Satu Siang Kulewati Bersama Putri Bungsuku

Rabu, 21 Juli 2010

Oleh : Eni Nur Rahyuni

“Assalaamu’alaikum......!!”
Lantunan salam agak keras yang dilagukan naik turun, mengalun mengiringi hentakan langkahnya diluar kamar tidurku. Sebentar kemudian, terdengar ketukan di pintu depan disusul bunyi irama bel pintu yang mendayu karena kehabisan baterai dan kembali ucapan salam terulang.
"Assalaamu'alaikum...!!!"
“Wa’alaikum salam...! Gimana sekolahnya?”
Kalimat yang hampir sama selalu kuucap setiap membukakan pintu. Dia hanya mengangguk tanda semua baik-baik saja. Kuulurkan tangan padanya, jarinya yang sudah hampir seukuran jariku cepat meraih, menjabat dan menempelkan ke mukanya.

“Wow!” mukanya hangat sekali, kepalanya yang terbalut kerudung juga. Udara hari ini memang luar biasa panas, juga hari-hari sebelumnya. Seorang teman sampai membuat status di face-booknya “mataharinya ada 3”, ini karena udara memang sangat panas dan tak ada tanda-tanda akan turun hujan, sudah hampir sebulan matahari bersinar sangat terik. Sekelebat dia mendahuluiku dan merebahkan tubuhnya ke kursi panjang sambil melepaskan tas punggung yang penuh dengan buku dan perangkat sekolah. Yang kutahu setiap pelajaran pasti dilengkapi beberapa buku tulis yaitu: satu untuk catatan, satu untuk latihan, satu untuk PR dan satu untuk ulangan. Kalau hari ini dia punya tiga jadwal saja, berarti dia bawa dua belas buku tulis dan tiga buku cetaknya. Kadang masih harus ditambah kamus bahasa Inggris maupun kamus bahasa Indonesia yang lumayan tebal.

“Huuuff!!” Hembusan nafas agak panjang yang keluar dari mulutnya menunjukkan kelegaan sudah sampai di rumah dan menikmati udara dingin diruangan. Tangannya mulai membuka kerudungnya dan membiarkan dilengan kursi. Kulihat rambutnya agak basah karena keringat, sekarang tambah kelihatan mukanya yang memerah. Dibukanya satu persatu sepatu dan kaos kakinya selanjutnya ditinggalkan dilantai dimana dia duduk. Dia berjalan ke ruang makan, menuang segelas penuh teh manis dari teko yang kubuat tadi pagi. Begitu hausnya.... dalam sekejap gelas ditangannya telah kosong lagi. Dia memutar badan menuju dapur. Benturan antar botol di lemari es terdengar sampai ke ruang tamu dan sesaat dia kembali keruang makan dengan sebotol air putih dingin. Belum puas rasanya minum segelas teh manis tadi. Segelas air putih dinginpun dalam sekejap juga sudah habis.
“Makan Dik...!!!” kataku dari tempatku duduk.
“Ya! Sebentar...”
Jawabnya sambil menuju ruang tamu dan duduk seraya menyalakan TV dengan remote control ditangannya. Dia pilih chanel kesukaannya “Musik”. Kubiarkan sesaat untuk melepas kepenatan setelah seharian berkutat dengan pelajaran di sekolah. Mulutnya menyuarakan pelan mengikuti lantunan lagu. Ada beberapa lagu dinikmatinya sambil sesekali mengibaskan rambutnya yang basah keringat dan mengipas dengan koran yang ada di meja. Setelah dirasa cukup dia mulai beranjak ke ruang makan.

Segera dibuka piring yang sudah tersedia di meja makan dan menuang nasi secukupnya. Matanya menatap senang melihat menu kesukaannya terhidang di meja. Ayam bakar bumbu kecap, sambal terasi tomat tidak terlalu pedas dan sayur sop. Kutemani makan siang kali ini karena aku juga belum makan.
“Boleh dua!!” sambil jari tengah dan telunjuknya diarahkan padaku. Maksudnya ayamnya boleh nambah lagi apa tidak. Aku mengiyakan, segera tangannya meraih memilih bagian kesukaannya “paha”. Sebentar saja telah habis sepotong paha ayam.
“Boleh lagi?” sambil matanya menatapku seolah mengatakan “please Ma..” dan senyumnya mengembang minta persetujuanku. Duuuuh kalau sudah cocok menunya, terus saja nambah. Kulihat ayam tinggal dua potong.
“Sisain satu..., mbaknya belum makan” maksudku mbak yang kerja dirumah.
“Yes!!” cepat diambilnya bagian yang juga disukainya “sayap”
“Jangan lupa sayurnya ya...”
Dia mengangguk dan menyelesaikan makan siangnya. Hari ini dia makan dengan lahapnya. Disamping hawa yang panas yang membuat tenaga terkuras disekolah, mungkin juga karena menu yang cocok dengan seleranya. Memang sebaiknya sebelum berangkat sekolah anak ditawari dulu mau makan apa untuk makan siangnya dari pada sudah masak ternyata tidak sesuai selera dan nafsu makan anak menurun ketika melihat hidangan diatas meja makan.
Seperti suami kalau ditawari mau makan apa nanti siang, suami pasti menjawab.
“Coba anaknya mau makan apa, kalau Papa sih apa aja nggak masalah”
Memang benar, apalagi anak masih butuh asupan yang banyak. Untuk pertumbuhan dan daya tahan tubuhnya.

Setelah menjalankan sholat dzuhur dan istirahat beberapa saat, dia mulai menyiapkan buku-bukunya karena setengah tiga harus kembali ke sekolah mengikuti “Bimbel” tambahan pelajaran khusus kelas 6 untuk menyongsong ujian nasional. Setelah semua beres, dia segera mengambil handuk dan masuk ke kamar mandi. Suara shower yang deras terdengar dari balik pintu kamar mandi ketika kulewati karena aku juga harus segera bersiap-siap mengantar ke sekolah.

Jam setengah tiga kurang sepuluh menit. Harumnya sabun mandi dan parfum telah menggantikan bau keringatnya sewaktu pulang sekolah tadi. Badannya telah segar kembali, kesan lelahnya telah lenyap terganti dengan semangat keberangkatan menuju sekolah mengikuti bimbel.
“Minumnya sudah Dik?” Kataku mengingatkan untuk membawa bekal minum karena bimbel akan dijalaninya selama satu setengah jam.
Dia mengangguk. Siiiip, semua beres. Berarti siap meluncur ke sekolah.
Beberapa temannya sudah datang. Dari mobil bisa kulihat ada yang sudah berada di kelas, ada yang baru saja sampai diantar ibunya, ada juga yang naik sepeda. Wow! Terik matahari tak menyurutkan langkah wajah-wajah kecil menimba ilmu ke sekolah. Bagaimanapun caranya. Setelah mencium tangan dan mengucap salam, dia turun dari mobil dan menutup kembali pintunya. Kuawasi sampai dia berbaur dengan teman-temannya menuju kelas.

“Ya Allah, Jagalah putriku yang sedang menuntut ilmu ini. Berikan kemudahan baginya menerima bimbingan dari guru-guru yang mengajarnya. Jagalah selalu kesucian hati dan fikirannya. Amin”.

Tak kuasa kutahan genangan air yang mengambang dimata yang membuatku memandang tak jelas langkah-langkahnya bersama teman-temannya menuju kelas. Ketika kuusap dan kutatap lagi...., langkah-langkah itu sudah tidak ada. Anak-anak sudah masuk ke kelasnya.

“Ya Allah, Jagalah putriku dan anak-anak masa depan ini. Amin”

♥ gratisan ! yo ayo... melu !

Selasa, 20 Juli 2010

Ini dibilang pagi apa siang ya? kalau pukul 11.45..hehehe maaf, lagi heng! Saat itu seorang bapak menawarkan kursus photografi gratis untuk 3 orang ibu. Wah! lumayan.. batinku. Tapi.. ini bukan bagianku. Jadi aku hanya mengiyakan saja ketika dijelaskan siapa yang ngadakan, kapan pelaksanaan, siapa yang ngajar dan siapa saja pesertanya.

Meski cuma 3 orang jatahnya, tapi untuk memastikan bisa tidaknya mendapatkan peserta adalah hal yang tersulit. Bagaimana tidak.. jika pelatihan ini memerlukan waktu 3 hari berturut-turut, seharian dan jadwal pembukaan serta pelaksanaan pelatihan hari pertama jam 19.30 - 23.00 wita. Bisa tidak ya? Untuk menjaring minat kursus yang diadakan pagi dan siang hari selama 3 hari saja susahnya bukan main, lha ini malam.. duuuh, siapa ya.. kira-kira yang mau ikut.

Pilihan pertama ke TS, wah.. sepertinya gagal nih. Karena pernah denger kalau dulu nggak mau ikutan kursus karena pengennya privat saja.

Pilihan ke dua ke LR, wah.. sepertinya gagal juga. Karena dia sedang kurang sehat dan harus banyak istirahat, sedang dia sekarang ini juga sedang konsentrasi ke lomba vocal grup yang butuh waktu extra untuk latihan bersama teman-teman.

Pilihan ke tiga, TS. Mudah-mudahan bisa. E..., ternyata sedang tak ditempat alias keluar kota. Yah, gagal maneh.

Masak aku? ya mau gimana lagi.. seneng sih seneng tapi tetep saja kurang mencukupi kuota yang 3 orang. Telpon temen yang lain saja supaya mau mengisi kekosongan.

"Bu, ada kursus Photografi bu, butuh orang ini, karena anggotaku sepertinya kurang. Tapi ini cadangan dulu ya bu.. soalnya belum tahu bisa tidaknya anggotaku. Kalau anggotaku bisa, nggak jadi nggak papa ya?"

"Ok, nanti dicarikan"

Akhirnya jari-jari beraksi, menelpon TS dan menjelaskan panjang lebar. Yeee! berhasil..!! TS mau. Lalu jari-jari kembali beraksi menelpon LR dan menjelaskan juga. Yeee! berhasil lagi..!! pas dah kalau sama aku. Tapi kan nggak lucu kalau aku yang ikut karena ini bukan bagianku. Pengen juga sih ikut tapi harus kusampaikan dulu ke yang lebih berhak. Telpon LW dan menjelaskan. Ternyata LW sudah tahu tapi tak bisa ikut, dia bilang tadi sudah menghubungi RM yang katanya mau ikut.

Hiks.. hiks.. hiks.. agak kecewa juga sih karena aku bakalan nggak akan ikut. Kutelpon juga RM dan menjelaskan.. tadinya memang RM mau ikut, tapi setelah dijelaskan tentang pelaksanaan pelatihan, akhirnya RM mundur. Dalam hati nih, YES!! aku yang jadi ikut. Lumayan...!! dapet ilmu dan gratis.

Kembali jari ini menelpon teman, memberitahu kalau dari anggotaku saja sudah mencukupi kuota.

Hari pertama pelatihan, Jum'at 16 Juli 2010 jam 19.30 - 23.00 wita.
Menjelaskan sejarah, aliran dalam photografi, jenis-jenis kamera dan anatomi kamera. Waduh ! kok ruwet gini.. Ketika sesi pertanyaan diluncurkan malah bingung apa yang akan ditanyakan. Bener-bener nol pengetahuan tentang photografi, keliatannya pesertanya ini udah pada canggih-canggih. Lihat saja kamera yang dibawanya dilengkapi tele. Lha aku, 1 kamera untuk tiga orang. Hihihi... bener-bener nekat masuk ke komunitas penghobby photografi.

Hari kedua pelatihan, Sabtu 17 Juli 2010 jam 08.00 - 16.30 wita.
Materi yang diberikan meliputi, Basic photografi (komposisi, pencahayaan), Etika photografi, Corporate photografi dan Studio Lighting. Akhirnya meski belajar dengan sangat terbatas pengetahuan yang dipunya bisa juga mempraktekkan dengan kamera yang untuk bertiga. Bagaimana mengatur Diafragma, ASA, speed secara manual. Wow ! lumayan hasilnya, maksudnya tahu bagaimana cara mendapatkan gambar yang benar dan melihat hasil gambar yang salah pengambilan.

Sebenarnya masih ada sesi malamnya dari jam 19.30 - 23.00, tapi ini sifatnya tidak wajib. Judulnya sarasehan. Jadi ajang tukar pengalaman dan menunjukkan hasil jepretan tadi siang dan membahas apa yang perlu diperbaiki dari pengambilan gambar. Dari bocoran teman yang hadir dikatakan kalau mengambil gambar sedapat mungkin sebaik mungkin. Keperluan edit photo kalau bisa hanya sebatas croping saja. Dan rahasia seorang Photografer adalah jika memberikan photo hasil bidikan, jangan semuanya dikasihkan. Ambil yang bagusnya saja,kalau semua diberikan termasuk yang tidak bagusnya ayau cacat istilahnya... hehehe nanti keliatan katroknya. hahahaha... ada-ada saja! kalau udah canggih ya pastilah bagus hasilnya. Lha kalau lagi belajar gini ini, ya pasti katroknya.

Hari ketiga pelatihan, Minggu 18 Juli 2010 jam 07.30 - 16.30 wita.
Hey.. hey.. hey..! saatnya hunting photo (human Interest) di Bontang Kuala. Setelah dijelaskan panjang lebar dari hari pertama pelatihan dan mendapatkan materi yang cukup banya. Giliran mencari obyek untuk dijepret kok ya bingung. Opo sing arep difoto? Bontang kuala, tergambar rumah kayu diatas laut yang tak teratur disiang hari... keliatan sekali semrawutnya dan kurang indahnya. Hehehe... apa yang mau diphoto ya? bingung lagi.. bingung lagi.. judulnya. Akhirnya jepret sekenanya...

"Photo rumput laut yang dijemur, terasi yang dijemur, rumah roboh, kucing, perahu yang sedang jalan, panggung, tempat sampah, anak-anak main perosotan, bunga..." jebreeet..!! jebreeer..!! jebreeet..!! lhoh ! apa aja ini yang dijepret???... hehehe asal jepret saja, ow!... tapi tetep diusahakan semenarik mungkin lhoh. Hahaha..!!! tapi nggak tahu ya kalau penilaian sang guru nanti, apa juga termasuk menarik?

Saatnya preview praktek hunting photografi. Seorang teman menampilkan hasil bidikannya... Bagus! Bagus ! Bagus !... yang bener aja... peralatannya beda! dan mereka lebih berpengalaman. Tapi nggak boleh kecil hati. Dengan peralatan seadanya ayo kita tunjukkan hasil bidikan kita! dan hasilnya? Lumayan untuk pemula!

Hmmm, pengen ikutan nggak temen-temen kalau seandainya ada lagi pelatihan seperti ini, selain mendapakan ilmu gratis, perut kenyak karena dapet makan siang dan dapet sertifikat. Dari bocoran seorang teman juga. Kalau ikut kursus seperti ini diluar katanya biayanya 1 juta per hari. "Yang bener???" Terimakasih.. terimakasih.. terimakasih.. sudah mengikutkanku dalam pelatihan photografi ini. Hihihi... kutunggu pelatihan berikutnya, apa ya kira-kira tawarannya?

** Dengan jam terbang yang banyak, dengan sendirinya akan menambah ketrampilan dan mengasah kepekaan dalam melihat obyek yang akan diphoto.
** Siapa mau diphoto ?????

Episode Kecil di Executive Lounge Sepinggan

Kamis, 08 Juli 2010

Waktu menunjukkan pukul 10 waktu Indonesia Bagian Tengah. Masih 2 jam untuk menunggu keberangkatan pesawat Pelita Air Service ke Bontang. Tak lama terdengar panggilan untuk penumpang pesawat Citylink Garuda GA-061 tujuan Surabaya agar segera memasuki pintu A3.

Seorang bapak bersama 3 anaknya yang sama2 menunggu di executive lounge segera berdiri dan keluar melalui pintu Executive Lounge yg sepi. Sementara petugas segera memanggilnya dan meminta untuk melewati pintu A3. Sedikit percakapan yang sempat kusimak.

"Maaf Pak, mohon ke pintu A3 untuk boarding," minta petugas executive lounge.
"Wah, lewat sini juga kan nggak apa-apa!" jawab si Bapak.
"Tapi Pak, boardingnya di pintu A3," jelas si petugas.
"Ah, gampanglah itu. Nanti urusan saya. Tenang saja," jawab si bapak.
"Tapi..." petugas ingin menjelaskan sesuatu.
"Sudahlah... tak usah takut. Kalau dimarahin biar saya yang urus. Kalian tenang saja. Kasihan nih anak2 saya kalau lewat pintu sana. Sumpek," jelas si bapak lagi.

Dua petugas berpandangan, antara tak setuju dan bingung menghadapi keinginan si Bapak.
Akhirnya petugas boarding di pintu sebelah menghampiri. Si Bapak diberi keleluasaan untuk lewat situ.
Dengan jumawanya si bapak berkata, "Tolong jangan dimarahi petugas executive lounge, saya saja yang dimarahi! Saya maunya lewat sini."

Aku memandang orang2 di sekitarku, ternyata kutangkap raut mereka menyiratkan rasa heran dan prihatin melihat tingkah si bapak yang tak mau mengikuti aturan. Hahaha... sama dong dengan perasaanku. Gaya banget si bapak! Melanggar aturan kok bangga? Walaupun kelihatannya sepele, ga sadar apa anak2nya yang masih kecil melihat caranya dan menganggap hal itu wajar untuk dilakukan?

Sepinggan, 8 Juli 2010

wealaaahhh !! gak nyambung blass !!

Senin, 05 Juli 2010

Punya tetangga ayam? Wow, salah! maksudnya tetangga yang miara ayam. Terus piaraannya dibiarkan berkeliaran dari pagi sampai sore. Duh, kelakuan siayam bikin gemes, jengkel, nggonduk, pengen ngamuk, marah dan segala perasaan campur aduk. Mau marah sama ayamnya? weih gimana caranya?

Pernah punya cerita nih tentang tetangga yang miara ayam, nggak tanggung-tanggung miaranya. Ada 15 ekor ayam dewasa (hohoho seperti manusia saja, anak-anak, remaja, dewasa, tua), maksudnya ayam yang siap bertelur. Ke 15 ayam ini dilepas dari pagi sampai sore. Kebayang kan tingkah polah ayam-ayam yang tak belajar bagaimana cara bersopan santun datang ke rumah orang, bagaimana cara pup yang benar, bagaimana cara mencari makan yang benar?

Hampir setiap hari nyiram sekeliling pelataran rumah tuk bersihin pupnya kalau nggak mau tahu-tahu sandal atau kaki “clepreeet” nginjak pupnya, taneman yang baru disemai tak selamat, kebun jadi tak indah lagi karena tanahnya berantakan dikais 15 ayam, cat mobil jadi tergores kena kukunya yang tajam. Nggonduknyaaaa selangit.

Padahal sudah ada peraturan kalau tidak boleh miara binatang, selain mengganggu lingkungan dikhawatirkan juga merangsang datangnya binatang lain dilingkungan ini, seperti ular, biawak. Maklum saja disekitar perumahan sengaja dibuat hutan untuk mengurangi pencemaran udara. Tapi ya tetep saja masih ada yang miara.

Satu siang kulihat satu ayam nangkring dipot anggrekku. Wooo! langsung deh habis kesabaran selama ini, mata melotot, dahi mengkerut dan darah mendidih sampai ke ubun-ubun. Anggrek yang sudah digadang-gadang, butuh bertahun-tahun membesarkannya dan sekarang sedang berbunga kok dinaiki ayam. Jari-jari akhirnya bekerja. Kuputar no telponnya dan setelah bersapa kusampaikan maksudku.

“Ibu, maaf ya. Minta tolong ayam-ayamnya dikandangin karena sangat mengganggu saya, saat ini saja ayamnya di anggrek saya, bunga-bunga saya bisa patah bu.

“waduh bu, maaf ya. Tapi nggak bisa sekarang, paling nanti sore ayam-ayam ngumpul baru bisa saya kandangin”

Syukur deh kalau mau dikasih tahu. Dan mudah-mudahan besok akan baik-baik saja.

Akhirnya sehari berjalan dengan ketenangan, tak ada gangguan dari ke 15 ayam. Pelataran tak ada lagi hiasan "pup" berceceran, kebun tak berantakan lagi, mobil tak bertambah goresan dan anggrekku tak patah terinjak ayam-ayam. Amaaann!!

Paginya lagi, ternyat a cukup sehari saja rasa nyaman itu. Ayam-ayam kembali dikeluarkan dari kandangnya. Mau telpon lagi? nggak mungkinlah, bisa berantem nanti. Jadi ya memendam rasa saja, kusabar-sabarkan.

Satu siang lagi, ketika membuka pintu dan kumasuk diruang seterika. Dipojok ruang duduk manis seekor ayam dalam kardus. Yah, ayam mulai berani masuk rumah. Kuusir ayam tapi tetap saja tak mau bergerak dari duduknya yang akhirnya ketahuan sang ayam ternyata sedang mengerami telornya didalam rumahku. Hik hik hik... jari ini kembali memutar telepon ke tetangga.

“Ibu, tolong ayamnya ada di dalam rumah saya dan sekarang sedang bertelor. Bisa diambil ya?”

“Bu, kalau mau ambil saja telornya, nggak apa-apa kok”

Gubrak ! ini gimana sih? aku yang salah apa dia yang nggak ngeh dengan bahasaku? Ibu.... kalau cuma telor aja ya bisalah beli sepiring, nggak perlu ngambil dari ayam. Yang kumaksud itu “cepetan bu ambil ayamnya dan dikandangkaaaan!!!!!”

Prestasi

Beberapa detik terpana lihat layar computer, terus mulai mengernyitkan kening sambil berfikir : “apa ya prestasiku saat ini”

Perlu beberapa menit sampai akhirnya aku tulis ‘Juara 1 lomba menggambar tingkat TK se DKI Jakarta’ trus aku kirim ke panitia.

Setelah terkirim aku jadi berfikir, kenapa untuk menulis prestasi terasa sulit ya? Kenapa yang di tulis malah prestasi waktu masih TK? Apa aku sama sekali tidak berprestasi selama ini?

Akhirnya, sambil mendekor kue pesanan orang jam 11 malam, fikiranku melayang-layang. Kenapa sekarang ini sulit membanggakan prestasi yang pernah di raih, apa mungkin karena standar prestasi sudah bergeser, atau mungkin karena Aku sekarang terkena penyakit minder?

Pagi ini aku baca statusnya Lian di FB yang ternyata juga bingung untuk menulis prestasi. Lian ini teman ku di PTB yang sama-sama harus menulis tentang prestasi untuk kepentingan publisitas. Teman-teman yang lain dengan lancar menulis semua prestasinya. Ada yang berprestasi ikut lomba-lomba, ada yang berprestasi di bidang sosial, ada yang berprestasi di karirnya.. loh, aku kok gak berani menulis prestasi yang sudah Aku dapat selama ini.

Jadi sebetulnya, apa sih prestasi itu? Apakah pencapaian yang luar biasa yang sudah dicapai selama ini. Apa betul begitu?

Dan yang segera terbersit dalam fikiran ku adalah “Prestasi, hmm.. kapan ya aku pernah dapat piala atau piagam dalam lomba-lomba?” duh, kok ya kayaknya gak pernah. Apa kerja di perusahaan Jepang selama 5 thn lebih bisa di bilang prestasi? Ah, kayaknya nggak juga, banyak yang sampai belasan atau puluhan tahun malah. Apa menyusui sampai 2 thn bisa di bilang prestasi.. kayaknya juga nggak, karena ada yang bisa memberi ASI anak kembar sampai lebih 2 thn, dan ada juga yang member ASI diumur lebih dari 40thn.

Hadooh, jadi bingung. Apa membuat cake dan memberanikan diri jualan itu bisa di sebut prestasi? Kayaknya banyak yang lebih bagus, malah sampai buka bakery, lah… Akukan hanya bakul kue rumahan saja yang sesekali dapet order.

Semakin lama berfikir semakin aku merasa seperti katak dalam tempurung, sepertinya aku tidak terlalu 'berprestasi'. Padahal selama ini aku sudah sangat berpuas diri, nyaman, bahagia dengan semua pencapaian. Melahirkan anak, berhenti bekerja, mengurus suami, mengurus anak, mengurus rumah dan sekarang mulai mencoba-coba berbisnis kecil-kecilan. Sangat puas.

Tapi, apa itu semua prestasi? Mana pialanya? Mana sertifikatnya? Kata siapa itu prestasi?

Sampai akhirnya, setelah puas bermain-main dengan fikiran didapat kesimpulan bahwa Aku sedang minder secara psikologis.. hah? Minder? Aku? Iya, bener minder.
Sebabnya mungkin sepele, karena fikiran tentang prestasi itu masih seperti waktu muda dulu. Waktu prestasi itu diukur dengan jabatan, dengan piala, dengan nilai akademik. Sekarang, sebagai ibu rumah tangga, ukuran prestasi tentu saja tidak bisa seperti itu. Iya kalau aku rajin ikut lomba-lomba dan menang, kenyataannya aku sudah jarang ikut lomba-lomba. Tidak pernah malah. Aku terlalu sibuk dengan urusan rumah tangga. Eh, pernah deh ikut lomba tangkep belut dan menjadi juara ke 3 waktu 17-an di Taman Kota ha..ha..ha..
Eniwey, sepertinya aku juga terjangkit ‘Penyakit ibu rumah tangga pada umumnya’ yaitu - mengutip kata Bu Winny – profesi sebagai ibu rumah tangga dirasa gak keren, gak membanggakan dan biasa-biasa saja. Dan keberhasilan membuat anak-anak sehat, terawat, lincah, pinter atau membuat rumah terlihat nyaman dan enak ditinggali itu semua dianggap sepele dan bukan prestasi. Di KTP saja ditulis Pekerjaan : Nurut Suami.. laahh.. pelecehan, emang kita gak ada kerjaan apa ikut-ikut suami?
Dan penyakit ini bisa semakin parah bila ibu rumah tangga seperti ku mulai melirik-lirik prestasinya teman yang mulai naik jabatan ini dan itu .. hadooohhh.. semakin terpuruk saja. La wong profesi ibu rumah tangga itu gak bakalan naik jabatan, sudah mentok tok di level itu saja.

Tapi, syukur alhamdulillah penyakit kronis itu segera pergi dari fikiran ku bersamaan dengan selesainya menghias cake pesanan orang.
Kesimpulannya prestasi seseorang itu gak bisa lagi dilihat dari banyaknya piala yang didapat, banyaknya sertifikat yang dihasilkan atau tingginya jabatan dikantor karena prestasi itu bisa juga berarti keberhasilan untuk bisa berbagi dengan sesama, bisa berguna untuk lingkungan atau bisa membuat hari ini lebih baik dari hari kemarin.
Akhir kata, sekarang dengan berbangga hati aku bisa menulis prestasi untuk diserahkan kepanitia sebagai berikut :

1. Menjadi pemilik Rumah Teladan Se-Komplek taman Kota Bekasi, tahun 2008
2. Memutuskan untuk berhenti bekerja demi menjadi ibu rumah tangga seutuhnya
3. Membuat cerpen dan membacakannya di acara HUT PWP tahun 2010
4. Menjadi pemilik, pengelola, pemegang saham, karyawan dan kurir Vini’s Cakery & Chocolate

Cukup berprestasi bukan? ^^v

Hueekkk....!! Hueekkk...!!

Jumat, 02 Juli 2010

Jalan-jalan ke Samarinda? Mabok’an nggak? kalau nggak ya amanlah selama perjalanan, kalau mabok’an musti disiapkan dengan serius perjalanannya. Bantal, minyak kayu putih atau balsem untuk bloyoan, obat anti mabuk dan uang receh untuk kerokan. Jaga-jaga aja kalau sampai ditujuan “ambruk”.

Berhubung diriku mabok’an, otomatis siap dong dengan segala sesuatunya (mabok aja sombong!) saat ada janji sama orang imigrasi jam 9-10 pagi (siap-siap aja kalau diajak jalan-jalan keluar negeri, ngarep). Perjalanan ditempuh 3 jam (kelamaan ya?), tapi ya emang 3 jam, kalau kurang dari 3 jam berarti ngebut, buntut-buntutnya mabuk darat tak bisa dihindari dan perlengkapan yang dibawa kepakai semua, ya obat gosoknya, ya uang recehnya, ya bantalnya. Lemes, pucet dan dingin sekujur badan.

Rencana berangkat jam 6 pagi supaya perjalanan bisa agak santai. Tapi karena bawa anak-anak yang persiapannya lamaaaa akhirnya tertunda sampai jam 7 lebih, baru berangkat. Minum obat sebelum berangkat menjadi kewajiban kalau nggak mau ditengah jalan KO. Dan bener saja selama perjalanan aman saja malah bisa disambi ngerajut, lumayan dapet 4 bulatan (sombong karena nggak mabok). Mampir ngisi bensin dulu seratus ribu biar berangkat & pulang aman.

Sampai di kantor imigrasi, mbak Mega yang ngurusin paspor sudah mengantrikan untuk foto. Dapet no 32,33,34,35 dan yang barusan dipanggil no 26, lumayan tidak perlu menunggu lama lagi. Saat menunggu antrian suami mencandai bungsuku tapi dengan nada serius.

“Nanti kan dipanggil satu-satu nggak boleh ditemeni, nah nanti kalau ditanyain harus dijawab yang bener. Gini contohnya, namanya siapa? nama bapaknya siapa? tanggal lahirnya kapan? nggak boleh salah jawabnya, nggak boleh nangis”

“Iya dik, nanti juga ditanyain kenapa bikin paspor? trus NEMnya berapa?” kataku juga dengan serius.

“Ah, masak sih sampai ditanyain NEMnya?”

Akhirnya giliran kami dipanggil. Udah canggih lho sekarang ngurusnya. Fotonya sudah langsung jadi, diprint di berkas-berkas yang kudu ditanda tangani dan cap jarinya sudah nggak butuh tinta lagi. Katanya sih sudah sejak 2006. Wah ketinggalan jaman.

Selesailah mengurus dan tanda tangan di paspor, tinggal menunggu jadinya yang katanya dua hari lagi akan dikirim ke kantor suami. Giliran sekarang bayar ke agen yang ngurus paspor.

“Karena bapak yang bisnis nanti akan dibayar kantor, untuk ibu dan anak-anak per orangnya enam ratus lima puluh ribu”

Weit, mahal ya? meski sehari sebelumnya udah dikasih tahu suami masih saja berat membayar dua juta kurang lima puluh ribu. Apa ini memang udah harga patoknya ya?

Sulungku juga sedang mengurus paspor di Bandung dengan menggunakan agen travel, anehnya untuk setiap pelayanan beda harga, kalau yang sehari tujuh ratus ribu, yang tiga hari lima ratus ribu yang seminggu tiga ratus ribu. Karena nggak buru-buru dipakai, ya udah ngambil yang seminggu aja, ngirit. Perbedaan harga ini, uang apa ya? Uang percepatan ya?

Masih ada waktu tuk jalan-jalan sampai jam 3 sore, supaya sampai rumah tidak kemaleman. Seperti rencana sebelum berangkat. Anak-anak minta dibelikan sandal dan sepatu. Ya hayuk ke mall aja sekalian makan. Sebelum makan mampir dulu nyari film, belilah beberapa film dan habis tujuh puluh ribu. Hmm, pengeluaran tak terencana.

“Bakso komplit” pintaku karena liat gambarnya yang isi mangkuknya komplit

“Mie ayam jamur” kata bungsuku

“Kwe tiow goreng” kata anakku no 2

“Ifo mie” kata suami

Bagus.. bagus..! kalau pesennya beda, bisa saling comot. Minumnya ?

“Juice mangga” kataku

Mama ini, dimana-mana kok pesennya juice mangga. Hampir semua serempak mengomentari pesananku.

“Ya biar aja to, kesukaannya kan sendiri-sendiri. Nggak boleh ada yang minta lho ya..”

Akhirnya dimeja tersaji minuman juice mangga, juice melon, es capucino, teh anget, wedang kopi. Dalam sekejap selesailah acara makan dan giliran bayar. Didepan kasir aku merogoh dompet sambil menghitung-hitung berapa kira-kira habisnya?

“Seratus dua belas ribu bu” kata mbak kasirnya

Weitt, makan siang berempat kok ya lebih dari seratus ribu. Kami berjalan ke toko sepatu mencari sepatu sekolah dan kaos kakinya. Kumpulin nota dan giliranku lagi berdiri di depan kasir.

“tujuh ratus dua puluh lima bu”

Weitt, lembaran uang seratus ribuan terpaksa dikeluarkan dari dompet. Hik hik hik, kok banyak ya... Belum beli sandal lagi, habis berapa lagi ya? Suami menunggu di depan toko. Anak-anak memilih sandal, aku hanya mengamati. tidak ikut-ikut memilihkan, nanti kalau dipilihkan malah sampai rumah nggak kepakai karena nggak sesuai keinginan. Agak lama juga memilih sandal.

“Ayo, kalau memang nggak ada kita pindah ke toko yang lain” kataku saking lamanya menguplek-uplek deretan sandal yang nggak kepilih-pilih.

“Udah kok, lagi diambilin sebelahnya”

Udah cocok semua, giliranku lagi berdiri di kasir membayar tiga ratus enam belas sedang anak-anak menunggu sandalnya dibungkus.

“Mual perutku” kataku ke anak-anak

“Kenapa ma?”

“Mau muntah”

“Lhoh kok tiba-tiba mau muntah?”

“Iya, mau muntah karena ngeluarin duit yang segitu banyaknya seharian ini”

“Yeee, mama. Siapa yang nawarin beli sepatu”

“Iya, nggak apa-apa kalau memang diperlukan dan juga nggak setiap saat beli. Cuma ya hueekkk...! aja ngeluarin segitu banyaknya dalam sekejap”

Semua yang direncanakan untuk dibeli sudah didapat. Saatnya pulang, tapi mampir dulu ke masjid untuk sholat dhuhur dan ashar dijamak. Pilihan jatuh ke masjid pojok depan mall lembuswana karena searah mau pulang. Keadaan agak berantakan sih karena sedang renovasi salah satu gedungnya. Tapi untuk tempat wudlu masih aman.

Setelah selesai sholat, kembali semua naik ke mobil. Mesin mobil dihidupkan dan kata suami tiba-tiba,

“Sudah ini, mampir ke Lembuswana nggak?”

“Tidaaaakkk” kataku secepatnya sebelum didahului anak-anak dan sebelum aku bener-bener hueekk...!

Bundaku Wanita

Kamis, 01 Juli 2010

Oleh : Maria Olfa

Bundaku adalah seorang perempuan tangguh yang tak pernah lelah mengasuh dan membesarkan kami kelima anaknya. Mama, begitulah bisanya aku menyebut bunda, beliau adalah anak pertama dari sepuluh bersaudara, lahir dan besar di Kota Baru, Kalimantan selatan. Masa kecil bunda dilalui dengan riang dan gembira karena konon hidupnya bak putri raja yang kebutuhannya selalu terpenuhi, maklum cucu kesayangan juragan kampung yang memiliki berhektar-hektar tanah dan kerajaan kecil di Kalimantan Selatan. Tapi, itu tidak menjadikan bunda cucu yang sombong bahkan manja dan pemalas, bunda dididik sangat keras oleh nenek, “ nggak ada yang gratis di dunia ini, semua yang kita dapat itu karena usaha, jadi kalau kamu mau sesuatu, kamu juga harus usaha” begitu petuah nenek yang juga dipetuahkan oleh kakek buyut, wasiat turun temurun. No wonder kakek bisa mendapatkan segalanya termasuk mempunyai istri lebih dari satu he he. alkisah kakek adalah bangsawan dan pedagang terkenal di jaman itu, siapa yang tidak kenal dengan Sulaiman, namanya saja seperti raja dan nabi sulaiman, keberuntungannya pun juga menyerupai kakek buyut. tapi beliau tetap panutan masyarakat yang bersahaja, rendah hati dan tidak sombong bahkan kakek buyut tidak pernah tahu jumlah kekayaannya, beliau hanya tahu bekerja dan mendapatkan sesuatu dari hasil keringatnya, tanpa beliau sadari harta kekayaannya bisa saja menghidupi 7 turunan, he he, konon katanya begitu.

Bunda dibesarkan oleh kakek, jadi watak keras dan jiwa pekerja kerasnya, bunda pelajari dan aplikasikan. Bunda tidak pernah minta uang saku ke kakek buyut kalau bunda mau sekolah, tapi bunda menjual hasil kebun kakek, Bunda membawa anak-anak cowok disekolahnya, dan menitahkan mereka untuk memanjat kelapa sawit atau aren atau apapun yang ada di kebun itu, lalu membawanya ke pasar dan menjualnya, lalu hasil penjualan dia bagi rata 50;50, 50 persen untuk bunda seorang, karena bunda si empunya barang, dan 50 persennya untuk kelima temannya. entah kakek tahu atau tidak mengenai business terselubung bunda, (wah bunda sudah tahu korupsi di jaman itu, he he)

Dengan latar agama yang cukup religi, kakek buyut mendidik semua anaknya dengan fondasi agama yang sangat kuat, pun nenek mengajarkan bunda demikian, bisa dikatakan bahwa keluaga kami adalah keluarga beragama yang sangat religious.

Saat bunda berusia remaja, 15 tahun, bunda sudah tamat dari sekolah PGA (pendidikan guru agama), bunda harus ikut serta nenek dan kakek merantau ke Kalimantan Timur, kakek buyut telah meninggal, dan meninggalkan wasiatnya sebagian untuk disumbangkan, sebagian lagi untuk ke enam anaknya. Kakek, suami nenek, tidak pandai berdagang, berkali-kali usahanya selalu gagal dan tidak mendapatkan keuntungan tapi kerugian, buntut punya buntut selalu gulung tikar, yang terakhir kakek coba adalah berdagang kain dan tekstil, again and again kembali gagal, uang wasiat dan harta perhiasan bagian nenek dari kakek buyut, tak urung jadi santapan modal dagang kakek yang tidak pernah balik keasalnya, kalung emas dan mata kalung berlian bermata hijau saja yang tersisa.

Petualangan kakek nenek dan bunda, diawali pada saat sesudah kemerdekaan. kata kakek itu adalah jaman gerombolan, kakek dan nenek berlayar hingga ke Kalimantan Timur dengan membawa sekarung uang, berhari-hari bahkan berminggu-minggu waktu yang dihabiskan di lautan, sehingga tidak tahu perkembangan saat itu, Negara kita lagi terpuruk dan benar- benar kritis apalagi bidang perekonomian saat itu, nilai rupiah jatuh drastis, nilai seribu menjadi satu rupiah.

Setelah mendekati daratan, kakek mendengar kabar tentang jatuhnya nilai rupiah, pada saat itu kakek begitu kesal dan bertindak bodoh, beliau membuang semua uang yang dibawa dalam karung dan dihemparkan ke lautan. Fyuh…alhasil kakek dan nenek beserta bunda dan kedua adik bunda yang masing-masing berusia 5 dan 2 tahun jadi terlunta-lunta di kota orang.

Dengan berbekal kegigihan dan kemantapan merantau ke kota lain dengan maksud untuk mengubah nasip, mereka dapat juga bertahan di Balikpapan, Kalimantan Timur. yah karena mereka orang baik, nasip merekapun selalu baik, mereka bertemu dengan keluarga baik hati perantau dari Sulawesi Selatan. Mereka tinggal di tempat orang Sulawesi itu. Bunda ikut membantu kakek nenek, kerja sebagai buruh jahit untuk perusahaan tekstil, bekerja di pasar, mengupas bawang merah-putih, dan dibayar perhari setelah pekerjaan selesai, dan bantu-bantu jadi asisten chef alias koki yang punya warung kecil-kecilan. Yah lumayan, bayaran harian yang dikumpul bunda bisa menghidupi mereka sekeluarga dengan kemandirian.



***

3 tahun berlalu bunda telah berusia matang 18 tahun, di jaman itu sangat langka melihat perempuan yang belum menikah di usia demikian, kakek nenek akhirnya memutuskan bunda untuk menikah, karena takut dibilang perawan tua. Saat itu bunda banyak pertimbangan, karena katanya bunda masih memikirkan teman kecilnya dulu, si cinta monyet yang dibelakang hari sukses jadi tukang minyak di salah satu perusahaan minyak terkemuka di Indonesia.

Bunda dinikahkan ( masih trend siti Nurbaya nih) dengan seorang guru ngaji yang Cuma lulusan SR alias sekolah rakyat, mungkin sebanding dengan SD saat ini, tapi berbasik dengan agama yang kuat, dan bunda juga patuh terhadap kakek nenek, pernikahanpun terlaksana.

Abah ( panggilan kami untuk seoarng bapak), suami bunda adalah keturunun Sulawesi Selatan, abah dan ibunya konon melarikan dari himpitan gerombolan dan berlayar ke Kalimantan Timur, Ayah abah terbunuh saat itu. Hingga ketakutan Nenek (ibu Abah) semakin memuncak dan bermodalkan kekuatan membawa abah yang saat itu baru berusia 8 tahun dan adik abah yang berusia 4 tahunan ke kapal layar dan berlayar dengan membawa selembar kain di badan saja. Padahal konon, Nenek adalah keturunan bangsawan yang disegani di Sulawesi Selatan, Gelar kebangsawananpun dibuang begitu tiba di Balikpapan, Daun Lontar silsilah keturunan dan saksi sejarah dititipkan ke paman yang merantau ke Pulau Jawa. Nenek hidup dengan sangat sederhana menghidupi ke dua anaknya dengan berdagang kopi. Kulit nenek yang putih bersih dan terawat dalam sekian tahun hanya meninggalkan pekat dan noda hitam akibat kopi yang jadi teman hidup nenek saat itu. Nenek berhubungan baik dengan Keluarga dari Sulawesi yang membantu kakek nenek dari bunda waktu tiba di Balikpapan. Yah jodoh memang tidak kemana-mana. Begitulah awal perjodohan di mulai.

***

Menikah, bukanlah solusi untuk keluar dari masalah himpitan ekonomi, itu juga tidak menghentikan serpak terjang bunda yang gigih, tetap saja bunda mengais rejeki membiayai kelima orang anaknya sendiri dan kesembilan adiknya, wah hebat bukan, yah abah memang hanya seorang guru ngaji yang bekerja tanpa pamrih dan mendapat rejeki jika ada yang menyumbang atau berzakat ke rumah, abah sempat bekerja jadi buruh lilin dan buruh minyak dan mau dipegawaikan saat itu, tapi abah menderita sakit kuning akut dan hampir merenggut nyawanya. Jadilah abah seorang hamba sahaya, guru ngaji, imam masjid dan hingga anak bunda yang ke lima, adik saya lahir, barulah abah benar-benar bisa mendapatkan penghasilan layak bukan dari hasil kasihan orang-orang tapi dengan menjadi seorang penghulu, kurang lebih 25 tahun abah berkiprah di Pengadilan Agama sebagai pegawai yang membantu pemerintah tanpa status pegawai, karena hanya sebagai pegawai swasta saja. Nasip nasip, tidak ada duit pensiun di masa berakhirnya kontrak abah dengan KUA L

Walau demikian abah dan bunda hidup dengan keharmonisan, kami tidak pernah terlunta-lunta dan hidup dalam kemelaratan, kami pun di sekolahkan hingga perguruan tinggi. Berbagai macam usaha yang digeluti bunda untuk membantu abah sebagai kepala keluarga dari buka usaha rumah makan hingga salon kecantikan, Alhamdulillah hasil kerja keras bunda selain dapat menghidupi kesembilan saudara dan 5 anaknya, cukup pula membeli sebuah rumah sederhana yang letaknya dekat dengan pantai, dan sebuah rumah sederhana lagi terbuat dari kayu dan berada di atas laut. Bertahun-tahun kami hidup di sana, jadi kami sudah tidak asing lagi dengan hawa laut, tapi anehnya saya tidak bisa berenang dan tidak suka makan ikan laut, menciumnya saja bisa membuat kepalaku pusing dan mabuk.

***

Perjuangan dan ketangguhan bunda, sebagai wanita pekerja keras akhirnya terhenti di usia bunda 43 tahun, kurang lebih 15 tahun lalu, bunda terserang tumor ganas, awalnya sih hanya penyakit wanita biasa saja, berawal dari keputihan lalu menjadi butir-butir kecil seperti pasir di dinding rahim dan kemudian di diagnose sebagai tumor jinak, berbagai pengobatan alternatif dijalani oleh bunda, tapi tidak menghentikan rasa perih dan sakit yang luar biasa di setiap malamnya, bunda tidak pernah mengeluh malah dia selalu tersenyum dan memancarkan wajah berbinar setiap pagi dan melakukan aktifitas setiap hari. Dia tidak kenal lelah dan cinta sekali bekerja, tangannya tidak pernah berhenti bergerak, kakipun tidak pernah diam di tempat. Berbalik dari sejarah keluarga bunda yang tidak lama bertahan hidup setelah operasi, terkecuali nenek yang bisa bertahan hidup 15 tahun setelah 2 kali operasi tumor di perutnya, bunda memutuskan untuk tidak menjalani operasi pengangkatan tumor yang saat itu sudah stadium 4 dan ada kemungkinan menjadi kanker dan hanya bisa bertahan dalam 4 atau 5 tahun lagi.



Bunda lebih mengikhlaskan diri dan tawakkal pada keputusan ilahi robbi, dengan melakukan usaha selain operasi secara conventional dan modern, dari operasi gaib, mendatangkan kyai hingga minum jamu-jamu herbal, Alhamdulillah, itu tidak menyembuhkan tapi paling tidak mengurangi rasa sakit.

Setelah 5 tahun terlalui dari vonis kematian sang dokter kandungan, bunda kini tampak bugar, tidak pernah lagi terjaga setiap malam dan menangis menahan sakit di saat yang lain tertidur pulas dan terkapar, saya pernah menjadi saksi kesakitannya, tapi ku tak bisa bergerak dan tidak tahu harus bagaimana, bunda memang tegar, dia berusaha untuk tampil kekar, meskipun badannya tidak lagi bugar dan segar, bunda tidak ingin melihat kami khawatir, memang benar kami bahkan tidak bisa berfikir bagaimana meringankan sakitnya, ujian ilahi robbi untuk bunda benar-benar luar biasa, ujian ini dapat dilalui dengan bunda hingga sekarang, dia tidak pernah mengeluh sakit di sekitar perutnya, sudah lama penyakit itu tidak kambuh, tapi karena usia yang tidak lagi muda, dan efek dari tidak diangkatnya tumor itu, mengakibatkan penyempitan di beberapa bagian tubuh, sering kali ia terlihat menahan sesak nafas, kakinya gemetar dan tidak kuat lagi berdiri, sakit punggung, pinggang, tangan, bahkan jari-jarinya acap kali menjadi kaku, pernafasannyapun terkadang tertahan.

Bunda, kami berterima kasih atas didikan ketangguhan dan arti wanita sesungguhnya, wanita itu tangguh lebih tangguh dari pria, wanita itu juga jauh lebih tegar dari pria, wanita juga jauh lebih mulia, Now i know mengapa dalam satu riwayat dikatakan ibu adalah lebih mulia dai ayah, 3 dibandingkan satu, memang benar adanya, syurga itu ada di telapak kaki ibu, karena menjadi ibu itu adalah pekerjaan yang tidak mudah, jadi berbanggalah wahai kau kaum ibu, derajatmu, harkatmu bahkan martabatmu insya allah akan terangkat karena keikhlasan dan kemulianmu. I luv u Bunda, and that’s the way I Love my child later.

***

”Al-Ummu madrasatun idza a’dadtaha ‘adadta sya’ban tayyibul ‘araq” maknanya “seorang ibu adalah sebuah sekolah. Jika engkau persiapkan dia dengan baik maka sungguh engkau telah mempersiapkan sebuah generasi yang unggul”.

 
♥KALAM IBU-IBU♥ - by Templates para novo blogger