Roda Kehidupan

Jumat, 28 Mei 2010

Oleh : Winny W. Sutopo

“Eh, file siapa tuh yang masih belum diambil?” tanya Tiara sambil mengambil file klien miliknya.
“Punya Dinar,” sahut Linda yang sudah duduk di kursi pilihannya, sambil membuka-buka filenya.
“Lho, Dinarnya belum datang?” kembali Tiara bertanya sambil mempelajari file klien yang akan diwawancara.
“Belum,” jawab Linda. “Mungkin travelnya terlambat.”

Hmmm…. tiap hari Senin, Dinar pasti datang terlambat untuk wawancara. Memang sih, bisa dimaklumi, dia datang dari Bandung. Dinar bisa dikatakan tergolong anggota PJKA (Pergi Jum’at Ahad kembali), karena tinggal di Bandung, sementara pekerjaannya di Jakarta.

Sambil terus membuka-buka file klien yang akan diwawancara, Tiara terus asyik memikirkan Dinar. Tidak masuk di akalnya, untuk pekerjaan mengasong, sebutan bagi psikolog lepasan yang bekerja di beberapa biro konsultasi dan hanya muncul saat diperlukan untuk memeriksa klien saja, Dinar koq mau sih wara-wiri Bandung-Jakarta tiap minggu. Pekerjaan ini kan tidak terlalu menghasilkan banyak uang. Paling tidak, bila dibandingkan dengan rasa capek dan kerepotan Dinar harus meninggalkan keluarga di Bandung.

Buat Tiara sendiri, bekerja sebagai pengasong hanya dilakukan sebagai pengisi waktu luang. Ada kalanya ia menolak panggilan untuk wawancara, bila merasa laporannya masih banyak atau ia sedang tidak “mood” bekerja. Sejak anak-anaknya menginjak remaja, tidak banyak yang harus ia lakukan di rumah. Apalagi pekerjaan ini memberinya kesempatan untuk bertemu dengan teman-teman lama, sesama psikolog. Uang bukan faktor utama, penghasilan suaminya sebagai manager salah satu perusahaan terkemuka lebih dari cukup. Selama ini, ia lebih banyak menghabiskan penghasilannya untuk memenuhi kebutuhannya sendiri (terbayang, iklan di surat kabar tadi pagi tentang sale di Metro. Patut dilihat tuh, siapa tahu tas yang diinginkan ikut juga dalam program sale kali ini). Atau membelikan sesuatu bagi anak-anaknya (o, iya, tadi si bungsu Shinta minta dibelikan tiramisu kesukaannya).
“Ibu-ibu, hari ini bu Dinar tidak datang, anaknya masih sakit. Jadi ada 4 file nih, yang harus ditambahkan ke bagiannya ibu-ibu. Bu Tiara tambah satu ya,” suara pak Eko, petugas administrasi membuyarkan lamunannya. “Bu Linda tambah satu lagi ya.” “Bu Ines tambah dua ya.”
“Eh, Eko, jangan….aku. Laporan yang kemarin masih belum selesai lho, jangan dua,” Ines buru-buru mengajukan keberatannya. “Bu Tiara saja tuh tambah dua, laporannya sudah selesai . Ya, Tiara, please…”
”Okey, deh… untuk Ines apa sih yang nggak kulakukan”, sahut Tiara rada-rada menggombal. “Halah, sinetron banget deh,” sahut Ines. “Tapi, makasih ya, Tiara”.

Berkumpul dengan psikolog yang sebagian besar wanita, memang selalu riuh dan menyenangkan. Banyak hal yang bisa dibicarakan bersama, mulai dari urusan anak, masakan, tempat mana yang menjual barang keperluan wanita yang murah meriah sampai urusan yang lebih serius, seperti membahas klien atau kadang-kadang issue-issue penting yang menyangkut negara.

Tiara kemudian tenggelam dengan tugasnya mewawancara klien yang mengikuti seleksi penerimaan karyawan. Adanya tambahan 2 file dari Pak Eko, menjadikan klien yang harus ditangani hari ini menjadi 6 orang. Lumayan juga, harus konsentrasi untuk 6 jam ke depan, mengamati perilaku klien sambil mewawancaranya dan mencatat. Untunglah, hari ini tidak ada klien yang perilakunya luar biasa. Mereka cukup kooperatif dan komunikatif.

Selesai dengan klien ke 4, Tiara memutuskan untuk beristirahat sejenak. Kepalanya mulai jenuh dan lelah. Perutnya juga mulai lapar. Dia memutuskan untuk berdiri sejenak, mengambil teh dan kue, jatah snack pengasong. Di meja snack, Tiara berpapasan dengan Linda yang juga sedang beristirahat.

“Linda, sakit apa anaknya Dinar? “ Tiara membuka pembicaraan.
“Nggak tahu, minggu lalu sih, anaknya yang bungsu gejala tipus”.
“Terus, anaknya diopname?”
“Kayaknya sih, nggak, berobat jalan saja.”
“Lho, kenapa nggak diopname? Kan bahaya tuh.”
“Tiara, opname itu kan butuh uang. Dan Dinar nggak punya uang untuk membayar biaya opname anaknya.”

Tanpa diminta, Linda lalu bercerita bahwa Dinar menikah dengan duda yang membawa 4 anak. Dari perkawinan ini, Dinar memiliki 2 anak. Suaminya dulu bekerja sebagai General Manager sebuah hotel bintang 5 di Batam. Tetapi karena krisis moneter, maka dia kehilangan pekerjaannya dan sampai sekarang menganggur. Keluarga ini lalu pindah ke Bandung, menempati rumah eyang Dinar, yang kebetulan kosong. Sebetulnya pernah ada beberapa kali tawaran pekerjaan untuk suami Dinar di hotel bintang 3 atau 4, tetapi dia selalu menolak, karena tidak sesuai untuk levelnya. Jadilah, Dinar yang lintang pukang bekerja mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya. Bisa dikatakan, Dinar hanya menjadi “week-end mother”, di hari kerja dia berada di Jakarta untuk mengasong.

Terperangah Tiara mendengar cerita Linda. Memang, sudah lama dia tidak berhubungan dengan Dinar. Sejak menikah dan mengikuti suaminya bekerja di pulau seberang, nyaris tidak pernah dia menjalin kontak dengannya. Baru sejak kepindahannya kembali ke Jakarta, beberapa bulan yang lalu, dia bertemu kembali dengan Dinar.

Dinar. Tidak disangka perjalanan hidupnya begitu berat. Ingatannya melayang ke masa-masa mahasiswa. Saat itu, Dinar termasuk salah satu mahasiswa yang tergolong berduit. Betapa tidak, ayahnya salah satu Direktur BUMN yang terkenal gudang uang. Ibunya profesor pendidikan terkenal. Ke kampus, Dinar selalu diantar jemput oleh mobil bersopir. “Geng”nya Dinar adalah kelompok mahasiswa berduit yang hidupnya kelihatan “wah”. Saat itu, Tiara hanya mahasiswa biasa yang naik-turun bis sebagai kendaraan ke kampus. Memang, Tiara tidak terlalu dekat dengan kelompok Dinar, tetapi karena kampus mereka kecil, maka mereka saling kenal.

Hidup manusia memang tidak ada yang dapat menduga, persis seperti roda. Kadang ada di atas, setelah itu bisa berputar ke bawah. Tiara, yang dulu, mahasiswa biasa sekarang hidup berkecukupan, sedang Dinar yang dahulu serba ada, sekarang bahkan untuk biaya opname anak pun tidak ada. Pekerjaan mengasong, yang bagi Tiara hanya pengisi waktu dan penambah uang jajan, bagi Dinar ternyata merupakan sumber nafkah utama. Tidak terbayangkan, bagaimana menghidupi keluarga dengan anak 6 hanya mengandalkan penghasilan mengasong. Tidak heran, bila apa pun yang terjadi, Dinar rela pontang-panting dari satu biro konsultasi ke biro konsultasi lainnya untuk mengejar panggilan wawancara sepanjang minggu. Sudah terbayang, bahwa malam harinya, dengan badan penat setelah seharian menembus kemacetan Jakarta, Dinar masih harus berkutat dengan laporan. Bagi Dinar, tidak ada kata “tidak mood” atau “masih banyak laporan” untuk menolak wawancara. Menolak wawancara, berarti berkurangnya penghasilan.


Sambil kembali ke tempat duduknya, Tiara tidak henti-hentinya mengucapkan syukur atas nikmat Allah yang dilimpahkan kepadanya. Ia bersyukur atas “kemewahan” hidup yang dimiliki. Atas suami baik hati yang bisa memberinya kehidupan yang jauh di atas layak, anak2 yang sehat dan pandai. Tiba-tiba ia merasa sangat kangen kepada suaminya yang sedang berdinas keluar kota. Dirogohnya tas tangannya mengambil telepon genggam, lalu ditekan beberapa nomor. ”Assalamulaikum. Papa? Papa, aku cuma mau bilang, aku sayang sekali sama papa dan bersyukur papa menjadi suamiku”.

0 komentar:

 
♥KALAM IBU-IBU♥ - by Templates para novo blogger