Lelaki Pengangkat Jemuran

Kamis, 01 April 2010

Oleh : Silvany Putri Sinatra



-KINI-

Aku suka saat hujan, suasananya senantiasa membuatku merasa nyaman. Aku merasa seakan waktu berhenti dan aku terpaku dikelilingi lingkaran rintik hujan, suasana ini juga membuatku dapat merenung dengan lebih leluasa. Aku ingin setiap hari hujan, karena suasana yang ditimbulkannya membuat aku tidak harus mendengar kebisingan omelan ibuku. Terkadang hujan juga membuat pikiran ku melayang layang ke masa beberapa tahun silam.
“Bagaimana bisa? “ Begitu kata Fe teman ku satu-satunya, ya satu-satunya karena aku memang nyaris tak punya teman, teman dalam artian yang sering didengung-dengungkan orang yakni “teman tempat kita berkeluh kesah, teman juga tempat kita berbagi kebahagiaan” nah aku menjadikan Fe tempat ku berkeluh kesah, walau jarang sekali aku berbagi kebahagiaan padanya karena memang jarang sekali aku merasakan kebahagian yang dapat ku bagi bersamanya. Tak apalah aku hanya memenuhi satu dari kriteria yang sering didengungkan itu, jadi Fe sudah pantas kan aku sebut sebagai teman ku?. Kembali ke pertanyaan Fe tadi, aku menjawab

“ ya bisa saja Fe, karna saat hujan aku sering menghabiskan waktuku dengan melamun di pinggir jendela sambil memandang hujan jatuh membasahi tanaman sansiviera yang ada dibawah jendela kamarku”.

“ hanya dengan memandangi sansivieramu terkena hujan pikiran mu melayang-layang?”
Aku menarik nafas panjang sebelum menjawabnya

“tidak juga Fe, terkadang aku memandang lurus kedepan berusaha menerobos tirai hujan, melihat ada apa dibaliknya, kurasa pada saat itulah pandanganku lama kelamaan menjadi buram,pikiranku seperti terlempar ke masa silam”.

“Apa yang sedang kau bayangkan Fi?”

”aku sedang membayangkan ibu dan ayahku Fe”

”coba ceritakan,aku ingin mendengarnya”.

Di luar hujan semakin deras, ku lihat tirai hujan dan berusaha mencari tahu ada apa dibaliknya.



- LALU-

Menurut ku Ibuku sosok yang mengerikan, tubuhnya besar tinggi, rambutnya keriting, kalau terkena angin menjadi awut awutan, mungkin kalau ada burung lewat bisa jadi rambut ibuku dikira sangkar. Garis wajahnya kasar dan persegi khas orang batak. Suaranya lantang, kalau berbicara membahana ke seluruh rumah, inotasi bicaranya tak pernah lembut selalu dengan nada membentak. Begitulah gambaran ibuku. Sedangkan Ayahku, ia berbadan kurus tinggi, wajahnya tirus, bola matanya seakan-akan hendak meloncat keluar, hidungnya sangat mancung dan bibirnya begitu tipis, ia selalu terlihat murung terutama semenjak Ayah tak lagi bekerja diluar rumah alias di PHK. Wajahnya semakin murung karena ribuan lamaran pekerjaan yang dikirimnya tak satupun membuahkan hasil. Suara Ayahku sangat rendah dan lembut khas orang Sunda. Jika Ibu dan Ayahku sedang berbicara, hanya suara Ibukulah yang lebih terdengar. Semenjak Ayah tak lagi bekerja, Ibuku lah yang menjadi kepala keluarga, ia menerima cucian kotor para tetangga untuk dicucinya dan disetrikanya. Ibu yang mencuci dan menyetrika pakaian, Ayah membantu menjemur dan mengangkatnya setelah kering. Pekerjaan baru Ibu ini otomatis membuat pekerjaan rumah menjadi tanggung jawab Ayah. Ibu tak segan-segan membentak Ayahku jika ada kesalahan yang dibuatnya, seperti memecahkan piring, memasak keasinan, atau mengepel lantai kurang bersih. Sering ku perhatikan saat dimarahi Ibu, Ayahku tak berekspresi, tatapannya kosong, kurasa Ayahku sedang “tak ditempat”. Lucu juga membayangkan Ibu sedang memarahi raga Ayah, karena jiwa Ayah entah sedang melayang kemana. Aku dilarang membantu pekerjaan Ayah, tugasku hanyalah belajar dan belajar. Pernah suatu kali aku sengaja menggoblokan diriku, soal ujian kujawab asal-asalan, alhasil peringkatku jadi turun drastis, Ibu ku ternganga melihat nilai raportku, kurasa jantungnya pasti hampir jatuh tapi cepat-cepat ditangkapnya dan ia jadi bisa menguasai dirinya. Kejadian itu waktu aku kelas 5 SD. Aku senang sekali melihat ekspresi Ibuku seperti itu. Tapi kesenangan ku tak bertahan lama. Setibanya dirumah pakaian ku dibuka paksa dan aku di cambuk pakai sapu lidi. Sakitnya akan terkenang seumur hidupku.

”kau harusnya mengerti Fiona, aku menyuruhmu belajar giat agar kelak tidak menjadi seperti orangtuamu yang hidup susah”
ibuku mengomel sambil terus menyambuki ku, ia seperti sedang kerasukan setan.

” Kau satu-satunya anakku, aku tak ingin melihatmu gagal, kau sudah melihat bukan contoh orang gagal?, Ayahmu, Kalau kau tidak sukses kelak kau akan bersuamikan seperti ayahmu itu, coba lihat apa yang dikerjakannya sekarang selain mengangkat jemuran setiap hari. Apa kau mau bersuamikan pengangkat jemuran? Makanya kau harus rajin belajar biar hidupmu nantinya senang. Kalau kau sukses pasti kau akan bersuamikan orang sukses. Kau paham tidak Fi?”

”Ratna sudah hentikan” perintah Ayahku sambil berusaha mengambil sapu lidi yang dipegang Ibuku.

” Kau jangan ikut campur, biarkan saja aku menghajarnya kalau tidak dibeginikan dia tak akan mengerti”

“ kau yang harus mengerti dirinya, selama ini kau terlalu memaksanya untuk belajar terus”. Cambukan ibuku berhenti, aku sesungukan menahan rasa sakit di punggungku.

Sekarang giliran ayahku yang diomeli ibu.
”kalau dia kubiarkan seperti ini terus hidupnya akan seperti aku saat ini, kalau saja kau tidak membawaku kabur pasti sekolahku selesai dan aku bisa melanjutkan pendidikanku ke perguruan tinggi. Bodohnya aku dulu begitu terbuai bujuk rayumu. Sekarang apa yang kau berikan padaku selain kemiskinan dan anak bodoh ini”.

Ibuku cukup sering menyesali kebodohannya mau diajak kawin lari oleh Ayahku. Kalau Ibu sudah mengucapkan penyesalannya ini Ayahku akan terdiam, mungkin menyesali perbuatannya dulu. Semenjak kejadian itu aku tak berani menjawab soal ujian asal-asalan lagi.


- KINI-

“kurasa Ibumu ada benarnya juga Fi, cuma cara yang digunakannya untuk mendidikmu salah” Fe berkomentar.

“ menurutku ibuku selalu salah Fe”. Fe diam sejenak dan mengangguk-anggukan kepalanya,entah apa maksudnya,mungkin ia setuju dengan pernyataanku. Kualihkan pandanganku keluar jendela, tirai hujan telihat, aku memandanginya kembali.


-LALU-

“Yah besok pengumuman kelulusan ku” kata ku pada Ayah yang sedang mencuci piring.

“hmmmm ? apa kata mu tadi?”
Akh ini penyakit Ayahku, penyakit ini baru saja menggerogoti dirinya semenjak ia tak lagi bekerja di luar rumah. Aku menamai penyakitnya ‘tak di tempat’ ya aku menamainya demikian karena sering aku melihat Ayahku seakan-akan sedang tak ada ditampatnya sekarang, maksudku Ayahku memang sedang beraktifitas tapi fikirannya sedang tak bersamanya, jadi aku harus mengulang pertanyaannku beberapa kali untuk membuat fikirannya kembali padanya.

“ besok pengumuman kelulusan ku Yah” tangan Ayahku berhenti sejenak, aku melihat Ia meremas spons pencuci piring, busa putih keluar dari sela-sela jarinya. Kurasa Ayahku sedang berusaha mengembalikan fikirannya yang sedang mengembara entah kemana.

” Ayah yakin kamu pasti lulus nak” aku mengembuskan nafas panjang, sepertinya tadi saat fikiran Ayahku berusaha kembali ke tempatnya, aku menahan nafasku.

” Ya Yah aku yakin aku bakal lulus”

“ ya bagus “

“ lusa pengambilan ijazah nya Yah, Fi ingin Ayah yang mengambilnya” sekali lagi spons itu diremas dan sekali lagi busa putih keluar dari sela-sela jarinya, kurasa Ayahku sedang mempertimbangkan usulan ku.

“ kenapa tidak Ibumu saja? toh selama ini yang mengambil raport mu juga Ibumu”
Sekali lagi aku menghembuskan nafas panjang.

“ Ayah, aku sudah muak merasakan malu setiap kali Ibu datang ke sekolah” jawabku dengan suara agak meninggi. Ayahku terkejut kurasa sekarang perhatiannya 100 % untuk ku, sekarang sponsnya tak lagi diremasnya ia letakkan begitu saja di atas piring terakhir yang masih kotor, cepat-cepat ia mencuci tangannya dan meletakannya di kedua bahu ku sambil mengguncang guncang kan bahu ku

“ Fi hati-hati kalau berbicara, nanti kalau ibu mu dengar dia bisa marah”

Ku tepis tangan Ayahku dan berbalik sambil berlari masuk ke kamar, kubenamkan kepala ku ke bantal sambil menahan rasa sedih, kesal dan juga marah. Aku sedih Ayahku menolak mengambil ijazahku, aku kesal karena kelemahan Ayahku yang takut pada Ibuku, aku juga merasa sangat marah akan sikap Ibu ku.

“ akh aku bakalan malu setengah mati nanti di sekolah” batinku.

Setiap pengambilan raport, Ibuku selalu berdandan super menor, ia akan memakai baju yang penuh dengan motif bunga besar-besar, dimataku itu sangat norak, wajahnya pun akan di make upnya habis-habisan, sepertinya Ibu ku tak menyadari kalau sudah menjelang siang ia akan kegerahan dan make up murahan di wajahnya akan terlihat mengkilap karna bercampur dengan keringat. Belum lagi perhiasan imitasi yang dipakainya, Ibuku jadi kelihatan seperti toko emas berjalan. Mungkin menurutnya itu penampilan terbaiknya, ia hanya tak ingin kelihatan lusuh dan miskin. Sebenarnya itu belum seberapa, ada hal lain yang membuatku lebih merasa malu lagi. Ibuku selalu begitu membanggakan kepintaran ku di hadapan orangtua teman-temanku, ia tanpa diminta akan menceritakan keberhasilannya dalam mendidiku sehingga aku bisa dapat rangking satu terus.

“saya selalu menyuruh Fiona sepulang sekolah langsung mengerjakan tugas sekolahnya selama 1 jam baru setelah itu ia boleh makan siang. Saya selalu melarang Fiona untuk tidur siang, karna itu membuang-buang waktu saja, jadi lebih baik belajar mengulang materi apa yang sudah diajarkan gurunya tadi di sekolah, sampai sore. Sehabis magrib Fiona juga selalu saya suruh untuk mempelajari materi yang akan diajarkan gurunya esok. Jadi dalam sehari Fiona belajar 3 kali, pantaskan ia berada di posisi teratas terus”

Begitu ucap Ibuku dengan nada bangga. Bayangkan setiap pengambilan raport selalu kalimat itu-itu saja yang diucapkan Ibuku. Aku melihat beberapa orangtua temanku mendengarkan celotehan Ibuku dengan raut muka kesal bahkan aku yakin beberapa diantara mereka sengaja menghindar duduk di dekat Ibuku. Efek dari celotehan Ibuku ini aku jadi sering diolok-olok temanku “ ingat pesan Ibu jangan lupa belajar 3 kali sehari supaya lekas sembuh eit maksudnya lekas pintar”. Olokan ini selalu ditujukan padaku saat sekolah usai dan aku sedang bersiap hendak pulang. Sungguh memalukan, kurasa tak ada yang mau berteman denganku karna takut terkena olokan juga.


-KINI-

“akhirnya Ibumu juga fi yang mengambil ijazah mu?” Tanya Fe.

Bunyi gemuruh mengagetkanku, aku langsung tersentak bangun dari kursi goyang Fe yang sangat nyaman. Fe menghampiriku,

“ tak apa tadi itu cuma gemuruh, berbaring saja lagi Fi”.

“ aku tau itu gemuruh, aku hanya sedang ingin meluruskan badanku saja”. Diluar hujan turun semakin deras, pandangan ku melewati jendela rumah Fe, aku kembali berusaha menembus tirai hujan.




-LALU-

Pada akhirnya memang Ibuku yang mengambil ijazahku. Ayah sudah menawarkan diri untuk mengambil ijazahku pada Ibu.

“ tidak bisa, biar aku saja yang mengambilnya”

Hanya sepenggal kalimat itu yang diucapkan Ibuku tapi mampu membuat ayahku tak lagi berkutik. Aku sering bertanya-tanya apa sih yang membuat Ayahku jatuh cinta pada Ibuku dan mengapa ia masih mempertahankan perkawinannya, kalau aku jadi dirinya aku akan kabur dengan wanita lain.



-KINI-

“Ku rasa Ayahmu tipe family man yang memandang perempuan sebagai pasangan hidup yang harus dimengerti agar bisa hidup berdampingan”. Ucap Fe tiba-tiba. Cukup lama juga aku merenungi ucapan Fe.

“ ya bisa jadi Fe”

Hujan sudah tak deras lagi, hanya rintik-rintik kecil, aku jadi bisa melihat ada apa dibalik tirai hujan.



-LALU-

Aku berhasil mendapatkan nilai kelulusan tertinggi dan meraih predikat siswa teladan untuk yang ke tiga kalinya. Aku melihat senyum ibu begitu lebar saat namaku dibacakan sebagai siswa teladan. Dan untuk yang terakhir kalinya ibu kembali bercerita kepada siapa saja yang duduk di dekatnya tentang keberhasilannya mendidikku. Karena nilaiku tertinggi aku mendapatkan undangan ke universitas negeri terbaik. Sengaja aku memilih universitas diluar kota agar aku bisa jauh dari rumah. Fakultas yang kupilih pun sengaja yang tidak favorit, aku memilih fakultas pertanian. Kontan saja Ibuku marah besar, ia ingin aku memilih kedokteran, hukum atau teknik. Sedangkan ayahku sama sekali tak berkomentar apa-apa mengenai pilihan ku ini.

”kalau untuk jadi petani ngapain kau kuliah, banting tulang aku menyekolahkan kau agar nantinya kau bisa jadi dokter atau pengacara”.

Dari mulai pengumuman aku diterima di fakultas pertanian sampai hari keberangkatanku, Ibuku mengomeliku terus tiada henti-hentinya. Hari kebebasanku pun tiba, hari dimana aku akan meninggalkan rumah. Hari ini hari yang aku impi-impikan semenjak dulu. Masih dengan raut wajah kesal Ibu ku berkata:
”aku tak akan membiayai kuliah kau, cari saja uang sendiri”
Sungguh ucapan yang tak pantas diucapkan saat perpisahan.

”jaga diri baik-baik ya nak, jangan lupa berkirim kabar” ucap Ayahku sambil meremas lembut bahuku. Aku hanya mengangguk. Itulah pertemuan terakhirku dengan mereka, bertahun tahun aku meninggalkan kotaku tanpa pernah mengirimi kabar. Kuliahku berantakan karena memang aku memilih jurusan asal-asalan saja. Akhirnya aku di DO karena IPK ku selalu dibawah rata-rata. Cuma 3 semester aku bertahan di kampus. Wah ibuku pasti terserang stroke mendengar kabar ini. Sebenarnya aku lebih senang bekerja daripada kuliah. Untuk biaya hidup aku bekerja menjaga butik, kadang aku juga ikut menyumbangkan ide mendesain pakaian , pemilik butik suka dengan hasil rancanganku, ia pernah mengatakan sesungguhnya aku berbakat di bidang desainer.

4 bulan setelah aku tak lagi kuliah aku berkenalan dengan seorang pria tampan dan mapan. Re namanya. Usianya 10 tahun diatasku. Ia seorang dokter. Kami berkenalan ditempat prakteknya, saat itu ia mengatakan aku sangat cantik dan ia sudah jatuh cinta padaku sejak pertama kali melihatku. Untuk yang satu ini aku memang sudah lama menyadarinya, dulu waktu kecil aku cukup sering mendengar orang memuji-muji diriku “sudah cantik pintar pula”. Semasa sekolah dulu banyak juga yang berusaha mendekatiku, tapi tentu saja mereka harus berhadapan dengan Ibuku. Baru setelah kuliah para kumbang bebas mendekatiku. Tapi tak ada yang serius, tak ada yang benar-benar membuatku fall in love. Sebenarnya aku tak begitu tertarik pada Re, entahlah sepertinya ada yang salah dengan otakku. Diluar sana aku yakin ada ratusan wanita yang rela antri untuk mendapatkan Re. Pacaran kami tak lama, Cuma 3 bulan, kami langsung menikah. Kurasa aku menikahinya karna ingin menunjukan pada Ibuku kalau aku bisa mendapatkan orang sukses, bukan lelaki pengangkat jemuran yang selama ini dikhawatirkannya. Ibuku cukup terkejut melihat kedatanganku yang tiba-tiba dan tanpa menyandang gelar sarjana. Terlebih aku datang bersama seorang pria. Ia lebih terkejut lagi waktu kukatakan hendak menikah dengan Re yang seorang dokter. Ayah ku tentu saja sangat bahagia mendengar kabar ini, akh ia semakin ringkih saja kulihat. Pernikahan berlangsung cepat, agar tak merepotkan orang tuaku aku menikah digedung menggunakan jasa EO. Sayangnya orang tua Re sudah tiada, ia hanya memiliki seorang kakak yang sedang berada diluar negri, yang karena kesibukannya tak bisa hadir. Aku tak banyak bercakap-cakap dengan orangtuaku, melihat raut wajah orang tuaku saat aku pamit aku yakin mereka turut bahagia dengan pernikahan ku, Ibu ku sempat berbisik “ Kau harus menjaga suamimu jangan sampai diambil orang”. Saat itu aku berfikir Ibuku memang aneh.



-KINI-

“kau suka Fe mendengar kisah hidupku?”

“ya menarik juga, akhirnya happy ending kan?”

“itu belum selesai Fe, entahlah, apa akhirnya bisa happy ending”

“ada masalah dengan perkawinan mu?” aku memandang Fe, mempertimbangkan untuk mengatakan masalah rumah tangga ku padanya atau sebaiknya tidak usah saja. Akhirnya mendengar suara hujan, membuat ku menjadi ingin mengatakan masalah perkawinan ku pada Fe.

“Re tidak lagi bersamaku Fe”

“bagaimana bisa?” Fe tampak terkejut

“ Ia berselingkuh dengan pasiennya yang sangat cantik”

Cukup lama Fe terdiam “well itu tidak membuatmu terlalu sedih kan? Kaukan tidak mencintainya?”

“awalnya memang aku tidak begitu mencintainya, tapi setelah cinta itu muncul ia malah pergi meninggalkan aku, sekarang kami sedang memproses perceraian kami di pengadilan”.

“aku turut sedih mendengarnya Fi” Fe memelukku erat.

Butuh waktu bertahun-tahun bagiku untuk menyadari bahwa ternyata ibuku tidak selalu salah. Setelah resmi bercerai dari Re, beberapa tahun kemudian aku menikah lagi dengan pria yang tidak tampan dan sedikit mapan. Aku berharap pilihan ku ini tidak berakhir seperti perkawinan ku dengan Re.


20 tahun kemudian

“Flo kenapa membolos? Mama malu setiap kali dipanggil kesekolah karena ulahmu itu.”
Flo anak lelakiku yang sekarang duduk dikelas 2 SMU hanya meringis.

“ aku males belajar ma, aku gak suka sekolah, bosen”
Kontan saja aku meledak mendengar ucapannya.

“Flo kalau kamu gak sekolah kamu mau jadi apa besar nanti? mau seperti Papamu sekarang heh? lihat Papamu apa yang bisa dikerjakannya sekarang selain mengangkat jemuran, apa kamu mau besar nanti menjadi lelaki pengangkat jemuran?”.

Akh, aku tersadar, puluhan tahun lalu ibuku pernah mengucapkan kata-kata ini padaku, kini aku mengulangi ucapannya kepada anakku. Doaku supaya perkawinan keduaku tidak seperti perkawinan pertamaku memang dikabulkan Tuhan, tetapi sesuatu yang tak pernah kubayangkan terjadi padaku, kini nasibku tak jauh berbeda dengan nasib ibuku.


-TAMAT-


Bontang, 28 Maret- 1 April 2010

0 komentar:

 
♥KALAM IBU-IBU♥ - by Templates para novo blogger