Rabu, 25 Agustus 2010
Oleh : Hertaty Muchtar pada 25 Agustus 2010 jam 10:31
Satu malam diakhir Januari…,
Seseorang menelepon, mengabarkan anak seorang sahabatku meninggal. Tanpa ba-bi-bu, aku segera kerumahnya. Bermacam pertanyaan berkelebat, tanpa bisa kujawab. Sampai disana, aku melihat sudah banyak teman lain yg melayat. Dug! Hatiku berdegup kencang, seluruh tubuh gemetar dan lemas, sampai memarkirkan mobilkupun asal-asalan. Sambil masuk rumahnya, batinku :” Ya ALLAH…., kenapa musibah ini kau timpakan pula pada sahabatku! Cukup sudah aku saja yg merasakan penderitaan, kesedihan dan kepedihan hati ini…”
Ketika melihat sahabatku sedang menangis, aku ingin segera memeluknya, mengurangi beban sedihnya, membagi lara hatinya, tetapi aku hanya tertegun, malah mundur. Aku tak kuat.., aku takut….! Kalau aku mendekat, beban kesedihan kami akan semakin berat. Aku menjauh, duduk sendiri…. Luka itu menganga kembali…, seperti tersiram cuka… pedih… perih tak terkira…, sesak didada… Beberapa saat kemudian, aku menelepon, memberi kabar pada suami yang sedang berada di luar kota. Barulah air mataku menetes. Persis seperti itu pula kejadiannya…
Jum’at pagi, 30 April 1999
Tidak ada firasat apa-apa. Pagi itu seperti biasa, aku sibuk menyiapkan anakku untuk pergi ke sekolah. Membangunkannya, menyuruh dia mandi, menyiapkan sarapannya dan mengantarnya menuju halte bis jemputan sekolah. Tetapi sebetulnya kalau saja aku peka melihat tanda2, mungkin itu yang dinamakan firasat. Entah kenapa pagi itu, anak-anakku rewel luar biasa. Dibuatnya aku tidak sabar menghadapi mereka. Mulai dari susah bangunnya, mandi berlama-lama, sarapan yg tidak sesuai dengan selera dan hal-hal lain yang membuatku ingin marah. Waktu bis jemputan hampir tiba, dia masih merajuk, minta dipeluk seakan enggan untuk pergi sekolah, enggan untuk berpisah. Saat itu dia kelas 1SD, hampir 7 tahun usianya.
Kemudian, aku menyiapkan keperluan adiknya yang masih play grup. Selanjutnya, aku pergi berolah raga.
Karena hari itu hari Jum'at, anak-anak biasanya pulang lebih cepat. Maka sepulang berolah raga, akupun segera mengerjakan pekerjaan lainnya. Sekitar jam 10 lewat, sambil menunggu anak2 pulang sekolah, aku ngobrol dengan teman2 di depan rumah. Sayup2 terdengar telephon berdering, tapi ketika cepat2 ku angkat tidak terdengar suara. Aku berfikir itu telepon dari suami yg sedang berada di Jakarta. Sehari sebelumnya dia baru tiba dari dinas di Malaysia. Hari itu dia berencana ke Bandung.
Baru saja telepon ku letakan, tiba⁷ seorang teman datang dengan tergesa⁷ “Mbak…., anaknya kecelakaan ” katanya. Ha!!! Aku meloncat seketika, mengambil kunci kendaraan dan melesat ke sekolah. Teman2ku yang saat itu masih berada di halaman rumah, segera menyusulku. Sampai di jalanan depan sekolah , aku melihat……, anakku masih tergeletak, tertutup selembar koran, belum ada yang mengangkat…. Aku melompat⁷, berteriak⁷ ….. Aku tak ingat keadaan di sana, ketika aku berlari mendekat, seseorang memelukku, menyeretku menjauh, membawaku pergi dari sana dan mengatakan bahwa anakku tidak bisa tertolong. Bis sekolah telah meranggut nyawanya.……….
Aku harus mengabarkan pada suamiku. Dalam isakku :”Da, anak kita sudah gak ada…”. Antara percaya tidak percaya, seperti mimpi rasanya….,melayang… seperti tidak nyata. Saat itu aku belum merasakan apa⁷, hampa, kebal, terasa…Aku masih bisa menjawab, berdiskusi, mengambil keputusan⁷ yang harus dilakukan selanjutnya. Kami putuskan untuk di makamkan di Bontang saja. Jenazah almarhum segera dimandikan dan dishalatkan setelah shalat Jum’at.
Sementara suami yg dalam perjalanan ke Bandung, segera kembali dan langsung mempersiapkan untuk pulang bersama keluarga kami dari Bandung dan Jakarta. Lewat tengah malam, mereka baru tiba. Saat dalam pelukan suami, barulah sedihku terasa.
Proses pemakaman sudah terlaksana. Dua hari sesudahnya aku masih terjaga, tak bisa sekejappun kupejamkan mata. Kalaupun hari⁷ berikutnya dapat kupejamkan mata, ketika terbangun bayang-bayang peristiwa itu makin nyata, kesedihan makin terasa. Satu minggu, satu bulan lewat sudah, setiap kami rindu, kami hanya mampu berdo’a. Air mata tidak terbendung sudah, tumpah ruah di atas sajadah, kadang kami termenung di makamnya.
Tiga bulan menjelang, kerinduan itu makin menyesakan dada. Kerinduan yg tidak ada batasnya, mau meledak rasanya….
Astaghfirullah hal adziim…astaghfirullah hal adziim…
Innaa lillahi wa innaa illaihi rooji’uun, Alloohumma’jurnii mim
musiibatii wakhluflii khoirom minhaa….
La hawla walaa quwwata illaa billaah…
Kami pasrah atas kuasaMU
Kami iklas atas kehendakMU
Berikan kami kekuatan Ya…ALLAH
Kini 10tahun berlalu….,
Anakku, kau lahir setelah tiga tahun kami mengharapkanmu
Kehadiranmu kami sambut dengan suka cita,
Belum genap tujuh tahun usiamu, Allah telah memanggilmu
Masih banyak tawa dan canda yg tersisa
Masih banyak angan dan harapan yang belum nyata
Kau anugrah, titipan terindah yang pernah kami miliki
dan akan terus kami miliki di hati, tak akan tergantikan
Adik-adikmu adalah anugrah, titipan terindah lainnya yang kini kami
miliki, yang harus kami pelihara dan kami jaga
Penuh duka lara kami melepasmu
Hanya keikhlasan dan doa kami yang menyertaimu
Semoga Allah kelak mempertemuka kita di surgaNYA ……, amin
Untuk Sahabatku,
Anak-anak kita seusia. Walau ALLAH mengabil mereka pada saat yang berbeda, aku tahu, aku pernah merasakannya. Aku tahu kamu pasti bisa, kamu pasti kuat melewatinya. Karena kita adalah wanita-wanita pilihan Allah yang diberi kekuatan untuk menghadapi musibah ini. Kekuatan kita adalah sabar dan ikhlas menghadapinya. “ALLAH tidak akan membebani seseorang melainkan sesuai kesanggupannya” (QS.AL-BAQARAH 286)
Kita juga tidak tahu sampai kapan waktu kita..., kapan ALLAH memanggil kita...
Semoga akan ada surga dan anak-anak kita yang menanti di sana, sebagai hadiah dari Allah atas kesabaran dan keikhlasan kita, amin.