Kisah Anak Manusia

Kamis, 01 April 2010

Cerita ini kumulai di pagi hari di daerah pegunungan kapur, sengaja aku melintasi daerah ini dan bertemu ibu tua dengan “tanggok” di punggungnya berjalan menuju tepi sawah. Di belakangnya ada kelompok buruh yang lain. Sambil mendendangkan lagu-lagu Jawa, istirahatlah ia di pondok kecil di dekat pematang sawah. Adalah kebiasaan buruh-buruh tani melipur kemiskinan, kepahitan hidup dengan lagu-lagu Jawa. Biasanya mereka bergerombol, “guyonan” bersama-sama menaiki sepeda menuju sawah, bersahut-sahutan “parikan” sejenis pantun yang berisi lelucon hidup sehari-hari, permasalahan hidup mulai dari pemilu, pilkada, harga sembako yang tinggi, biaya sekolah yang masih mahal, pembagian BLT, siapa punya “affair”, gossip terpanas. Dan aku selalu rindu di dekat orang-orang tidak berpunya ini, ada rasa keikhlasan, persaudaraan, beban hidup yang tidak terlihat. Teman, kamu tahu merekalah sahabat-sahabatku. Kusapa mereka dan mereka sangat senang kalau tahu aku pulang kampung.
“Mas Ninik, kapan konduripun?” tanya mereka.
“Mbah, ampun basa kalih kulo,” jawabku. “Seminggu yang lalu”
Kusalami mereka satu persatu dan kubagikan sedikit rejeki bagi mereka. Teman, kamu pasti senang melihat ekspresi wajah-wajah lugu itu. Wajah yang mungkin tak terbersit ada keinginan aneh-aneh dalam hidup, bangun pagi, cari rejeki, tak ada keluh kesah. Aku tahu mencangkul, mengolah sawah, memupuk, mengairi sawah, memanen, membawa padi adalah berat sekali. Punggungku pernah merasakan kepenatan amat sangat ketika aku iseng-iseng turun ke sawah membantu mereka.
“Matur nuwun, Mas Ninik,” kata mereka. Wajah mereka berseri-seri.
Pandangan mataku menyebar dan kutemukan sosok ibu tua yang lebih senang menyendiri. Embun pagi masih terasa basah. Padi mulai menguning, panen hampir tiba. Waktu yang ditunggu petani. Kuhampiri tubuh renta itu. Kamipun ngobrol ngalor-ngidul. Mulailah ia bercerita tentang bencana. Ya bencana. Bencana dua tahun lalu.
“Nak Mas, apakah sampeyan tinggal di sini sewaktu gempa 2 tahun lalu?” tanyanya.
“Nggih, Mbah!” jawabku. “Tapi cuma sebentar.”
“Kalau ingat kejadian itu, hati saya ini kok seperti kena sembilu,” ceritanya.
“Kenapa, Mbah?” tanyaku.
“Dimana ya nurani manusia di bumi ini? Kok tega-teganya bencana datang tidak tergerak ya, dan lebih parahnya anak saya juga tidak pulang. Lha wong tahu saya ini sudah janda, renta kok ya gak ditengok?” katanya.
“Memang anak Ibu dimana?” tanyaku.
“Jauh, Nak Mas. Ngrantau di sana, dimana itu. Sumantrah,” jawabnya.
“Mungkin anak ibu sibuk, atau tidak ada biaya untuk pulang,” sahutku.
“Nggak mungkin. Lha wong dia itu bisa naik haji dua kali, masa uang 2 juta untuk pulang-pergi tidak mampu?” gugatnya.
“Wah, saya gak tahu Mbah,” sahutku.
“Gini lho, Nak Mas. Orang itu kalau sudah berhaji kan ada tanggung jawab sosialnya, apalagi saya ini kan ibunya. Apa nunggu aku mati dulu, baru peduli?” jawabnya jengkel. “Anak dari kecil dibesarkan, disekolahkan baik-baik, didoakan kok tega ya, apa mungkin saya dulu ngasih dia rejeki yang jelek?” gumannya. Kulihat matanya menerawang jauh, kosong. Ada rasa kecewa yang dalam yang kurasa. Mungkin rasa kesepian ditinggal anak. Masa tua tidak ada anak di sampingnya. Tepat sekali peribahasa yang kudengar sewaktu kecil. Kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang galah.
“Sudahlah, Mbah. Gak usah terlalu dipikir. Nanti Mbah malah sakit,” hiburku.
“Mboten ngoten, Nak Mas. Apa ada yang salah dengan peribadatan saya, kok sampai hati anak saya ini?” air mata mulai mengalir di pipi yang sudah keriput itu. Kuseka airmata ibu tua itu. Kuajak ia naik ke tepi jalan.
“Ayo Mbah, ikut saya! Saya ajak jalan-jalan Mbah. Biar saja Mbah tidak usah bekerja hari ini. Nanti saya bilang sama Mandor Karyo,” kataku.
Kunyalakan mobil dan berkelilinglah kami ke Yogyakarta. Dari kaca spion, masih dengan rasa sedihnya, kulihat ibu tua itu melamun dan mulailah ia bersenandung. Senandung lagu jiwa, jiwa yang sepi, ketidakadilan, kekecewaan yang kudengar.
“Mbah, ini pasar Niten. Sudah selesai dibangun, bagus ya Mbah?” ujarku. Ibu tua itu masih terdiam. Aku berusaha memakluminya. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan untuk menghibur orang tua ini. Aku hanya berpikir masa tuaku akan seperti apa? Bahagiakah atau apa?
“Saya ini orang tua, hidup sendiri, cari makan sendiri, ke sawah jadi buruh. Itupun kalau ada orang yang menyuruh. Selama gempa itu Nak Mas, saya tidur di pengungsian. Rumah hancur, baju pun hanya yang melekat hingga berhari-hari. Mau tidur susah, mau apa-apa juga susah, lha wong ramenya itu lho. Banyak pengangguran karena pabrik-pabrik juga rusak. Walau saya sendiri tidak terlalu beruntung, tapi masih ada yang lebih menderita lagi Nak Mas,” katanya.
“Ya, toh hidup ini hanya tinggal menjalani, Mbah. Masih beruntung kita diberi kesempatan hidup. Jadi ssaya bisa ketemu Mbah dan jalan-jalan. Sebelum Niten tadi, Kasongan Mbah, pusat gerabah yang hancur karena amarah alam pada kita,” kataku.
“Kadang saya kok bingung ya Nak Mas. Menjalani hidup ini. Kenapa kita tidak mempunyai pilihan terhadap satu peristiwa? Kenapa saya tidak memiliki pilihan anak yang saya damba, yang peduli, yang menyempatkan diri ngurusi saya yang renta ini,” celotehnya.
“Mbah, walau Mbah punya anak tidak terlalu peduli, nikmati hidup Mbah saja. Belum tentu lho Mbah, hidup sama anak lebih enak. Orang berumah tangga kan sudah berbeda pandangan hidupnya, apa yang harus diurus duluan, menyiapkan masa depan anak. Toh Mbah waktu melakukan itu semua untuk anak Mbah, Mbah kan tidak berharap apa-apa terhadap anak Mbah?” timpalku.
“Benar, Nak Mas. Hidup ini Cuma Lir Gumanti. Tinggal kita berbuat hari ini, lain waktu anak kita yang mengganti,” jawabnya. Tak terasa perjalanan ini sampai pasar Bringharjo. Pasar yang selalu mengingatkanku pada kemiskinan yang kukecap bertahun-tahun.
Seingatku aku hanya mampu beli kaos Dagadu palsu seharga Rp.11.000,00 sewaktu aku masih SMA. Ya kemiskinan, kemiskinan sungguh kemiskinan. Teman-teman SMA-ku bisa beli ini itu, bawa motor ke sekolah, motor pun keluaran terbaru, mulai dari Suzuki Satria, Crypton Yamaha, Astrea Grand Honda 97, sedangkan aku, aku naik angkot, harus berebut masuk angkot itu dan juga harus berjalan berkilo-kilo untuk pulang. Pernah aku membawa Suzuki RC 100, dan ejekan teman-temanku semakin nyaring untuk didengar. “Wah motor blantik, penjual sapi dan kambing. Gak gaul, motor tua, wuh....” Itulah ocehan mereka di sekolah. Kenapa kemiskinan ada padaku? Kadang otakku berpikir kok bisa ya sekolahan negeri tapi perlakukan anak-anak itu ngeri, sungguh kalau tidak kuat mental, aku sudah pindah. Tapi kuanggap lalu omongan mereka.
Waktu trendnya ulang tahun, mereka saling berlomba mengundang teman-temannya, ya “party” bisalah dikatakan seperti itu. Dan yang paling menjengkelkan adalah ketika aku naksir anak IPA4, anak Bos Pertamina wilayah Yogya, anaknya cuek, belagu banget. Waktu lomba basket antar sekolahan, ia malah menggandeng anak Kapolres Bantul, bawa mobil lagi. Mobilnya sih waktu itu Kijang 97-an. Ia sendiri membawa Sidekick Suzuki. Wah... ini dia gaya anak “Borju”. Namun kukikis kenangan pahit itu. Pahit....!!! Cintaku kalah karena materi dan jabatan.
Sekarang kondisiku membaik, aku ingin membahagiakan orang yang kurang beruntung seperti ibu tua ini, walau ia hanya buruh di sawah. Ingin kutebus kekalahanku yang dulu dengan memerdulikan orang yang memang butuh bantuan entah itu meluangkan waktu untuk mengobrol ataupun sedikit materi yang ada di kantong.

0 komentar:

 
♥KALAM IBU-IBU♥ - by Templates para novo blogger