Kamis, 07 Mei 2009
Oleh : Sus Indriastutik
Suara burung gereja yang pulang menuju peraduannya begitu ramai, tapi masih kalah ramai dengan suara kami sore itu. Di hari Rabu sore itu bunyi bel sekolah baru saja usai terdengar, tanda pelajaran terakhir sudah berakhir. Serentak kegaduhan menggema di setiap kelas memenuhi lorong-lorong yang mulai agak gelap. Lampu-lampu sebagian sudah dinyalakan, sang surya berlari sembunyikan diri. Suara-suara celotehan anak-anak yang sedang mempersiapkan diri untuk pulang semakin gaduh sampai nanti tiba saatnya satu persatu meninggalkan kelas masing-masing.
Kegaduhan yang khas cerianya anak-anak remaja seusiaku. Saat-saat seperti ini yang ada di benak kami hanyalah kesenangan yang bisa kami nikmati bersama-sama. Ada yang tertawa terbahak-bahak, ada yang serius membenahi buku-bukunya, ada yang bercanda dan saling melempar-lemparkan kertas yang sudah diremas-remas atau sisa potongan kapur tulis yang sudah kecil. Baku lempar, berkejaran seperti anak TK sudah biasa kami lakukan di saat istirahat maupun menjelang pulang sekolah seperti sekarang ini. Waktu dimana kami bisa berkumpul bersama, bercanda bersama sekedar melupakan sejenak rumitnya menghadapi rumus-rumus dan soal-soal fisika, kimia maupun soal matematika.
Di kota itu kami masih kelas II SMA. SMA kami dapat julukan KAMPUS TUGU, karena di depan sekolah kami ada alun-alun bundar yang di tengah-tengahnya ada monument Tugunya. Komplek SMA kami terdiri dari SMAN I, SMAN III & SMAN IV. Sekolahku di SMAN IV, sekolah yang terletak di jantung kota Malang. Kota dimana banyak sebutan disematkan : “Kota Pelajar, Kota Apel, Kota Dingin ataupun Kota Wisata”. Hawa sejuknya memompa semangat kami untuk tidak boleh bermalas-malasan, karena semakin kita memanjakan diri dengan selimut akan terasa malas da enggan melakukan aktifitas sehari-hari. Rasa dingin yang menusuk tulang bagai suntikan vitamin yang menyegarkan badan. Kota dimana pesona gunung-gunungnya nan elok disinari sang surya yang mulai menggeliatkan tubuhnya, bangun dari peraduannya. Aneka bunga bermekaran membuat mata membelalak terkagum-kagum memandang. Kuncup bunga masih malu-malu menampakkan diri, bunga-bunga yang bermekaran meliuk-liukan tangkainya diterpa semilir angin, bak gadis remaja yang lincah menari-nari mengikuti alunan music yang merdu mendayu. Rasa takjub yang tidak bisa diutarakan dengan rangkaian kata-kata seindah apapun. Hanya hati untaian kalbu yang bisa merekam kebesaran Nya, lalu menyimpannya di otak kecil sebagai memori tentang lukisan alam yang telah diciptakanNya. Subhanalloh… indahnya kotaku. Dan….aku bangga bisa bernaung dalam dekapan kotaku.
Tiba-tba suara yang gaduh itu dalam sekejap menjadi sunyi, ketika kudengar langkah-langkah tegap dengan tubuh jangkungnya menuju ke depan kelas. Dengan gayanya yang konyol menirukan guru Fisika kami yang selalu serius, dia mengundang kami teman satu kelasnya untuk merayakan hari ulang tahunnya. Dia mengundang kami untuk datang ke rumahnya di Bangil pada hari Minggu yang akan datang. Oh… ya temankami itu sekolah di Malang dan tinggal bersama kakaknya, sedangkan orangtuanya tinggal di Bangil. Ketika teman kami sudah selesai menyampaikan maksudnya kegaduhan pun terdengar lagi. Obrolan-obrolan tentang rencana kami yang akan datang, dibarengi senda gurau menjadi satu. Ada teman-teman yang mengusulkan naik bus namun sebagian teman yang lain menginginkan naik kereta api. Akhirnya semua sepakat nanti akan naik kereta api. Kesepakatan telah tercapai, ingin angan terus menggapai di esok hari. Kami pun melenggang meninggalkan kelas, menapaki jalan pulang, dibawa langkah kaki menuju rumah.
Sekarang hari Minggu, bangun tidur aku kurang bersemangat, ada segumpal kesedihan yang tersembunyi, yang membuat gairah pagi tak secerah mentari menyentuh bumi. Apapun yang terjadi hidup harus terus dijalani. Semalas apapun aku harus tetap bangun pagi, menjalankan kewajiban sebagai umat manusia yang sudah difitrahkan Nya. Setelah melaksanakan sholat Subuh, aku berkutat dengan rutinitas hari-hari seperti biasanya, mencuci baju seluruh keluarga. Kakakku dan aku mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga yang biasa kami lakukan yaitu mencuci baju, bersih-bersih (menyapu dll) & menyetrika baju. Sedangkan ibuku biasanya memasak di dapur.
Tugas membantu orang tua sudah selesai kukerjakan, akupun beranjak pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Dinginnya air yang mengguyur tubuhku terasa segar menembus pori-pori kulitku. Setelah selesai mandi dan merapikan diri, tak kusia-siakan waktu yang ada, segera kuambil pring dan kuisi nasi, kusantap dengan lahap apa yang ada di atas meja. Hidangan sederhana yang diolah oleh tangan ibuku dengan penuh kesabaran, sebagian telah berpindah ke dalam perutku.
Rasa penasaranku akan ULTAH temanku mendorongku duduk-duduk di teras depan sambil menunggu teman-temanku lewat naik kereta api. Dalam diam aku melamun membayangkan kebahagiaan yang akan dinikmati teman-temanku ketika mereka sudah kumpul bersama. Candanya, tawanya dan keusilannya membuat bibirku sedikit terangkat membentuk segaris senyum yang menyadarkanku dari lamunanku. Bahagianya mereka, bahagianya diriku seandainya aku ada di antara mereka.
Tak lama setelah itu bunyi lengkingan memekakkan telinga terdengar olehku, pertanda kereta api akan lewat. Akupun berdiri melongok ke kiri, dari jauh kulihat ular Besi itu meliukkan tubuhnya. Kulihat ada tangan melambai-lambai dan persis di depan rumahku teman-temanku sudah berjubel berdiri di depan pintu kereta api. Mereka melambai-lambaikan tangannya sambil memanggil-manggil namaku. Tak kalah serunya dari yang di depan pintu kereta api, teman-teman yang lain melongokkan kepalanya keluar dari jendela kereta api. Mereka kompak memanggil-manggilku dan berteriak mengajakku pergi . Kujawab ajakannya dengan lambaian tangan dan senyumku. Keretapun pergi. Aku masih berdiri, mataku berkaca-kaca menahan butiran airmata supaya tidak sampai membasahi pipi. Sebenarnya akupun ingin pergi tapi lidah ini terasa kelu setiap akan mengungkapkan maksud hati kepada kedua orangtuaku. Aku tak ingin membebani mereka dengan keperluan yang tak terlalu penting. Aku dan adik-adikku yang masih kecil-kecil masih memerlukan biaya yang tidak sedikit dan semua itu menjadi tanggungan yang harus dipikul seorang diri oleh bapakku. Apabila kulihat gurat-gurat kelelahan yang terpancar di rona wajah bapakku, dengan langkah-langkahnya yang mulai dimakan usia, hati ini miris bak diiris sembilu, mulut terkunci, lidahpun kelu. Tak hendak hati ini mengungkap kata, menyampaikan makna di dalam dada. Biarlah semua kusimpan di relung hati yang paling dalam.
Tanpa kusadari kehadirannya, bapak sudah berada di sampingku. Mata SEPUH nya yang tajam, menyimpan seribu makna kehidupan dan mampu membaca apa yang tersirat di dalam dadaku.
Bapak bertanya, “Mau kemana teman-temanmu?”
Akupun menjawab, “Mau ke BANGIL ada teman yang ulang tahun.”
Bapak bertanya lagi, “Kok tidak ikut?”
Aku menundukkan kepala, takut ketahuan bapak kalau mataku berkaca-kaca sambil kujawab, “Tidak, tidak punya uang untuk ongkos.”
Kulirik bapak merogoh kantong celananya, mengeluarkan dompet lalu memberikan beberapa lembar uang kepadaku sambil berkata, “Sudah cepat susul mereka, naik bis saja!” perintah bapakku.
“Terimakasih,” jawabku sambil berucap Alhamdulillah.
Tak ada lagi beban berat yang menghimpit dada. Hati ini terasa PLONG, lega rasanya. Bergegas aku masuk ke rumah mempersiapkan diri, setelah semua beres aku pamitan pada bapak & ibuku, kucium tangannya, kumohon doa restunya. Sambil berlari kucari angkot yang akan membawaku menuju terminal bus. Dalam perjalanan kulihat kereta api yang membawa teman-temanku disalip oleh bus yang kunaiki. Aku sampai duluan di BANGIL. Aku berjalan ke arah statiun kereta api, tak lama kemudian keretapun tiba. Teman-temanku terperangah melihat aku sudah berada di depan pintu station. Mereka berteriak kegirangan, aku tertawa tak kalah senangnya dengan mereka. Kami lanjutkan perjalanan kami dengan berjalan kaki menuju rumah temanku.
Sesampainya di rumah teman kami yang ulang tahun, hidangan yang menggiurkan sudah tersaji. Kamipun tak ingin melewatkan suguhan itu cuma menjadi pemandangan indah yang tak tersentuh. Dipimpin oleh kakak teman kami, doa dipanjatkan, sambil menengadahkan tangan kami bermunajat kepada Nya memohon keselamatan, ridho dan barokah dari Nya. Amin ya Robbal Alamin. Setelah doa selesai dipanjatkan, kami secara berantai diberi piring yang sudah diisi nasi bersama lauk-pauknya. Tak menunggu begitu lama piring-piring itu sudah kosong, isinya sudah pindah ke perut kami.
Selesai makan nasi kami lanjutkan dengan melahap kue-kue yang sudah tersedia di depan tempat duduk masing-masing. Tak lama kemudian pudding segar berjalan merambat menyejukkan tenggorokan kami, sebagai penutupnya.
Setelah beristirahat sebentar kami melanjutkan acara kami. Teman kami mengajak kami berjalan menuju ke arah sungai, di situ sudah ada beberapa sampan yang menunggu. Satu persatu kami menaiki sampan, satu sampan diisi 5-6 orang. Kurang lebih ada 5 sampan yang terisi penuh. Dengan perlahan-lahan sampan mulai beranjak pergi menyusuri alur sungai. Suara kecipak air menggoda kami untuk bermain. Tangan-tangan nakal kami memercikkan air sungai kea rah teman-teman, berbalas-balasan dan tertawa-tawa lepas. Sampailah kami pada suatu tempat, kamipun turun bergantian dengan hati-hati supaya kami tidak sampai jatuh ke sungai. Perjalanan kami lanjutkan dengan berjalan kaki, kami susuri jalan setapak menuju tambak teman kami. Setelah sampai di tambak jalanan yang kami lewati semakin lebar. Jarak antara tambak satu dengan yang lainnya cukup lebar, kami berlari-larian seperti anak kecil berebut mainan. Kami berkejar-kejaran berebut jala untuk menangkap ikan bandeng dan udang. Kami menjala ikan di pinggir-pinggirannya saja tidak sampai masuk ke dalam kolam. Kami takut kotor karena kami tidak membawa baju untuk ganti seandainya baju kami terkena lumpur. Ikan dan udang yang telah terjaring dipilih supaya tidak tercampur lalu dikumpulkan dalam suatu tempat. Hasil tangkapan kami itu nantinya akan dijual ke pasar. Setelah puas bermain sambil membantu teman kami memanen ikan, kami istirahat di gubuk/pondok sambil makan kue yang dibawa oleh teman kami yang ulangtahun.
Hari beranjak semakin siang, kamipun pulang ke rumah teman kami yang berulang tahun, sambil istirahat kami sholat Dzuhur bergantian. Setelah semua selesai sholat kamipun pamit pulang. Di statius Kereta Api Bangil beberapa di antara kami membeli oleh-oleh untuk dibawa ke Malang. Aku membeli sate kerang karena di Malang jarang dijual. Oleh-oleh sudah didapat tak lama setelah itu kereta api pun datang. Serentak kami naik kereta api jurusan Malang. Di dalam kereta api pun kami tak bisa diam, seolah-olah kami tak pernah merasa capek. Kami terus bersenda gurau di sepanjang perjalanan.
Sejenak aku terdiam, senyum merekah tersungging di bibirku, sambil berucap sukur Alhamdulillahirabbil ‘alaamin. Betapa bahagianya diriku, hari ini kurasakan seolah-olah aku sendiri yang sedang berulang tahun. (Kamis, 7 Mei 2009)
0 komentar:
Posting Komentar