagi lihat tempatnya. Soalnya gak ada ibu2 kayaknya ma, kata mereka ketika saya tanya dimana tempat mereka dengerin musik. Yang lucunya si sulung, kalau saya di Bandung dia selalu tanya nanti malam mama mau keluar? kalau mama mau jalan, Tito batalin janji pergi ama teman2 (boleh ge-er dikit lah ternyata anakku masih seneng jalan sama aku). Apalagi kalau urusan milih baju, heboh deh mereka (ternyata anak laki2 sama juga hebohnya kayak perempuan milih baju ya), saya dan suami bisa2 'mati gaya' ditengah gerombolan ABG di distro itu menunggu mereka milih2 baju.

Ketika saya ulang tahun yang ke 42 tahun lalu bertepatan dengan ibadah haji di Mekah, anak2 mengirimi saya SMS yang bunyinya "Mama selamat ulang tahun, semoga tambah cantik. Sehat2 aja dan jadi ibu terbaik sedunia". Ada lagi yang menulis "biar Mama lagi di Mekah, kami tetap ingat ulang tahun mama". Yang lucunya si sulung mengirim email ke suami saya bertepatan dengan hari Ibu bulan Desember tahun lalu, dia menulis begini "Pa, bilangin ke Mama ya Selamat Hari Ibu. Semoga bahagia. Alamat emailnya mama kok hilang di Tito. Jadi kirim lewat papa aja ya". (oh...so sweet ngedengernya....)

Tugas seorang ibu memanglah tidak mudah, bukan berarti seorang bapak tidak punya peranan dalam membesarkan anak2. Hanya mungkin karena dia yang mengandung, menyusui ada satu kedekatan batin antara anak dan ibu yang tidak dimiliki seorang ayah. Seorang ibulah yang menjadikan kita seperti sekarang ini. Saya yakin, kalau kita menyayangi anak2 kita dengan sepenuh hati, merawat mereka dengan cinta insya Allah ketika besar nanti kita tidak akan kehilangan kasih sayang mereka, cinta mereka. Mereka akan berprilaku sebagaimana kita memperlakukan mereka ketika kecil. Love is totallity.
Cobalah kita renungkan, betapa cepatnya waktu berlalu. Sekarang anak2 sudah besar, semoga anak2 kita semua merasakan masa kecil yang bahagia. Anak memang titipan Tuhan, kita tidak berhak menahan langkah2 dia menuju masa depan yang gemilang walaupun berat rasanya hati ini melepas si buah hati sendirian. Tapi setidak2nya, anak2 kita masih meninggalkan hatinya untuk bersama kita.

Sepeda Ontel

Kamis, 30 April 2009

Sepeda Ontel
Oleh : Sri 'ade' Mulyani

Minggu pagi cerah begini, asyiknya jalan kaki berdua bersama suami. Olahraga pagi ceritanya, sambil menikmati segarnya udara Bontang. Serombongan komunitas sepeda ontel melintas, dengan pengendaranya menggunakan pakaian tempo doeloe, lucu juga. Aku jadi teringat saat kecilku dulu, sepeda seperti itulah satu-satunya kendaraan yang ayahku pakai keliling kota dan bekerja. Yah, maraknya perkumpulan sepeda ontel akhir-akhir ini, mau tak mau membuka lembaran masa lalu yang tak pernah kulupa. Bukan perkumpulan sepedanya yang bikin aku mengenang masa lalu, tapi sepedanya itu lho. Sepeda jadul, walaupun sepeda ontel yang kukenang itu nggak jadul-jadul amat.

Tahun 1976, ayahku seorang TNI AD dengan pangkat Sersan Polisi Militer, dengan tiga orang anak. Kami tinggal di asrama Pusdik Pom Lokal 77 No. 62 Cimahi. Tak banyak barang yang dimiliki ayah. Kursi tamu saja kami tidak punya. Yang kuingat kami hanya punya tempat tidur tingkat yang bagian atasnya tidak berkasur, hanya beralas tikar dimana aku dan kakak perempuanku tidur, sementara di bawahnya ayah, ibu dan adik laki-lakiku tidur bertiga beralas kasur kapuk. Kalau ada yang bertanya pada adikku sekarang tentang tempat tidur bertingkat itu, jawabnya sederhana, “Lupa! Ingetnya ya itu kalau sedang tidur suka tiba-tiba ada hujan turun.” Hah, mana bisa hujan turun di asrama peninggalan Belanda yang kokoh, berdinding tembok, beratap genting dan tidak bocor? Tapi itu kenyataan. Dia lupa bahwa tempat tidur di atasnya tidak beralas kasur, sehingga jika aku yang tidur di atas ngompol (sstt.. sampai usia tujuh tahun kadang-kadang aku masih ngompol), maka tercurahlah air pipisku menimpa ibu, ayah ataupun adikku yang saat itu masih berusia tiga tahun (maafkan aku ya Bu, Pak, Dik, itu nggak sengaja, sumpah!).

Selain tempat tidur itu, kami memiliki sebuah mirkas (lemari kayu) dan meja kayu kecil dengan bangkunya. Benda lainnya yang berharga? Ya sepeda ontel itulah, kendaraan yang selalu ayah gunakan untuk memudahkannya ke mana-mana. Sayang, aku tidak sempat ingat merknya. Aku juga lupa, apakah ayahku suka membonceng ibu dengan sepedanya macam Galih dan Ratna atau tidak.

Yang paling kuingat, hampir setiap sore ayah membonceng aku dan adikku berkeliling kota Cimahi. Tentu saja usiaku masih tujuh tahun saat itu, sedang adikku baru berusia tiga tahun, sehingga ayah akan dengan mudah membonceng kami berdua. Kadang ayah membeli obat ke apotik Serumpun Bambu, atau sekedar putar-putar di Jl.Gandawijaya membeli pistol-pistolan buat adikku atau martabak jika ada uang lebih seperti pada hari gajian.

Setiap ayahku pergi ke Rumah Sakit Dustira (pada saat itu ayah mengikuti sekolah pendidikan perawat sehingga ayah bisa menjadi Mantri Kesehatan di kesatuannya) ayah juga sekalian mengantar dan menjemputku yang sudah duduk di kelas satu di SD. Sudirman 5 Cimahi dengan sepeda itu. Aku akan berteriak kegirangan jika ayah yang mengantarku ke sekolah dengan sepedanya. Sebab kalau ibu yang mengantar, pasti hanya dengan berjalan kaki menempuh jarak sekitar dua km, yang berarti aku harus pergi lebih awal supaya tidak terlambat sampai di sekolah.

Suatu hari, ayah mendapat telegram dari Plaju. Kakekku sakit keras. Ayah diminta segera pulang ke Plaju di Sumatra Selatan. Aku yang saat itu masih kecil, belum tahu kalau jarak Cimahi – Plaju itu jauh, pake nyebrang selat lagi. Hari-hari ayah di Plaju, tak ada lagi yang membonceng kami bersepeda berkeliling kota Cimahi seperti kemarin-kemarin. Pun setelah ayah kembali dan mengabarkan kepergian kakekku. Sepeda itu tidak pernah kulihat lagi.

Saat kutanya pada ayah, kenapa kita tidak pernah lagi naik sepeda, kemana sepeda kita? Ayahku dengan ringan menjawab, “Tahu nggak kalian…. waktu kemarin ayah ke Plaju, ayah kan harus melewati sebuah sungai yang buesaaar, namanya sungai Musi. Waktu ayah menyebrangi sungai itu, ayah kurang berhati-hati sehingga sepeda ayah tergelincir dan …… nyemplung deh ke Sungai Musi.”
Saat itu aku percaya saja apa yang dikatakan ayahku. Untung ayahku selamat, pikirku polos. Tak pernah terlintas di benakku bahwa ayah berkelakar menjawab pertanyaanku. Sebuah kebohongan yang manis, namun lucunya sampai saat ini aku tak pernah merasa dibohongi. Pendek kata aku tak pernah bertanya tentang sepeda lagi.

Hari berganti bulan, bulan berganti tahun, kehidupan ekonomi ayah membaik, perabotan kami bertambah dengan seperangkat kursi tamu, kasur kapuk untuk tempat tidurku dan lemari pajangan. Sepedanya berganti BMX dan kendaraannya bertambah dengan sebuah motor DKW (sejenis motor berpedal yang untuk menghidupkan mesinnya dengan cara mengengkol pedalnya), tapi aku tetap kangen dengan sepeda ontel ayahku. Merasakan kehangatan cinta ayah lewat kayuhan sepeda tua itu. Lama setelah aku dewasa, baru aku menyadari kalau sepeda itu ternyata sudah dijual ayah untuk membiayai kepergiannya ke Plaju bukannya nyemplung di sungai Musi.

Bontang, April 2009

Prasangka

Selasa, 24 Februari 2009

PRASANGKA
Oleh : Sri ‘ade’ Mulyani

Percayakah kamu akan adanya cinta sejati? Aku menggangguk, pertanyaan berlanjut, yang darinya tumbuh kesetiaan tanpa penghianatan ? Oo, tunggu dulu. Rasanya harus dipikir ulang. Jawabannya mungkin saja ada, tapi sedikit. Di jaman sekarang ini, yang segalanya serba instant dan diukur berdasarkan materi semata, apa masih ada cinta sejati yang penuh kesetiaan dan tanpa penghianatan ? Aku akan menjawab ya kalau aku memang benar-benar melihat sendiri contohnya dari sekelilingku. Teman-temanku, sahabatku, tetanggaku atau siapa sajalah yang padanya kutemukan kisah tersebut, baru aku akan percaya.

Kalau dulu, di usia 30 an mungkin aku masih berani setuju dengan jawaban ada. Tapi di usiaku yang ke 40 ini, setelah begitu banyak kejadian di sekelilingku yang membuka lebar-lebar mataku, belum kudapatkan kesetiaan yang sempurna. Tentulah, manusia kan mahluk yang tidak sempurna, dan seiring masa berlalu, kesetiaan cuma tinggal dongeng yang belum pernah kutemui kisah kongkritnya. Kebanyakan yang kulihat adalah, cinta yang kandas di tengah jalan, baik yang seumur jagung maupun yang puluhan tahun. Selalu saja ada duri penghalang maupun badai menerjang yang memporak-porandakan biduk rumahtangga yang sudah dibangun. Kalau kau lihat sebuah keluarga di usia senja selalu rukun-rukun saja, ternyata ada kisah kelabu juga yang mewarnai keutuhan rumah tangga mereka di masa lalu. Mungkin di akhir mereka terselamatkan, namun justru banyak yang kandas di tengah jalan. Jadi, kemana nih aku harus mencari figur yang bisa kujadikan contoh?

Namanya Asep. Sunda tulen. Logatnya yang khas tetap kentara meski sudah hampir 20 tahun tinggal di Kalimantan. Selagi aku remaja ibuku yang Jawa asli suka menasihati, jangan menikah sama orang Sunda, istrinya di mana-mana. Maklum, rata-rata tetangga ibuku maupun teman ayahku yang Sunda kebetulan punya istri lebih dari satu. Tidak salah juga kan kalau ibuku berpendapat begitu?

Tapi temanku yang satu ini si Asep yang Sunda tulen dan beristrikan orang Jawa, tidak masuk katagori laki-laki Sunda yang ibuku maksudkan. Sepanjang sejarah hidup rumah tangganya, kulihat ia begitu setia dengan istrinya. Di saat susah, di saat senang. Di saat teman-temannya yang mapan mulai melirik wanita di luar istrinya, si Asep ini tetap setia menggandeng lengan Retno istrinya, persis sama ketika dulu masih pacaran.

Masih kulihat mereka berdua melakukan aktifitas seperti 17 tahun yang lalu kala masih pengantin baru. Jalan santai berdua di pagi hari Sabtu ataupun Minggu. Bercanda sambil menikmati indahnya pagi. Bersenda gurau di pekarangan rumahnya sambil berkebun. Ataupun sekedar keliling komplek berdua dengan motor tuanya sambil sang istri mendekap erat si Asep. Bahasa tubuh mereka berdua itu lho yang bikin orang banyak bakal iri. Kayaknya dunia hanya milik mereka berdua.

Tapi, apa iya sih mereka berdua adem-adem saja hubungannya? Jangan-jangan mereka punya juga masalah, atau malah mungkin si Asep sebenarnya sudah mendua, tapi istrinya tidak tahu. Wuah, tak percaya aku. Pasti nih si Asep pintar menyembunyikan sifat buayanya (maaf, sampai detik ini aku masih percaya nasihat ibuku). Alhasil, hari-hari terakhir ini aku jadi suka memperhatikan sikap si Asep, kalau-kalau ada yang mencurigakan gitu, untuk membuktikan bahwa dia itu sama saja dengan lelaki yang lain. Yang tak cukup punya istri satu. Soalnya sudah sering sih aku lihat teman laki-laki yang seperti Asep, kelihatannya baiiikk banget sama keluarga, tahunya meleng dikit, menggandeng cewek abg. Gombal kan ?

”Apa ? Mona ? Putih ya?” Nah..nah.. ada apa nih si Asep nyebut-nyebut nama cewek, putih lagi. Telinga mulai kupasang baik-baik.

“Oh, sudah satu setengah tahun. Bersih? Yang penting cakep kan? Boleh juga tuh! Nanti saya ke sana deh.” Duile si Asep, segitunya. Tanpa basa-basi langsung tancap saja, hatiku membatin. Kasian juga si Retno ya, kalau Asep sampai kecantol si Mona yang putih, yang baru satu setengah tahun tinggal di Kalimantan, anganku melanjutkan. Apa yang bakal terjadi pada biduk rumah tangga mereka kelak ? Ih, Asep. Teganya dikau! Aku jadi sebal padanya. Nilainya jadi jatuh di mataku.Benarkan dugaanku? Tak ada laki-laki setia.

Hari berganti, minggu berlalu. Tingkah si Asep makin menyebalkan. Setiap kali dia bicara di telpon dengan seseorang, yang dibicarakan tak lepas dari si Mona yang aduhai menurutnya. Aku sebenarnya tak ingin nguping. Tapi tetap saja ada beberapa kalimatnya yang agak keras terdengar sampai telingaku. Toh jarak meja kami hanya dilapisi sebuah lemari berderet. Malah pernah kudengar Asep menyebut-nyebut assessories dan perlengkapan si Mona, kalung, shampoo, parfum? Duh, gile juga si Asep. Punya cewek baru segitu detilnya membelikan perlengkapan. Jangan-jangan sebentar lagi dia belikan rumah tuh cewek. Aku geleng-geleng kepala terbawa khayalku.

Tak terbayangkan wajah Retno yang ayu akan terkejut seperti apa jika mengetahui tingkah suaminya. Aku prihatin banget. Ingin aku memberi tahu Retno, tapi aku khawatir prasangkaku ini malah akan membuat rumah tangga mereka hancur. Aku tak mengenal Retno terlalu dekat. Jangan-jangan nanti dikiranya aku hendak mengacaukan keharmonisan rumah tangganya, bisa berabekan? Aku berpikir beribu kali sebelum memutuskan untuk memberitahukan ini pelan-pelan pada Retno. Harus cari timing yang tepat dan harus yakin bahwa penghianatan Asep sudah tiba pada klimaksnya. Aku akan tunggu saat itu tiba, namun aku masih berharap semoga Asep tersadar dari perbuatannya itu sebelum aku benar-benar cerita dengan Retno.

Suatu hari telpon Asep berdering. Tak ada yang mengangkat. Kemana sih Asep ini? Akhirnya kuangkat juga telpon itu. Suara seorang remaja di sebrang menanyakan Asep. Kujawab sedang keluar. Dia meninggalkan pesan, Asep diminta segera pulang sambil carikan dokter, Mona mau melahirkan katanya. Kaget setengah mati aku, sampai telpon terputus tak kuhiraukan. Berapa lama sudah Asep dan Mona berkenalan? Ah, aku menyesal kenapa kupikir Asep bakal berubah. Ternyata tidak. Kini Mona malah sudah hamil bahkan hendak melahirkan. Aku harus menghubungi Retno. Tapi bagaimana memulai untuk menceritakan ini. Aku bingung juga. Kuletakkan gagang telpon. Baru sesaat, telpon berdering kembali. Was-was aku angkat telpon.

“Halo, selamat pagi. Bisa bicara dengan Pak Asep?” suara Retno di sebrang.

“Hm, selamat pagi. Retno ya? Bagaimana kabarnya? Pak Asepnya sedang keluar” aku menjawab hati-hati.

“Baik Sri. Ng.. lama nggak ya keluarnya? HP nya juga tidak bisa dihubungi. Kemana ya perginya?” nada bingungnya itu mengundang tanda tanya di kepalaku, apakah Retno sudah punya firasat sedang terjadi sesuatu? Aku ngeri juga membayangkannya. Pelan-pelan aku bertanya, “Sebenarnya ada apa sih Retno?”

“Ini nih, si Mona mau melahirkan. Mana sudah berdarah-darah lagi. Cari dokter di mana ya?” Tak ada nada cemburu, yang terasa malah nada khawatir. Astagfirullah, Retno…Retno, madunya mau melahirkan dia malah nyariin dokter. Gile! Gini kali ya tipe istri setia calon penghuni surga? Gak ada rasa cemburu. Aku jadi malu hati. Aku yang bukan apa-apanya Asep bahkan sudah menganggap Asep tak berharga, eh sang istri kok malah nggak ya?

“Sekarang Monanya dimana?” tanyaku.

“Ya di rumahku.” Duh Gusti, serumah dengan Retno! Weleh-weleh… Aku kok ketinggalan kereta gini ya informasinya. Kok kayaknya ada yang salah. Sudah edankan Retno? Atau aku yang salah dengar?

“Ya sudah, kalau kamu tidak tahu alamat dokter hewannya, ya gak papa. Biar aku cari di buku telpon saja”

“Retno, masak sih Mona mau melahirkan dipanggilkan dokter hewan?” aku kaget, jangan-jangan ini kesempatan Retno balas dendam pada suaminya.

“Ya iya lah, masak mau dipanggilkan bidan. Ntar bidannya malah gak ngerti!”
Sepertinya ada yang tidak beres nih.

“Retno,” aku mulai bicara hati-hati. “Mona mau melahirkan?”

“Iya”

“Di rumahmu?”

“Iya”

“Kenapa harus panggil dokter hewan? Bukankah…..”

“Iya, dokter hewan. Kamu punya kenalan dokter hewan? Kasihtahu dong!”

“Apa Mona nanti tidak tersinggung?”

“Kamu nih aneh deh Sri. Aku butuh dokter hewan. Si Mona mau melahirkan. Emang kamu pikir Mona siapa?!” Retno mulai tidak sabar.

“Mona itu, madu....”

“Ngaco!! Mona itu kucing Persia kesayangan suamiku tahu!”



Bontang, 24 Februari 2009
"thanks buat ayang & mona yg jd inspirasi"