Kamis, 30 April 2009
Oleh : Sri 'ade' Mulyani
Minggu pagi cerah begini, asyiknya jalan kaki berdua bersama suami. Olahraga pagi ceritanya, sambil menikmati segarnya udara Bontang. Serombongan komunitas sepeda ontel melintas, dengan pengendaranya menggunakan pakaian tempo doeloe, lucu juga. Aku jadi teringat saat kecilku dulu, sepeda seperti itulah satu-satunya kendaraan yang ayahku pakai keliling kota dan bekerja. Yah, maraknya perkumpulan sepeda ontel akhir-akhir ini, mau tak mau membuka lembaran masa lalu yang tak pernah kulupa. Bukan perkumpulan sepedanya yang bikin aku mengenang masa lalu, tapi sepedanya itu lho. Sepeda jadul, walaupun sepeda ontel yang kukenang itu nggak jadul-jadul amat.
Tahun 1976, ayahku seorang TNI AD dengan pangkat Sersan Polisi Militer, dengan tiga orang anak. Kami tinggal di asrama Pusdik Pom Lokal 77 No. 62 Cimahi. Tak banyak barang yang dimiliki ayah. Kursi tamu saja kami tidak punya. Yang kuingat kami hanya punya tempat tidur tingkat yang bagian atasnya tidak berkasur, hanya beralas tikar dimana aku dan kakak perempuanku tidur, sementara di bawahnya ayah, ibu dan adik laki-lakiku tidur bertiga beralas kasur kapuk. Kalau ada yang bertanya pada adikku sekarang tentang tempat tidur bertingkat itu, jawabnya sederhana, “Lupa! Ingetnya ya itu kalau sedang tidur suka tiba-tiba ada hujan turun.” Hah, mana bisa hujan turun di asrama peninggalan Belanda yang kokoh, berdinding tembok, beratap genting dan tidak bocor? Tapi itu kenyataan. Dia lupa bahwa tempat tidur di atasnya tidak beralas kasur, sehingga jika aku yang tidur di atas ngompol (sstt.. sampai usia tujuh tahun kadang-kadang aku masih ngompol), maka tercurahlah air pipisku menimpa ibu, ayah ataupun adikku yang saat itu masih berusia tiga tahun (maafkan aku ya Bu, Pak, Dik, itu nggak sengaja, sumpah!).
Selain tempat tidur itu, kami memiliki sebuah mirkas (lemari kayu) dan meja kayu kecil dengan bangkunya. Benda lainnya yang berharga? Ya sepeda ontel itulah, kendaraan yang selalu ayah gunakan untuk memudahkannya ke mana-mana. Sayang, aku tidak sempat ingat merknya. Aku juga lupa, apakah ayahku suka membonceng ibu dengan sepedanya macam Galih dan Ratna atau tidak.
Yang paling kuingat, hampir setiap sore ayah membonceng aku dan adikku berkeliling kota Cimahi. Tentu saja usiaku masih tujuh tahun saat itu, sedang adikku baru berusia tiga tahun, sehingga ayah akan dengan mudah membonceng kami berdua. Kadang ayah membeli obat ke apotik Serumpun Bambu, atau sekedar putar-putar di Jl.Gandawijaya membeli pistol-pistolan buat adikku atau martabak jika ada uang lebih seperti pada hari gajian.
Setiap ayahku pergi ke Rumah Sakit Dustira (pada saat itu ayah mengikuti sekolah pendidikan perawat sehingga ayah bisa menjadi Mantri Kesehatan di kesatuannya) ayah juga sekalian mengantar dan menjemputku yang sudah duduk di kelas satu di SD. Sudirman 5 Cimahi dengan sepeda itu. Aku akan berteriak kegirangan jika ayah yang mengantarku ke sekolah dengan sepedanya. Sebab kalau ibu yang mengantar, pasti hanya dengan berjalan kaki menempuh jarak sekitar dua km, yang berarti aku harus pergi lebih awal supaya tidak terlambat sampai di sekolah.
Suatu hari, ayah mendapat telegram dari Plaju. Kakekku sakit keras. Ayah diminta segera pulang ke Plaju di Sumatra Selatan. Aku yang saat itu masih kecil, belum tahu kalau jarak Cimahi – Plaju itu jauh, pake nyebrang selat lagi. Hari-hari ayah di Plaju, tak ada lagi yang membonceng kami bersepeda berkeliling kota Cimahi seperti kemarin-kemarin. Pun setelah ayah kembali dan mengabarkan kepergian kakekku. Sepeda itu tidak pernah kulihat lagi.
Saat kutanya pada ayah, kenapa kita tidak pernah lagi naik sepeda, kemana sepeda kita? Ayahku dengan ringan menjawab, “Tahu nggak kalian…. waktu kemarin ayah ke Plaju, ayah kan harus melewati sebuah sungai yang buesaaar, namanya sungai Musi. Waktu ayah menyebrangi sungai itu, ayah kurang berhati-hati sehingga sepeda ayah tergelincir dan …… nyemplung deh ke Sungai Musi.”
Saat itu aku percaya saja apa yang dikatakan ayahku. Untung ayahku selamat, pikirku polos. Tak pernah terlintas di benakku bahwa ayah berkelakar menjawab pertanyaanku. Sebuah kebohongan yang manis, namun lucunya sampai saat ini aku tak pernah merasa dibohongi. Pendek kata aku tak pernah bertanya tentang sepeda lagi.
Hari berganti bulan, bulan berganti tahun, kehidupan ekonomi ayah membaik, perabotan kami bertambah dengan seperangkat kursi tamu, kasur kapuk untuk tempat tidurku dan lemari pajangan. Sepedanya berganti BMX dan kendaraannya bertambah dengan sebuah motor DKW (sejenis motor berpedal yang untuk menghidupkan mesinnya dengan cara mengengkol pedalnya), tapi aku tetap kangen dengan sepeda ontel ayahku. Merasakan kehangatan cinta ayah lewat kayuhan sepeda tua itu. Lama setelah aku dewasa, baru aku menyadari kalau sepeda itu ternyata sudah dijual ayah untuk membiayai kepergiannya ke Plaju bukannya nyemplung di sungai Musi.
Bontang, April 2009
0 komentar:
Posting Komentar