Maaf Untuk Sahabat

Sabtu, 17 April 2010

Oleh : Irvina Legowo


Kalau lagi duduk begini, eh tiba-tiba ada telpon berdering berulang-ulang, jadinya penasaran ya? Siapa ya yang telpon, buru-buru deh diangkat.
“Halo… assalamu’alaikum. Jeng, lagi ngapain nih?” siapa yang menelpon.
“Yah iya Ajeng lagi di telponkan? Maaf, ini siapa ya?” kata Ajeng.
“Wah Ajeng, masak sih lupa denganku,” kata yang telpon. “Aku SETRINOLA. Lupa ya?”
“Nah iya, baru aku ingat,” kata Ajeng. “Maafkan aku ya Nola, habis suaramu itu lho, bagus banget gitu lho… aku jadi grogi dengernya.”
“Ih… kamu ada-ada saja,” kata Nola. “Yah…. Maklumlah aku kan artis,” kata Nola bercanda.
“Oh iya,” kata Nola “Besok main ke rumahku ya Jeng. Ada sedikit rejeki nih,” kata Nola. “Yah pokoknya ke rumahku ya… Kira-kira pukul 11 pagi lah… Ditunggu ya?!”
“Insyaallah ya, Ajeng gak janji ya, mudah-mudahan bisa. Trimakasih ya Ajeng diundang. Yok ya… sampai besok.”

Rasanya waktu cepat sekali berjalan, Ajeng rasanya kok malas banget ya mau pergi, lagi gak mood gitu. Tapi kan hari ini ada undangan makan-makan di rumah si SENTRINOLA. Ah… nanti kalau sudah ngumpul-ngumpul pasti rame banget deeh… Pasti kaya pasar malam gitu. Hm.. gimana ya, pengennya siih gak pergi saja. Sudah ada rasa bosan sih. Kalau Cuma ngobrol-ngobrol apa ngerumpi gitu. Ada rasa keinginan mengurangi ngerumpi gitu. Lebih baik waktuku kuhabiskan pergi dengan suami. Malah enak berduaan, kaya dulu lagi waktu masih menjalani persahabatan gitu lah… Ya serasa lebih tenang apabila bisa pergi jalan sama suami.
Tak lama, lagi duduk termenung, eh… ada suara telpon lagi, kuangkat gagang telpon. Suara Nola yang keras mengharapkan kehadiranku.
Kata Nola, “Ajeng, kau dah ditunggu nih sama temen-temen, kami sudah ngumpul.”
Aku dengan santainya menjawab, “Okelah kalau begitu.”


Dengan santai Ajeng melangkahkan kaki, tiba-tiba ada yang memanggil dari kejauhan.
“Ajeng… Ajeng, tunggu sebentar. Ayo kita pergi sama-sama aja.”
Ajeng menoleh, ah… ternyata Frida. “Oh… boleh deh kita bareng ke rumah Nola. Dengan senang hati… yuk sama-sama.”
Ajeng berkata pada Frida, “Mbak Frida, Ajeng gak bisa lama-lama nanti di rumah Nola. Alif anak Ajeng sebentar lagi pulang dari sekolah, lagian sebentar lagi para suami pada pulang kerja tuk istirahat siang kan?”
“Iya Jeng, “ kata mbak Frida. “Saya juga tidak bisa berlama-lama di sana, kebetulan mau ada acara keluarga juga.”

Ceritanya kami (Ajeng dan mbak Frida) sampai di kediaman Setrinola, alhasil di sana (di rumah Setri) dah pada ramai, udah ngumpul semua, ya heboh juga. Kedengarannya seru banget deh, entahlah apa saja yang diobrolin. Ajeng ya ikut gabung sajalah, yang penting kan sudah sampai di rumah Nola.
“Yuk kita santap hidangan yang telah disediakan!!” Alhamdulillah nikmatnya.

Semua cerita kemarin sudah Ajeng lalui, sekarang waktunya pergi ke pengajian rutin Jum’at siang. Alhamdulillah disempatkan saja dulu, kan lanjutan minggu lalu masih dibahas. Wah, panasnya hari ini sangat menyengat sekali, membuat semua orang tidak ingin ke luar rumah. Apalagi siang begini. Mending juga di dalam rumah, tidur siang. Tapi Mas Bowo berkata pada Ajeng, “Lho Jeng, kamu gak pengajian ya?” kata suami Ajeng, “Biasanya Ajeng kan pergi ke pengajian siang. Kok tidak siap-siap?”
“Ah, Ajeng lagi gak semangat nih mau pergi. ‘Ngantuk’ dah gitu panasnya bukan main nih lho, mending santai saja dulu,” kata Ajeng dengan penuh kemalasannya.
Tapi kalau Ajeng malas, wah pasti yang hadir semakin sedikit saja.
Ajeng jadi teringat acara di rumah Nola kemarin ya, wah orangnya yang hadir banyak, kata mbak Frida kemarin. Coba ya kalau pengajian orangnya sebanyak ini, bagus juga. Tapi giliran Cuma ngobrol saja ramainya bukan main. Yah… ibarat kata cuma ngobrol yang gak manfaat juga, ah…. CAPEK DEEH…
Tapi ya sudahlah, semua orang kan beda-beda sih, kalau kefikiran positif seperti mbak Frida, ya semakin baik saja manusianya.
Dengan penuh semangat, bagai semangat juang begitu, kulangkahkan kaki ini menuju masjid. Sampainya di sana (maksudnya masjid) kujumpai beberapa ibu telah hadir, duduk rapih sambil menunggu Pak Ustadz.
“Assalamu’alaikum wr.wb.” sapa Ajeng pada ibu-ibu.
Tiba-tiba ada yang memanggilku (Ajeng), “Hai Jeng, wah tahu gak siih kamu,” kata mbak Eta yang memanggilku.
“Iya?!” kataku, “Memangnya ada apa mbak Eta?”
“Sini dulu, ada sesuatu yang ingin kuceritakan padamu. Kemarin, di acara rumah Nola hampir saja aku (mbak Eta) mau tawuran (alias bertengkar) dengan Nila. Gini ceritanya,” kata mbak Eta.
Setrinola yang empunya acara berkata sambil bercanda, “Hayo… siapa yang mau ikutan gabung dengan grup kita yang hobby jalan alias shopping, dipersilahkan saja daftar pada mbak Eta. Beliau yang jadi ketuanya.”
“Oh… iya… gitu ya?” kata mbak Eta.
“Oke, boleh juga lah, tapi…” kata mbak Eta lagi “Ada syaratnya lho kalau mau gabung bareng kita, syaratnya antara lain : sekali-kali harus mau traktir, lalu tidak suka ngambek, sama-sama jangan pelit-pelit.”
Nah lho?? Rupanya ada yang tersinggung dengan perkataan mbak Eta, yaitu si Nila. Wah terjadilah perdebatan sengit di rumah Nola, yang mengakibatkan hubungan persahabatan jadi permusuhan, gara-gara omongan “celetuk-celetukan” yang kalau difikir tidak bermanfaat, yang ada jadi tidak ingin bertegur sapa lagi.

Dalam hati Ajeng, untung saja Ajeng cepat pulang, sehingga tidak mengerti alur cerita mereka. Namun disayangkan sekali pertemanan mereka jadinya renggang. Ajeng pun tak habis fikir, tak kebayang kalau terjadi pada diri ini, kira-kira mau bersabar gak ya menghadapinya. Sayang sekali ceritanya sangat simpang siur. Ternyata di balik cerita itu semua, memang ada omongan yang membuat Nila tersinggung.

Nila pun ada bercerita pada Ajeng. Kami bertemu secara tidak sengaja di acara perayaan ulang tahun Nanda putranya mbak Yola.
Cerita Nila dengan wajah yang tegang, marah sepertinya, raut wajahnya yang terlihat tidak ceria, dengan penuh api di kepalanya (bagaikan naga yang ada api di kepalanya), dengan logat khasnya, “Jeng,” kata Nila. “Dengar tidak cerita Nila dan Mbak Eta? Hampir saja terjadi pertengkaran sengit,” kata Nila.
“Oh… ya??” kata Ajeng. “Apalah yang terjadi?” Ajeng pura-pura tidak tahu. Padahal sudah tahu dari mbak Eta, tapi Ajeng makin penasaran, apa sama ceritanya dengan yang dikisahkan mbak Eta. Dengan penuh keheranan Ajeng menatap wajah Nila yang masih berekspresi marah dan merah. Wah, Ajeng jadi ngeri juga jadinya.
“Mbak Eta menyinggung perasaan saya, sebenarnya sudah lama saya menahan kesabaran ini, tapi hari itu perasaan saya sudah tidak tahan lagi Jeng, saya sudah panas di dada ini. Emosi saya sudah naik sampai di ubun-ubun,” kata Nila.
“Padahal saya sudah tidak pernah mengganggu ataupun menyindir siapapun,” kata Nila. “Tapi kenapa saya terus yang disinggung, yang katanya saya ini membeli sawah yang dananya dari mana, membelinya secara tunai atau secara bertahap, lalu sampai saya beli sapi pun dananya dari mana. Sebenarnya kan itu urusan saya, bukan urusan siapa-siapa. Yang mau saya, saya beli saya, kok orang lain yang pusing. Yang jelas Nila betul-betul tidak terima diberitakan seperti itu, kesal,” katanya.
Nila pun terdiam sejenak, setelah bercerita. Lalu Ajeng berusaha menenangkan Nila.
“Sabar ya Nila, namanya juga omongan, tapi Nila tahu berita itu darimana?” kata Ajeng pura-pura tidak mengerti.
“Ah, ada yang menyampaikannya ke saya,” kata Nila.
“Oooooh…. rupanya Nila dapat cerita ini ada yang menyampaikan?” kata Ajeng sambil matanya agak setengah melotot dan terkejut. Dalam hati Ajeng, siapalah orang yang senang menyampaikan berita yang tidak penting ini, kalau difikir ini kan hanya berita kurang kerjaan aja. Kok jadi pusing gitu. Alhasil cerita-cerita, ternyata yang suka menyampaikan cerita-cerita itu adalah teman Nila juga, teman mbak Eta juga. Dan Ajeng pun kenal sama orang ini. Judulnya mungkin mau diadu domba gitu.
Ah… ha… sampai hati juga orang ini, sudah lamanya mereka bersahabat, kok jadi merusak, kelihatannya dan kedengarannya memang hobinya seperti itu. Sementara Nila punya watak keras, kalau berbicara keras, itupun kadang kalau sudah dengar dia dibicarakan, semakin emosi saja. Sayangnya Nila ini orangnya terlalu mudah percaya dengan kata-kata orang yang senang menyampaikan. Tanpa fikir panjang lagi, Nila menuduh langsung bahwa mbak Eta yang berkata, padahal siapa tahu mbak Eta tidak berbicara begitu, takutnya orang yang menyampaikan itu yang ngomong. Mbak Eta juga watak keras. Tapi menurut Ajeng, ya setahu Ajeng sih, mbak Eta tidak pernah ikut mau tahu urusan orang. Setahu Ajeng, mbak Eta orangnya cuek.
Dari kesimpulan cerita itu, yang ada Ajeng hanya bisa iut sedih dan prihatin saja sih. Dengan senyum hangat berkata pada Nila, “Ajeng ngerti kok perasaan Nila sedang sedih, sakit hati, tersinggung dengan perkataan yang tidak enak didengar. Mohon maaf ya Nil, Ajeng sih tidak bermaksud ikut menasihati. Namun lebih baik hal-hal yang kira-kira kurang bermutu untuk dibahas, lebih baik dicuekin sajalah, diabaikan saja, didiamkan saja, biarkan saja yang menyampaikan yang membahas. Nila mending cari aja cerita lain, dan katakana saja sama yang menyampaikan, ah… biar sajalah saya mau dibilangin apa ‘masa bodo’ yang penting saya tidak mengganggu orang. Bereskan Nil? Katakan NO COMEN… gitu lho.. Nila…?? Jangan dipikirkan!” kata Ajeng memberi semangat pada Nila.
Tapi dasar Nila yang berwatak keras, tetap ngotot saja. Malah menjawab, “Ah, saya tidak minta makan juga sama mbak Eta.” Makin emosi saja kayaknya.
Tanpa fikir panjang, Ajeng berlalu saja dari Nila, capek ngadapin manusia keras hati, keras kepala pula, susah juga mau ngajak bicara baik-baik.
Yaah…. Mau bagaimana lagi apalah harapan ingin meredam emosi, maunya saling berdamai, tapi di antara kedua sahabat ini hanya mempertahankan kebenaran masing-masing, malah tidak ingin bertegur sapa, kata mereka. Sementara orang yang suka nyampaikan berita, santai tanpa kata dan sepertinya kayak tidak berdosa gitu. Itulah lidah, kalau kata-kata sudah tidak sopan bisa memperburuk keadaan, bisa merugikan diri sendiri. Padahal ada kata-kata tentang persahabatan, begini katanya:


Sahabat adalah, Dia yang menghampiri ketika seluruh dunia menjauh.
Karena persahabatan itu, seperti tangan dan mata.
Saat tangan terluka, mata menangis.
Saat mata menangis, tangan menghapusnya.

Kalau begitu tolonglah kita sebagai sahabat ‘mungkin’ sama-sama menjaga perasaan, pengertian dalam suka maupun duka. Kalaupun ada kekurangan mohonlah dimaafkan, manusia ada juga punya rasa khilaf. Allah saja memaafkan umatnya apabila ada kesalahan, apalagi kita yang hanya manusia yang banyak kurang kesempurnaannya.

0 komentar:

 
♥KALAM IBU-IBU♥ - by Templates para novo blogger