Jumat, 16 April 2010
Wajah lelaki setengah baya itu terlihat lelah, tapi senyumnya tetap ramah. Hadi Sanjaya nama aslinya, namun kami biasa memanggilnya dengan nama Mang Icong. Seorang lelaki dengan 9 orang anak dan kehidupan yang terlalu sederhana di sebuah desa. Untuk itulah salah satu anaknya ikut denganku ke Bontang, membantu menjaga anak pertamaku yang saat itu baru berumur 3 tahun karena aku dan suamiku pergi bekerja.
Hari itu di bulan Juni 1996 dia datang ke Bontang. Untuk berlibur? Bukan! Anaknya yang ikut denganku mengalami kecelakaan lalu-lintas sehingga masuk ruang ICU dalam keadaan koma. Dokter bedah di rumah sakit PT. Badak saat itu memberikan pandangan bahwa kondisi pasien sangat kritis karena mengalami cedera di bagian dalam kepala. Kemungkinan terburuk adalah kehilangan nyawa, kalau memang itu yang terjadi paling tidak orangtuanya harus ada di sini. Itulah sebabnya Mang Icong segera kami panggil ke Bontang. Sebenarnya kami sempat takut, membayangkan ia akan marah mengetahui kejadian yang menimpa anaknya. Tapi ternyata tidak. Sore itu, setelah menjenguk anaknya dengan wajah yang kelelahan dan terlihat sedih, ia tetap tegar dan tawakal. Ia bahkan meminta maaf bila anaknya membuat kami menjadi repot seperti ini. Repot untuk urusan rumah sakit dan biayanya tentu saja. Tapi bagi kami, anaknya bisa kembali sehat seperti sedia kala saja merupakan hal yang paling kami impikan saat itu. Uang bisa dicari, tapi bila anaknya menjadi cacat seumur hidup gara-gara kecelakaan ini? Tentu itu akan menjadi tanggung jawabku dan suamiku seterusnya. Seusai shalat Mahgrib kulihat Mang Icong khusuk memanjatkan doa dan dzikir-dzikir kepada Allah tiada hentinya. Gambaran seorang lelaki yang memohon pertolongan hanya kepada Allah disaat musibah datang menimpa. Saat itulah akhirnya aku mengetahui sedikit banyak riwayat kehidupan Mang Icong.
Kehidupannya sebelum ini jauh dari kecukupan. Seringkali ia meninggalkan keluarganya di kampung untuk pergi ke ibukota mengadu nasib, berdagang, mencari peruntungan, berusaha mendapatkan penghasilan yang halal untuk kelangsungan hidup keluarganya. Pernah sekali waktu ia tertipu dan kehabisan modal, sementara keluarga di kampung menunggu tanpa kabar yang pasti selama 6 bulan. Untung saja masih ada kebun kecil yang ditanami sedikit sayuran untuk dipetik hasilnya. Tapi tetap saja harus ada yang menghasilkan uang untuk mengepulkan asap dapur. Akhirnya istri Mang Icong turun tangan membantu mencari tambahan dengan membantu tetangga di sekitar rumahnya.
Suatu hari dalam keadaan termangu tanpa uang Mang Icong berdiri di depan sebuah sekolah terkenal di kota Bogor. Tiba-tiba saja seseorang menyapa dan bertanya padanya, apakah ia bisa menyetir mobil? Tentu saja Mang Icong mengangguk. Tanpa bertanya apakah Mang Icong punya SIM atau tidak, laki-laki itu menawarkannya menjadi sopir pribadi seseorang. Dengan penuh sukacita tentu saja Mang Icong menerima tawarannya. Ternyata kehidupan Mang Icong setelah menjadi sopir keluarga tersebut cukup tertolong karena ternyata majikannya adalah seorang kaya raya, keluarga salah satu Pengusaha Besar Indonesia.
Sebagai seorang sopir di keluarga konglomerat, Mang Icong harus selalu berpenampilan rapih. Kemeja putih, celana hitam, sepatu hitam mengkilat dan tak lupa kopiah hitam selalu menemani penampilannya. Begitu juga hari itu, sehabis mengunjungi anaknya yang mulai sadarkan diri di ruang ICU, kami mengajak Mang Icong yang berpenampilan rapih berkeliling kota Bontang. Kami biarkan ia yang menyetir mobil Espass kami. Sesampai di pos Security Kampung Baru seperti biasa Petugas Security membuka pintu mobil dan menyapa. Sebuah prosedur yang rutin dilakukan bila kendaraan memasuki atau meninggalkan komplek perusahaan LNG Badak.
“Assalamu’alaikum Pak Haji!” sapa Petugas Security dengan ramah.
“Wa’alaikum salam,” jawab Mang Icong dengan antusias, tapi kulihat wajahnya tertegun sejenak. Setelah pintu mobil ditutup dan kami pun meneruskan perjalanan, Mang Icong tiba-tiba nyeletuk, “Wah, Mang Icong dipanggil PAK HAJI! Seumur-umur, baru kali ini Mamang dipanggil haji.” Wajahnya sumringah, seakan panggilan tadi berupa kehormatan besar bagi dirinya.
“Habisnya penampilan Mang Icong sudah seperti haji sih, pakai kopiah seperti Pak Ustad. Ciri-ciri orang sholeh sudah kelihatan di wajah Mang Icong,” gurau suamiku. “Lagipula, Securitynya kan tidak tahu kalau Mang Icong belum pergi ke Mekkah. Tapi siapa tahu Mang Icong suatu saat pergi haji… Yang namanya rejeki itu kan hanya Allah saja yang tahu,” lanjut suamiku.
“Amin amin amin,” jawab Mang Icong. “Ingin sekali Mang Icong bisa pergi ke Mekkah, tapi apa mungkin? Menghayal eta mah!”
"Mudah-mudahan ada malaikat yang mencatat niat Mang Icong,” aku menimpali.
“Andai Mang Icong bisa pergi haji… Wah, teu kabayang ah!” jawab Mang Icong sambil tertawa. “Boro-boro pergi ke tanah suci, buat hidup sehari-hari saja pas-pasan,” jelas ada nada sangsi dalam ucapan Mang Icong, tapi tetap saja hatinya merasa senang walau hanya dengan menghayal suatu saat ia akan bisa pergi ke Tanah Suci. Kami tertawa bersama, menganggap keinginan ini muskil, tapi siapa tahu? Tawa hari itu sedikit mengurangi kesedihan kami akan kecelakaan yang menimpa anaknya.
Seminggu setelah Mang Icong berada di Bontang keadaan anaknya Alhamdulillah membaik. Tak ada luka di sekujur tubuh kecuali hasil scanning kepala yang memperlihatkan ada gangguan pada system syaraf penglihatannya akibat benturan yang terjadi. Saat itu, anaknya tak bisa membedakan warna, namun dengan pengobatan yang teratur akhirnya anaknya sembuh seperti sediakala.
Mang Icong kembali ke Jakarta dan menjalankan rutinitasnya mengantar majikan ke mana mereka perlu. Dijalani semua itu dengan sabar dan ikhlas. Ia dibekali majikannya sebuah telpon genggam, sebuah barang yang pada tahun 1997 masih merupakan barang mahal. Tak lupa kami saling bertukar kabar satu sama lain tentang keadaan masing-masing lewat telpon genggamnya, terutama tentang kesehatan anaknya yang masih ikut denganku. Suatu hari Mang Icong menelpon kami mengabarkan sebuah berita gembira, ia mendapat hadiah dari majikannya. Coba tebak hadiah apa? Ongkos pulang pergi ke tanah suci Mekah! Betapa riang nada suaranya di telpon. Menurutnya, masa kerjanya sebagai supir itu baru dua tahun. Tapi sungguh ia tak mengira bakal mendapat hadiah pergi haji ke Tanah Suci. Di sela-sela percakapannya, Mang Icong mengingatkan pada kami tentang percakapan setelah melintasi Pos Security Kampung Baru di bulan Juni 1996 itu. Ternyata Allah mengabulkan perkataan yang ia ucapkan, walaupun saat itu ia hanya berandai-andai. Ah, kami pun ikut senang dan terharu mendengarnya. Bayangkan, di saat krisis ekonomi melanda negri ini di tahun 1997, seorang supir seperti Mang Icong bisa berangkat ke Tanah Suci Mekkah. Alhamdulillah, yang namanya rejeki tidak akan pernah salah alamat. Entah lewat siapa datangnya, yang jelas Allah SWT Maha Pemurah. Aku dan suamiku semakin percaya, niat baik kita akan selalu dicatat malaikat. Harapan-harapan yang kelihatannya tak mungkin di mata kita seringkali mudah menjadi kenyataan oleh pertolongan Allah. Jadi, janganlah pernah berhenti berharap dan memohon hal-hal kebaikan kepada Nya. Karena tanpa kita sadari pertolongan Nya amatlah dekat.
0 komentar:
Posting Komentar