Sabtu, 17 April 2010
Oleh : Sri 'ade' Mulyani
Perempuan itu, apa maunya? Dara menghela nafas. Kalau mengikuti kata hatinya yang paling dalam sebenarnya Dara enggan untuk menemuinya, setelah apa yang pernah terjadi antara mereka bertiga di masa lalu. Tapi pantaskah ia sekasar itu? Untuk sisa-sisa persahabatan yang pernah mereka jalani bersama rasanya tak pantas memperlakukan Adis seperti seorang musuh besar.
~DARA~
Semua berawal 15 tahun yang lalu, ketika persahabatan kami bertiga mulai berjarak. Aku, Adis dan Jaka. Bukan rahasia lagi kalau Jaka menaruh hati padaku. Dan aku pun menyukai Jaka. Aku menemukan gairah hidup yang begitu menyala setiap kali kami membicarakan masa depan. Kami punya komitmen yang sama tentang sebuah pernikahan. Ah, berbunga-bunga rasanya. Apalagi jika Jaka membicarakan tentang keturunan, ia ingin kelak kami mempunyai 3 orang anak saja. Supaya aku tidak terlalu capek katanya, dan kami bisa mempersiapkan masa depan mereka sebaik-baiknya. Semuanya serba sejalan dan begitu mulus, sampai suatu saat… ketika vonis dokter membuat jantungku seakan berhenti berdetak. Ada sesuatu pada indung telurku yang membuat dokter mengambil keputusan untuk mengangkatnya.
Sebenarnya, rasa sakit yang kualami pasca operasi tak begitu menyakitkan. Dengan obat-obatan, doa seluruh kerabat dan tatapan cinta Jaka aku kuat menjalani hari-hariku. Hari-hari indah bakal menyongsongku walau kini aku hanya mempunyai sebuah indung telur. Aku masih mungkin mempunyai keturunan bukan? Aku yakin. Sangat yakin. Aku pikir dengan kekuatan cinta kami berdua, harapan untuk mewujudkan impian masa depan akan terwujud. Tapi aku sungguh tak percaya kalau Jaka se-egois itu. Hanya karena dokter menerangkan kondisi indung telurku yang tersisa ada kemungkinan kurang baik, ia tega berpaling dariku.
Dengan tegas dan tanpa perasaan, ia minta aku tak bermimpi untuk meneruskan sisa perjalanan yang pernah kami rancang.
“Aku ingin punya keturunan Ra,” ujar Jaka. Dan tentu saja ia pesimis bakal punya anak kalau beristrikan aku. Tatapannya datar sedatar cakrawala saat mengatakan itu padaku, seakan aku tak pernah ada dalam hatinya. Dan yang paling menyakitkan, beberapa bulan setelah Jaka meninggalkanku, ia melamar Adis sahabatku.
Ah, takdirku. Tergugu aku dalam duka. Rasanya seperti sudah jatuh tertimpa tangga pula. Tapi entah kenapa, masih saja ada sejumput rindu pada Jaka, yang makin menyemak bagai perdu di dasar kalbuku sampai detik ini. Kemanapun aku melarikan diri, aku tak mampu melupakan Jaka. Sepertinya aku tak akan pernah bisa jatuh cinta lagi.
~ADIS~
Sebenarnya aku tak ingin menyakiti Dara sahabatku. Aku bisa merasakan sakitnya akibat kehilangan. Aku tahu dia sangat mencintai Jaka. Tapi hari itu Jaka memintaku. Mengharapkan aku untuk melengkapi separuh perjalanan hidupnya. Memohonku untuk menjadi ibu yang akan melahirkan anak-anaknya. Aku seperti makan buah simalakama.
Sedari awal, aku memang punya hati pada Jaka. Tapi aku tak seberuntung Dara. Pijar-pijar cinta tak pernah kulihat di mata Jaka saat menatapku, tak seperti ketika ia menatap Dara. Aku cukup mengerti, aku bukanlah pilihan Jaka. Tapi jalan hidup manusia tak pernah ada yang tahu, entah rencana apa yang Allah berikan padaku ketika Jaka menceritakan semuanya. Sebagai sahabat yang mencintai dirinya, tak mungkin aku berdiam diri. Aku harus berbuat sesuatu, meskipun akibat yang akan kuterima adalah aku akan dimusuhi Dara seumur hidupku. Tapi kuharap, suatu saat Dara akan mengerti.
“Aku percaya, engkau lebih kuat dari Dara,” bisik Jaka padaku. Mungkin aku bodoh, mungkin juga egois dan tidak punya perasaan terhadap sahabat sendiri, tapi membuat bahagia orang yang kucintai adalah hal yang paling terindah dalam hidupku.
****************************************************************
Sore di Café Cemara, Adis menyapa Dara dengan ramah. Berharap pelukan hangatnya akan mencairkan kekakuan yang melingkupi mereka berdua. Adis harus menceritakan semuanya pada Dara, supaya Dara bisa membuang jauh kebenciannya pada Jaka dan Adis.
“Jadi, sudah berapa anakmu sekarang?” tanya Dara memecah kebisuan sambil melirik gadis belasan tahun di sebelah Adis.
“Ini Nadira, Ra. Ayo Nadira, beri salam pada Mama Dara,” perintah Adis pada Nadira, anaknya. Dara mengernyitkan keningnya.
“Mama Dara?” tanyanya heran. Tapi tak urung wajahnya melunak ketika memandang raut Nadira.
Ia seakan takjub. Tak ada yang berbeda antara Nadira dan Jaka. Hidungnya, matanya, alisnya, pipinya, senyumnya, cara berjalannya… semua mirip Jaka, hanya saja Nadira perempuan. Tak terduga Dara memeluk erat Nadira, seakan melepas kerinduan yang selama ini bersemayam di hatinya. Cemara di luar sana tahu, Dara teramat mencintai Jaka.
“Jadi, bagaimana kabar Jaka?” suara Dara bergetar saat Nadira pamit ke kamar kecil.
Mereka duduk berdua di café itu memandang liukan cemara tertiup angin. Café tempat mereka dulu selalu bercerita berdua atau bahkan bertiga ditemani Jaka. Desauan angin menyentuh cemara masih menimbulkan bunyi yang mereka suka belasan tahun yang lalu. Adis menghela nafas, mencoba menyusun kalimat.
“Jaka meninggalkan kami Ra,” lirih suara Adis.
“Apa?! Kemana? Sejahat itukah Jaka? Setelah meninggalkanku, ia tega meninggalkanmu dan darah dagingnya? Lalu kemana komitmen yang dulu pernah dia agung-agungkan?” tanya Dara kecewa.
“Jaka melamarku dalam keadaan sakit Ra,” Adis berusaha menjelaskan.
“Iya, memang dia sakit. Sakit jiwa! Tapi entah kenapa aku bisa jatuh cinta pada orang sakit jiwa macam Jaka sampai detik ini! Begitupun engkau bukan?” rutuk Dara.
“Bukan itu Ra. Jaka benar-benar sakit,” Adis berusaha menjelaskan.
“Tak ada seorangpun yang tahu, tidak juga dirimu. Ia tak ingin kamu cemas memikirkannya. Dokter menvonisnya menderita kanker ganas tak lama berselang setelah operasi indung telurmu. Keputusannya untuk meninggalkanmu bukan karena ia egois. Ia menikahiku karena ingin segera punya anak sebelum waktunya habis. Ia ingin ada yang menemani dirimu di saat-saat sunyimu dan juga sunyiku. Tapi kamu keburu marah dan menghilang entah kemana. Hanya setahun Nadira mendapatkan belai ayahnya. Aku membesarkan Nadira seperti permintaan Jaka, dan hari ini… aku menunaikan wasiat Jaka untuk membawa anaknya padamu. Aku dan kamu sama-sama mencintai Jaka. Tapi cinta Jaka hanya untukmu Ra. Maafkanlah Jaka.”
Dara terpana. Dalam diamnya, ada rasa menyesal telah menuduh sahabat dan kekasihnya tak berperasaan. Kalau saja waktu bisa diulang, ingin Dara berada di saat Jaka sakit, sekedar menatapnya untuk memberi semangat, seperti yang Jaka lalukan waktu Dara dioperasi. Semua itu telah lama berlalu. Di luar, angin masih mengusik cemara. Desaunya yang akrab di telinga tak jua berlalu, membawa rindu tiga perempuan pada seorang Jaka yang telah tiada.
Bontang, 17 April 2010.
Terinspirasi dari kisah saudariku, Allah memberimu yg terbaik pada akhirnya.