Sabtu, 06 Maret 2010
Oleh : Sri 'ade' Mulyani
“Aku cuma ingin melihat sungai Mahakam Kak. Kapan kita ke sana?” ujar Rida istriku akhir-akhir ini. Permintaan yang sederhana sebenarnya, tapi merupakan hal yang paling aku hindari selama hidupku. Tapi bagaimana menjelaskannya? Aku tak punya cukup keberanian untuk mengatakan alasan sebenarnya. Jangankan menerangkan, membayangkannya saja aku sudah bergidik. “Jangan Rida! Tolong jangan sekarang, aku belum siap” pintaku dalam hati, hanya dalam hati. Peristiwa tragis itu kembali membayang di pelupuk mataku. Peristiwa yang tak akan pernah kulupa sepanjang hayatku.
“Ya Allah, berilah hamba kekuatan untuk melupakannya. Bantulah hamba ya Allah,” doaku di setiap sujud malamku. Setiap kali mimpi buruk ini menggangguku, aku selalu teringat pada Julak. Rindu memandang sorot matanya, rindu dekap sayang yang membuatku merasa aman sehingga aku mampu melupakan sejenak kejadian tragis itu. Julak dan istrinya yang Allah kirim sebagai penyelamatku. Hendak kubalas dengan apa jasa mereka?
Namaku Ridwan. Aku anak angkat Haji Alamsyah seorang pengusaha di kota Balikpapan. Aku memanggilnya Julak. Haji Alamsyah mengambilku di kantor polisi ketika aku berusia 6 tahun, sesaat setelah peristiwa tragis menimpa keluargaku. Aku yang saat itu selalu menjerit mengingat ibu dan adikku. Aku yang selalu berteriak, “Ibuuuu, jangan Buuu… jangan!!!” Aku yang selalu bergetar hebat melihat derasnya arus sungai Mahakam dan menangis tersedu-sedu setelahnya. Kalau bukan karena Haji Alamsyah dan istrinya, tak tahu seperti apa aku saat ini. Mungkin aku sudah jadi gelandangan yang tidak waras berkeliaran di kota Samarinda. Atau bahkan mungkin saja aku telah mati kelaparan di sepanjang tepian sungai Mahakam. Entahlah, tak ada yang tahu apa yang akan terjadi esok kecuali Allah Yang Maha Besar. Haji Alamsyah tahu betul perasaanku. Untuk menghilangkan traumaku setiap kali melihat sungai Mahakam akhirnya ia memilih untuk pindah ke Balikpapan, demi aku anak angkatnya.
Haji Alamsyah dikenal sebagai dermawan oleh masyarakat sekitarnya. Sudah banyak orang yang ditolong olehnya. Anak-anak panti asuhan, janda miskin, keluarga tak mampu. Dan kurasa yang paling beruntung adalah aku. Hidup memang aneh dan tak bisa ditebak. Aku yang terlahir dari keluarga perantauan yang tak mampu, akhirnya menjadi anak yang hidup dalam keadaan serba kecukupan. Tidak hanya membesarkan aku, Haji Alamsyah bahkan menyekolahkan aku hingga perguruan tinggi. Kulihat ia begitu bangga ketika hadir pada acara wisudaku. Apalagi tak lama setelah itu aku diterima bekerja di sebuah perusahaan besar di kota Bontang yang jaraknya 240 km dari Balikpapan.
Belum lengkap kebahagiaan itu rasanya kalau aku belum menyunting Rida, teman kuliahku. Aku mengagumi Rida dan berusaha mendapatkan perhatiannya. Ternyata aku tidak bertepuk sebelah tangan. Rida menerimaku, walau setelah itu Rida tahu bahwa aku hanyalah anak pungut yang tak jelas asal-usulnya. Aku hanyalah seorang anak terlantar yang beruntung mendapatkan kasih sayang dari keluarga Haji Alamsyah.
Genap sudah 3 tahun aku tinggal di Bontang bersama Rida namun belum sekalipun aku mengajaknya ke Samarinda. Ada-ada saja alasanku untuk menolak ajakannya ke sana. Toh, ayah angkatku tinggal di Balikpapan. Dengan pesawat Dash-7 dan hanya memakan waktu 30 menit aku bisa mengunjungi Haji Alamsyah. Tak perlu repot-repot berlama-lama mengendarai mobil melintasi Perkebunan Inti Rakyat dan bukit Suharto untuk sampai ke Balikpapan. Dan yang paling penting, aku tidak perlu melintasi jembatan Mahakam yang akan membuatku merinding.
Sekali waktu, pernah di masa SD aku diajak H. Alamsyah untuk mengunjungi kerabatnya di Sungai Kunjang, Samarinda Sebrang. Dari kota Balikpapan tak perlu melintasi Mahakam untuk sampai ke sana. Tapi ketika sore tiba, ayah angkatku itu mengajakku berkeliling kota menyusuri Sungai Mahakam, keringat dingin mulai membasahi sekujur tubuhku. Mendekati jembatan penyebrangan aku pucat pasi dan akhirnya pinsan. Bayangan masa lalu itu tak pernah hilang dari ingatanku. Sejak itu Julak tak lagi mengajakku ke Samarinda. Setiap ada urusan di kota itu Julak tak pernah membawaku, sampai suatu saat aku duduk di bangku SMA, ia membawaku ke sana dengan harapan aku sudah tidak trauma lagi mengingat umurku yang mulai dewasa. Tapi percuma saja, lagi-lagi keringat dingin mengucur. Wajahku tegang walau aku tidak sampai pinsan ketika melintasi jembatan tersebut. Hah, cukup sudah! Aku tak mau ke sana lagi. Jangan paksa aku untuk melintasi jembatan itu, pintaku pada Julak.
H. Alamsyah cukup mengerti perasaanku. Ia tak pernah mengajakku ke kota itu lagi. Ayah angkat yang baik. Tapi kali ini bukan H. Alamsyah yang memintaku, bukan Julak yang mengenal diriku dan memahami ketakutanku. Kali ini Rida istriku tercinta yang memaksaku ke sana. Aku belum pernah bercerita padanya tentang peristiwa tragis itu. Jadi bisa dimengerti mengapa ia begitu heran setiap kali aku menolak ajakannya ke Samarinda.
“Aku ingin lihat Mall yang baru Kak,” kata Rida. Aku sebenarnya kasihan juga. Tiga tahun sudah kami menetap di kota Bontang yang kecil. Tak ada Mall di sini, yang ada hanyalah Mini Market. Walaupun aku tahu Rida bukan tipe perempuan yang senang belanja, paling tidak dia rindu keramaian kota.
“Kotanya panas, lalu-lintasnya semrawut, belum lagi kalau bulan hujan begini banjir selalu datang,” elakku. Kebetulan koran pagi itu memuat foto banjir yang terjadi di Samarinda.
“Justru aku ingin tahu Kak walau tidak sekarang di saat musim hujan. Sebenarnya aku ingin ke Tenggarong juga melihat Pulau Kumala. Tak ada salahnya kan kalau kita menginap dulu di Samarinda sehari. Menikmati Mahakam di waktu malam. Bahkan aku sebenarnya ingin ikut wisata ke pedalaman menyusuri sungai Mahakam. Teman-teman bilang itu wisata asyik. Kita bisa bertemu dengan orang-orang Dayak yang lubang telinganya memanjang dengan antingnya yang berderet. Kita bisa melihat budaya mereka langsung dari dekat,” kata Rida.
Aku pun ingin. Jauh di lubuk hati aku ingin mengunjungi tempat-tempat seperti itu. Tapi ini Mahakam. Sungai besar itu selalu membuatku menggigil. Bukan pada buaya muaranya yang ganas, bukan juga pada transportasi air-nya yang belum tentu aman, bukan itu.
Rabb, sesungguhnya aku bukan lelaki cengeng. Sesungguhnya aku pun sadar, hidup dan mati adalah kuasa-Mu seperti yang selalu Julak katakan. Seharusnya aku bisa tegar dan melupakan tragedi itu sekaligus menghilangkan rasa takut yang selalu menghantui diriku. Sudah 20 tahun berlalu, aku harus bisa mengalahkan rasa takut itu, harus! Akhirnya kuputuskan untuk memenuhi permintaan Rida. “Aku siap melihat Mahakam!” tekadku.
Cuaca sore itu tidak terlalu panas, angin bertiup sepoi-sepoi. Kuhentikan mobilku di tempat parkir di taman kota sisi jalan. Samarinda kota tepian, akhirnya aku ke sini juga. Di kejauhan, jembatan besi itu berdiri kokoh menjulang. Aku memalingkan muka dari sana. Debar itu mulai terasa. Arus sungai yang tenang dan riaknya yang menyentuh tembok sepanjang sisi sungai mulai terdengar di telingaku. Aku menguatkan diri untuk tidak gemetar. Sepanjang tepian Sungai Mahakam sore itu tak begitu ramai.
“Airnya tenang Ridwan, tak usah takut!” hiburku pada diriku sendiri.
“Yah, tenang. Tidak seperti saat itu yang arusnya begitu deras. Siapa yang tahu di balik ketenangan arusnya air ini justru menghanyutkan. Kelihatan tenang, namun sanggup menyihir seseorang untuk melakukan hal di luar dugaan,” kata hatiku yang lain. Tentu saja Rida tak mendengar percakapan ini. Ini antara aku dan jiwaku sendiri. Tapi aku tahu, ada tanda tanya dalam diri Rida. Ia sepertinya bisa merasakan ada sesuatu yang kusembunyikan. Apalagi ketika tanganku yang menggandengnya mulai basah berkeringat, sementara kami belum berjalan terlalu jauh.
“Selama ini aku sebenarnya heran pada kakak. Kenapa kakak begitu berat untuk menemani perjalananku ke kota tepian ini? Ada seseorang di kota ini yang ingin Kakak lupakankah?” suara Rida memecah kebisuan di antara kami berdua. Ia mungkin merasa tak ada kegembiraan di wajahku. Sepertinya aku menangkap nada cemburu dalam ucapannya.
“Hm, bukan begitu Rida. Aku…” kata apa yang harus kupilih untuk memulai cerita ini. Aku berusaha keras untuk mengatakannya, tapi arus sungai itu seolah-olah membiusku. Membawa pikiranku ke masa yang lalu. Detak jantungku serasa semakin cepat berpacu. Rida memandangku sekilas. Diambilnya sebuah batu lalu dilemparkannya jauh ke tengah sungai. Plung! Aku terlonjak. Batu itu jatuh tak begitu jauh dari tepian dan dalam sekejap batu itu tenggelam.
“Kenapa?” tanya Rida.
“Kaget saja,” jawabku tertunduk. Lidahku kelu. Hatiku diliputi kesedihan. Terbayang tubuh yang terhempas di derasnya air dan menghilang dengan cepat. Hening tanpa percakapan. Airmataku mulai menitik. Aku mulai tergugu. Pemandangan yang aneh bukan? Seorang lelaki menangis sesunggukan di tepian sungai Mahakam. Sementara sang wanita menatapnya penuh tanya.
“Kak…” Rida menyentuh bahuku. Dalam kebingungannya ia mengeluarkan tissue dari dalam tasnya dan mulai mengusap airmataku.
“Ah, lelaki yang rapuh!” ejekku pada diriku sendiri. Harus kuakhiri kesedihan ini. Aku menghapus sisa airmataku. Masih gemetar kukeluarkan dompet dan dari dalamnya kuambil guntingan koran yang selama ini rapi tersimpan. Kertasnya sudah menguning, tapi tulisannya masih jelas terbaca. Kuberikan pada Rida.
Samarinda, Siang kemarin seorang bocah laki-laki (6 thn)berlari sambil menangis ke pos polisi di jembatan Mahakam. Ibunya baru saja terjun dari jembatan dengan adiknya yang berusia 3 tahun. Sebelum terjun, ibunya pun mengajak sang bocah untuk ikut melompat. Namun bocah laki-laki ini menolak. Belum diketahui motif apa yang membuat ibu tersebut nekat bunuh diri di jembatan Mahakam. Sampai saat ini polisi dan tim SAR masih berusaha mencari mayat ibu dan anaknya. Sementara bocah laki-laki yang masih trauma dengan kejadian itu dititipkan pada seorang dermawan di Sungai Kunjang Samarinda Sebrang.(Baca IBU MUDA…. Hal. 10)
Rida memandangku memohon penjelasan.
“Bocah kecil itu Rid… ”
“Siapa?” buru Rida menyela ucapanku.
“Aku,” ucapku pelan.
Bontang, 6 Maret 2010
0 komentar:
Posting Komentar