Kamis, 01 April 2010
Oleh: Silvany Putri Sinatra
Pada bulan Desember tahun lalu seorang teman kuliahku sewaktu di kampus dulu mengirim email kepadaku. Isi emailnya bukan kata-kata say hello yang pada umumnya dikirimkan seorang teman yang telah lama tak berkirim kabar, melainkan ucapan terimakasihnya yang tak terhingga kepadaku atas sebuah game yang kumainkan kepadanya sekitar 4 tahun lalu. Ia juga meminta maaf karena setelah sekian tahun, baru sekarang berterimakasih padaku. “Karena kita sedang memperingati hari Ibu aku jadi teringat ibuku dan kamu Van,” tulisnya. Tentu saja aku bingung, game? Game mana pula yang aku mainkan untuknya dan mengapa untuk sebuah game yang aku sendiri tak ingat begitu berarti baginya yang menurutnya game itu telah menyebabkan runtuhnya tembok tinggi yang selama ini menjulang antara dirinya dan ibunya, yang menyebabkan rasa benci di hati berubah menjadi cinta, hati yang sebeku es menjadi cair. Sedahsyat inikah pengaruh dari game itu? Aku bertanya bingung dalam hati. Langsung saja kureply email itu dengan bertanya lebih detail, apa maksudnya, game apa yang kumainkan untuknya dan mengapa game itu sangat berarti baginya.
Balasan emailku berupa curahan hatinya tentang kehidupan masa kecilnya, lumayan panjang sekitar 10 halaman. Kubaca hingga selesai. Barulah aku mengerti mengapa game itu sangat berarti untuknya. Ceritanya begini, empat tahun lalu di kampus aku berteman akrab dengan beberapa orang, salah satunya temanku yang baru saja mengirim email ini, sebut saja namanya Riri. Sebagai mahasiswi Fakultas MIPA jurusan Kimia, aktifitas kami di kampus fullday, pagi kuliah siang hingga sore pratikum. Sering di antara 2 waktu itu kami tidak pulang ke rumah, melainkan duduk-duduk di taman perpustakaan sambil mengerjakan laporan pratikum atau ngenet gratis di dalam perpustakaan sambil menunggu jam pratikum tiba. Nah suatu hari yang entah mengapa aku tak ingat menurut cerita Riri saat kami duduk-duduk di taman perpustakaan aku memainkan sebuah game kepadanya. Aku menyuruhnya menggambar sebuah rumah di sehelai kertas dalam waktu kurang dari satu menit. Setelah selesai menggambar, aku menganalisa kepribadiannya melalui gambar yang telah dibuatnya. Pada saat itu aku mengatakan bahwa ia tipe orang yang tidak betah di rumah, merasa senang berada di luar rumah dan ia juga tidak terlalu menyayangi ibu dan keluarganya, lebih care terhadap orang lain dibandingkan keluarga sendiri. Hal ini terlihat dari rumah yang digambarnya tidak berpintu, padahal untuk sebuah rumah pintu amatlah penting, jika dianalogikan sebuah rumah dengan sebuah keluarga maka rumah tak berpintu sama dengan keluarga tanpa seorang ibu. Susah payah aku mengingat apa pernah aku mengatakan hal seperti ini. Masih menurut tulisannya, saat itu aku memberikan masukan, aku mengatakan kalau seperti ini terus maka ia tak akan mendapatkan kebahagiaan dalam hidupnya selama ia masih kurang menyayangi keluarganya terutama ibunya. Ternyata pernyataanku ini membuatnya tersadar.
Ya sesederhana itu saja game yang telah kumainkan kepadanya yang sampai sekarangpun aku tak ingat pernah memainkannya, tapi mampu merubah sudut padangnya terhadap ibunya. Mengapa Riri sampai kurang menyayangi ibunya? Ceritanya lumayan panjang seperti yang kukatakan tadi tulisan yang dikirimkannya kepadaku sekitar 10 halaman, jadi kupersingkat saja ya. Menurut yang diceritakan Riri semasa ia kecil ia merasa kurang dikehendaki oleh ibunya. Terlihat dari kurangnya perhatian ibunya pada dirinya. Ia sering sekali diomeli untuk masalah yang menurutnya kecil. Selalu dibanding-bandingkan dengan kakaknya. Entah mengapa di mata ibu ia selalu bad looking, berbeda dengan si kakak yang selalu good looking. Ia jarang sekali diajak berpergian oleh ibu, selalu si kakak yang dibawa kemana-mana. Ia bahkan hampir setiap hari dititipkan oleh ibunya ke rumah tantenya seakan-akan ibunya enggan merawatnya. Ada beberapa peristiwa semasa kecilnya yang cukup melekat di benaknya salah satunya ada waktu itu ada karnaval, pagi-pagi sekali ia dan kakaknya sudah didandani secantik mungkin. Hatinya senang sekali ia akan diajak oleh ibunya melihat karnaval. Bergegas mereka ke luar rumah. Tapi mereka menuju rumah tante yang memang bersebelahan dengan rumahnya. Riri tak mendengar apa yang diucapkan ibunya kepada tantenya karena ibunya bicara berbisik, yang pasti setelah itu dirinya diajak masuk ke dalam rumah dan tantenya mencoba mengalihkan perhatiannya. Barulah Riri kecil menyadari kalau ternyata dirinya tak diajak oleh ibunya melihat karnaval, dan si kakak yang diajak ikut.
Beberapa tahun sesudahnya Riri kerap merasakan ketimpangan kasih sayang ibu terhadap dirinya, ia pun bertingkah semakin nakal, berusaha mencari perhatian ibunya, ia merasa senang melihat ibunya jengkel akan ulahnya. Begitulah seterusnya hingga Riri meninggalkan rumah untuk melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi. Ia merasa sangat bebas berada jauh dari rumah, bahkan sengaja untuk tidak pulang di saat liburan. Sampai akhirnya game itu menyadarkannya. Ya hanya dari sebuah game yang kuyakin pasti kumainkan untuknya dengan iseng hanya untuk mengisi waktu luang kami, tapi mampu membuatnya sadar.
Kukirim email kepadanya dengan bertanya bagaimana mungkin game yang kumainkan untuknya bisa membuatnya tersadar. Ia membalasnya dengan mengatakan bahwa kata-kataku “kalau seperti ini terus maka ia tak akan mendapatkan kebahagiaan dalam hidupnya selama ia masih kurang menyayangi keluarganya terutama ibunya” telah menyadarkannya. Ia memang merasa senang berada jauh dari rumah tetapi ia juga merasa seperti ada bagian dari hatinya yang dilanda kegelisahan dan keresahan. Menurutnya beberapa hari setelah game itu kumainkan ia jadi mulai merenungi kembali masa-masa kecilnya dulu. Setelah perenungan itu ternyata sudut pandangnya pada ibunya jadi berubah. Ia jadi menyadari mengapa seakan-akan ibunya lebih sayang kepada kakaknya, ya tentu saja ibunya tak pernah mengomeli kakak karena memang kakak bersikap baik, tidak nakal dan patuh. Berbeda sekali dengannya yang nakal, tukang bikin onar dan tidak patuh. Ia menyadari ibunya jarang sekali membawanya berpergian karena ia memang bertingkah sangat aktif yang membuat ibunya kewalahan menangani dirinya. “Ah Van ternyata aku baru menyadari sumber masalahnya ada padaku bukan pada ibuku setelah kamu mengucapkan kata-kata itu padaku Van. Coba fikir apa jadinya aku ini andai saja kamu gak pernah memainkan game itu untukku, pasti aku jadi anak durhaka seumur hidupku. Kini aku sangat menyayangi ibuku. Beribu terimakasihku untukmu sobatku Vanie.” Terharu sekali aku membacanya.
Cukup lama juga aku merenungi apa yang terjadi pada kawanku ini. Aku jadi menyadari dua hal, pertama, apa yang kita rasakan mampu mempengaruhi sudut pandang kita, kalau sudah ada rasa benci di hati apapun yang dilihat akan terlihat buruk, tetapi kalau hati dipenuhi rasa cinta segala yang dilihat semuanya akan tampak indah. Kedua, dalam menjalani hidup ini pasti begitu banyak kata-kata yang telah kita ucapkan kepada orang lain dan apakah kita menyadari kata-kata kita yang manakah yang begitu bermakna bagi yang mendengarkannya atau bahkan kata-kata kita yang mana pula yang telah membuat hati yang mendengarnya merana. Semoga kata-kata yang telah kita ucapkan mengandung kebaikan bagi yang mendengarnya, dan hati kita senantiasa dipenuhi rasa cinta dan kasih. Amin ya Rabbal’alamin.
0 komentar:
Posting Komentar